Larangan Membakar Ladang dan Dampaknya bagi Komunitas Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Desa Lung Anai
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Suatu hal yang tidak bisa diperdebatkan atau dibantah lagi apabila masyarakat Dayak menganggap bahwa bagi mereka, hutan adalah suatu hal yang paling bernilai dalam kehidupan mereka. Hutan dan masyarakat Dayak adalah satu kesatuan harmoni yang tidak dapat terpisahkan. Bagi masyarakat Dayak, hutan adalah tempat hidup dan matinya mereka sebab secara turun-temurun mereka hidup dari kekayaan yang dihasilkan oleh hutan.
Kesatuan yang begitu eratnya antara hutan dan masyarakat Dayak inilah yang melahirkan sistem perladangan tradisional sebagai bentuk pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat dalam mengolah lahan pertanian mereka. Sistem perladangan atau pertanian yang dipraktikkan oleh masyarakat Dayak ini sudah mulai berlangsung sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi.
Sistem perladangan tradisional ini pun masih dipraktikkan hingga sekarang oleh masyarakat Dayak di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Mayoritas masyarakat yang mendiami Desa Lung Anai merupakan suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang sebelumnya tinggal di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia, tepatnya di daerah Apo Kayan.
Peristiwa mereka berpindah disebabkan adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1960-an. Hingga tahun 1984, barulah beberapa tokoh masyarakat mencari lahan baru untuk didiami oleh masyarakat lainnya. Masyarakat suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan kemudian memilih untuk menetap di wilayah yang dulunya disebut sebagai Dusun Tanah Merah, yang kini dikenal sebagai Lung Anai sebab menurut mereka wilayah ini cukup layak menunjang kehidupan mereka.
Mayoritas masyarakat Desa Lung Anai berprofesi sebagai petani ladang berpindah. Praktik pertanian semacam ini di dalam bahasa Inggris disebut sebagai slash and burn cultivation system atau swidden cultivation system. Ini merupakan praktik menanam padi dengan berotasi di lahan gunung atau lahan kering, diolah dengan cara membuka satu sampai dua hektar lahan yang terdapat di hutan, menebas, menebang, dikeringkan, lalu dibakar, dan ditanami dengan padi serta berbagai tanaman semusim lainnya sekitar satu sampai dua tahun berturut-turut dilahan yang sama.
Tentu dalam hal pembukaan lahan untuk perladangan berpindah ini memiliki teknik khusus yang tak sembarangan seperti yang kerap dituduhkan oleh pemerintah dan berbagai pihak yang memiliki kepentingan.
Namun, kehidupan masyarakat peladang kini kian terombang-ambing akibat berbagai kebijakan yang membuat mereka secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan itu. Seperti kebijakan yang bersifat top down yaitu Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, menyebabkan masyarakat Dayak terkulai lemah akibat tak bisa berladang lagi. Aturan soal membakar ladang ini sebenarnya sudah diatur oleh berbagai kebijakan lainnya seperti Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun, para peladang mulai ditangkap tanpa ampun sejak Inpres Nomor 11 Tahun 2015 dkeluarkan yang penerapannya dilaksanakan dengan melarang masyarakat membuka lahannya dengan cara membakar.
Tak Asal Membuka Lahan dan Membakar
Ada beberapa urutan dalam proses berladang di Desa Lung Anai. Mulai dari pembukaan lahan di mana masyarakat mencari lahan untuk berladang dengan melihat kondisi lokasi dan kondisi tanah yang cocok untuk dijadikan ladang.
Proses pembukaan lahan untuk perladangan masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Desa Lung Anai akan dipimpin oleh seseorang yang biasanya disebut masyarakat sebagai Ketua Ladang. Ketua Ladang akan diambil dari pihak yang dianggap paham mengenai adat-istiadat dan tata cara dalam perladangan maupun pihak yang dianggap sebagai tokoh masyarakat. Selanjutnya, maka Ketua Ladang akan mengumpulkan masyarakat untuk melakukan musyawarah di Rumah Lamin. Dalam musyawarah akan diputuskan bersama kapan waktu yang tepat untuk memilih lahan yang cocok guna dijadikan perladangan dan waktu yang tepat untuk membuka lahan perladangan.
Umumnya masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan dalam pemilihan lahan dan pembukaan lahan untuk ladang, mereka melaksanakannya pada Mei hingga Juni. Pelaksanaan pemilihan lahan dan pembukaan lahan tersebut mencakup proses menebas atau memotong pohon-pohon yang berdiameter kecil, menebang pohon-pohon yang berdiameter besar, kemudian pada Agustus masyarakat akan melaksanakan pembakaran lahan.
Pembakaran lahan dilakukan selama satu sampai empat minggu. Jika sedang musim hujan maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Masyarakat masih mempraktikkan cara peninggalan nenek moyang mereka yaitu dengan cara membakar, karena dengan cara pembakaran tersebut masyarakat Dayak menganggap bahwa sisa-sisa pembakaran itu sebagai pupuk alami. Tentu hal ini akan sedikit meringankan biaya mereka dan tidak perlu lagi untuk membeli pupuk kimia yang harganya cukup mahal. Hal ini juga sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya, karena kandungan asam yang tinggi di tanah Kalimantan membuat masyarakat membakar lahan untuk mengurangi kandungan asam di dalam tanah.
