Sumber Gambar : Renaldi Saputra
Sektor pertanian di Indonesia merupakan aspek yang sangat penting bagi roda penggerak perekonomian negara. Apabila dibandingkan dengan sektor lainnya, pertanian masih berada di posisi teratas selain dari sektor perdagangan dan sektor konstruksi.
Namun, produktivitas yang dihasilkan sektor pertanian di Indonesia tidak diimbangi dengan kesejahteraan yang dirasakan oleh para petani. Menjadi petani saat ini sangatlah berat. Banyak sekali hal-hal yang harus dihadapi, baik dalam hal mencegah maupun mengatasinya. Mulai dari konflik agraria terkait dengan masalah kepemilikan atau pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap pestisida, pupuk kimia, perubahan iklim, minimnya akses teknologi dan ilmu pengetahuan, pangsa pasar yang tidak pasti, hingga bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Konflik agraria menjadi salah satu persoalan yang harus selalu dihadapi oleh para petani meskipun bangsa ini sudah bebas dari penjajah. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019), tercatat 1.769 kasus agraria yang menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, serta sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi.
Selain itu, petani juga tidak mampu mengimbangi pasar global, dengan demikian harga jual hasil panen mereka dihargai dengan sangat murah. Kemudian masalah perubahan iklim yang terkadang sangat mempengaruhi produktivitas hasil panen para petani. Permasalahan di atas masih harus ditambah lagi dengan seringnya para petani dituduh melakukan pembakaran lahan secara ilegal. Padahal, para petani hanya membuka lahan yang tidak terlalu luas dibandingkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang membuka lahan ribuan hektare.
Dari permasalahan di atas, kita dapat melihat ketidakadilan antara petani kecil yang selalu dituduh dan di kriminalisasi. Sedangkan pengusaha besar yang memiliki modal, dapat melenggang bebas memperluas lahan mereka dengan izin yang diberikan pemerintah.
Luas lahan pertanian yang digarap petani di Indonesia berkisar sekitar 7-8 juta hektare. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian tercatat 35,7 juta atau 28,79% dari 124,01 juta penduduk Indonesia yang bekerja. Sementara itu, luas konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) sekitar 11 juta hektare yang dikelola oleh 451 perusahaan, kemudian pada perkebunan kelapa sawit berkisar sekitar 10-13 juta hektare yang dikuasai oleh puluhan konglomerat.
Perbandingan angka di atas menunjukan sebuah ketimpangan antara luas lahan petani kecil dengan luas lahan konsesi perusahaan HTI dan juga perusahaan kelapa sawit. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa petani hanya berperan memberikan makan untuk bangsa Indonesia saja, tidak untuk memenuhi kebutuhan sekunder bangsa lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita pemerintah yang menginginkan Indonesia berdaulat pangan, namun peraturan dan keputusan pemerintah sangatlah tidak berpihak pada para petani dan cenderung berpihak kepada perusahaan serta konglomerat yang memiliki modal besar.
Apabila pemerintah menginginkan bangsa Indonesia berdaulat pangan dan menjadi bangsa agraris di kawasan asia bahkan dunia, seharusnya pemerintah mensejahterakan para petani. Karena apabila kesejahteraan itu telah tercapai, maka lingkungan pun akan terjaga. Untuk mencapainya, harus ada kepastian hukum mengenai status lahan yang dikelola petani agar terhindar dari konflik lahan yang berkepanjangan. Kemudian dengan memberikan jaminan pasar agar komoditas yang dihasilkan petani harganya tetap terjaga dengan baik. Selanjutnya adalah dengan memberikan fasilitas bantuan teknologi dan ilmu pengetahuan, keduanya juga harus di barengi dengan sosialisasi serta pendampingan yang jelas dan berkelanjutan.
Ditulis oleh Renaldi Saputra, Anggota Kelompok Belajar Tani (Kobertan) Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Unmul.