Setelah satu bulan pasca menanam padi, masyarakat Dayak yang memiliki lahan mulai merawat padi yang mulai tumbuh tunas. Mereka membersihkan hama dan gulma yang menyerang ladang mereka. Sebagian besar masyarakat masih membersihkan ladang dengan cara manual dan beberapa masyarakat sudah mulai menggunakan bahan kimia seperti pestisida. Namun, dalam proses penanaman padi ladang tidak menggunakan pupuk kimia dikarenakan pupuk telah didapat dari hasil pembakaran.
Masyarakat Dayak Kenyah di Desa Lung Anai dalam hal pembakaran lahan untuk berladang juga tidak asal membakar, mereka memiliki teknik khusus dalam hal pembakaran yang dilakukan dengan teliti. Sebelum melakukan pembakaran, masyarakat memberi sekat di pinggiran ladang dan memprediksi arah angin. Setelah memberi sekat di pinggiran ladang, masyarakat pun tidak langsung meninggalkan lahan tersebut. Mereka akan menjaga api sampai benar-benar padam agar api tidak menyebar melewati batas ladang dan menghindari kebakaran hutan. Setelah dua atau tiga hari pembakaran. mereka kembali ke lahan untuk membersihkan sisa-sisa pembakaran yang masih tertinggal seperti kayu-kayu dan ranting-ranting. Setelah ladang bersih, mereka mulai menugal atau menugan (menanam padi) secara saling bergotong royong di ladang warga yang membuka lahan secara bergantian.
Soal membakar lahan untuk berladang ini pun sebenarnya juga sudah diatur dalam peraturan adat di Desa Lung Anai dan tidak mungkin masyarakat tersebut membakar secara sembarangan yang mengakibatkan kebakaran hutan secara meluas. Seperti yang sering dituduhkan oleh pemerintah kita, yang sering mengkambinghitamkan para peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan kabut asap.
Dalam peraturan adat, persoalan membakar ini diatur dalam pasal 19 Undang-undang Adat Dayak Kenyah (UHADK) yang berbunyi sebagai berikut:
Apabila seseorang ingin membakar lahan perladangan atau perkebunan, lebih dahulu harus diberitahukan kepada tetangganya, atau ladang atau kebun yang berdekatan dengan lahannya sebelum hendak membakar, paling lambat 2 hari sebelumnya.
Jika pondok ternak, pondok kebun, serta tanaman orang lain ikut terbakar hingga musnah kepada pembakar itu didenda RP100.000 oleh Badan Adat, dan harus membayar ganti kerugian orang-orang yang terbakar.
Dampak Kebijakan Pelarangan Membakar Ladang Terhadap Masyarakat Desa Lung Anai
Dengan pemerintah melarang masyarakat Dayak berladang sama saja dengan menghilangkan ketiga aspek seperti ruang hidup, sumber pangan, dan sarana masyarakat dayak membangun kebudayaannya.
Berbagai permasalahan baru yang dirasakan oleh masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Desa Lung Anai juga hadir mengiringi larangan pembakaran ladang ini. Seperti yang dapat kami saksikan secara langsung di lapangan, salah satu masyarakat Desa Lung Anai yang dulunya berprofesi sebagai petani ladang berpindah mengakui dengan hadirnya kebijakan pelarangan membakar tersebut, maka kini dia tidak lagi berladang sebab khawatir akan dihukum atau dipenjara. Sehingga hal ini membuat dirinya tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Akibatnya, anak-anaknya tidak bisa bersekolah lagi.
Selain itu, dua orang masyarakat Desa Lung Anai juga sempat dikriminalisasi dan merasakan dinginnya penjara selama satu tahun karena membakar lahannya untuk perladangan.
Dampak lainnya dari kebijakan perladangan ini turut memengaruhi hasil panen masyarakat. Sebelum adanya larangan, masyarakat membuka ladang sebesar satu atau dua hektar. Mereka mengaku bisa menghasilkan seratus sampai dua ratus kaleng padi. Namun kini, hasil panen yang hanya sepuluh kaleng saja sudah patut mereka syukuri.
Selain itu, masyarakat juga menyebut adanya kebijakan tersebut berdampak pada sulitnya melaksanakan Uman Undrat (Pesta Panen). Di mana bahan-bahan yang digunakan dalam pesta panen tersebut mayoritas diambil dari hutan.
Lebih lanjut, hadirnya berbagai izin perusahaan di wilayah hutan sekitar desa juga turut menyebabkan masyarakat sulit mencari bahan-bahan guna mempersiapkan pesta panen. Hal tersebut merupakan akibat dari hutan yang telah dibabat habis oleh berbagai perusahaan mulai dari korporasi tambang hingga kelapa sawit.
Aturan ini telah membuat perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai, terutama dalam hal ketahanan pangan. Jika dahulu mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa membutuhkan uang, kini masyarakat harus serba memiliki uang untuk sekadar membeli beras dan kebutuhan rumah tangganya.
Dahulu, sebelum adanya kebijakan larangan membakar ladang dan masyarakat masih bebas mengolah lahannya, mereka tidak saja menanam padi sebagai tanaman utamanya. Namun, mereka juga menanam berbagai jenis tanaman lainnya untuk mencukupi kebutuhan makanan mereka seperti cabai, umbi-umbian, terong pipit, dan lain sebagainya. Kini, beras hasil ladang yang sedikit tak lagi bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Masyarakat juga lebih sering berutang di warung akibat hasil ladang yang kian sedikit.
Opini ditulis oleh Andreas Ongko Wijaya Hului dan Muhammad Fahran Nashiri, mahasiswa Pembangunan Sosial, FISIP 2020.