Tahun 2018 adalah tahun paling bersejarah. Kita akan memperingati beberapa peristiwa besar yang pernah terjadi di dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, yaitu 90 tahun Sumpah Pemuda, 75 tahun Proklamasi (9 Ramadhan 1439 H/17 Agustus 2018), 63 tahun KAA Bandung, 53 tahun Tragedi Nasional 1965, dan 20 tahun Reformasi Nasional Indonesia.
Setelah 75 tahun merdeka, perdebatan tentang siapa yang lebih berperan dalam mencetuskan proklamasi: para pemuda atau pemimpin yang lebih senior seperti Soekarno, Hatta dan Soebardjo, sudah menjadi klise. Apakah kita merdeka berkat perjuangan sendiri atau suatu insidensi sejarah, kini tidak bergitu relevan. Jauh lebih penting untuk melihat faktor apa yang menyebabkan kita masih eksis dan bersatu seperti sekarang.
Ialah tentang apa kekuatan yang mendalam dan luar biasa sebagai force profonde/forces that force yang menyebabkan kita bertahan sebagai bangsa? Mengapa RIS (Republik Indonesia Serikat) hanya mampu bertahan setahun, setelah itu kenapa semuanya ingin kembali bersatu dalam wadah Republik Indonesia. Mengapa rakyat Aceh mau menyumbang pesawat terbang Seulawah bagi Republik Indonesia? Kenapa rakyat Sumatera Barat rela mengumpulkan iuran bagi republik yang masih muda usia ketika itu? Kenapa ribuan warga Surabaya rela mengorbankan jiwa-raganya melawan kembalinya penjajah?
Sejarah telah menggambarkan posisi dan peran strategis pemuda sebagai tonggak berdirinya sebuah bangsa. Ikrar yang diucapkan para pemuda ini pula yang menciptakan ruh pada bangsa ini. Ketika momentum reformasi sudah kian menjauh, gerakan mahasiswa mengalami kelesuan. Begitu pula dengan kondisi bangsa. Peralihan gelombang sejarah bangsa ini dari era orde baru hingga era reformasi nampaknya masih belum mampu menjadi penyangga kepentingan rakyat, sebagaimana amanat UUD 1945 yang konsisten digunakan para elit, pemimpin, dan pemuda Indonesia sebagai dalil telah ikut serta dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meskipun Indonesia sudah merdeka 73 Tahun, tujuan berbangsa dan bernegara disadari belum seluruhnya sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Tujuan melindungi tumpah darah Indonesia dan ikut menjaga ketertiban dan perdamaian di dunia memang sudah pernah tercapai. Namun itu dulu. Manakala Soekarno menggabungkan bangsa-bangsa terjajah, berunding dan menentukan sikap perlawanan secara kolektif terhadap kolonialisme. Di saat para kaum proletar, priyayi, borjuis, hingga pribumi ikut serta menumpahkan darah, keringat serta nyawanya untuk menggenggam bara api semangat akan kemerdekaan.
Berbagai usaha untuk membangkitkan gairah selalu berhenti pada realitas yang gamang. Jika kita analogikan dengan kondisi pemuda kita, kita akan menemukan sebuah jawaban kewajaran. Wajar gerakan tersebut tidak lagi memiliki elan vital, karena faktanya kondisi mengalami krisis hebat.
Dengan melihat perjalanan bangsa di moment 20 tahun Reformasi ini, dapat dikatakan pula bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum negara Indonesia belum bangkit dan mandiri. Buktinya jumlah pengangguran masih tinggi, rakyat miskin di sana-sini, hingga kondisi negeri ini yang kian carut dalam berdemokrasi.
Realitas Gerakan Mahasiswa
Bagaimana realitas gerakan mahasiswa saat ini? Ada artikel yang cukup menarik dari Muhammad Al-Fayyadl berkaitan dengan masalah ini yang berjudul “bunuh diri Kelas”. Artikel ini juga senada dengan beberapa artikel lain yang melihat gerakan mahasiswa pada analisis struktural.
Menurut Fayyadl, realitas yang ada pada gerakan mahasiswa pascareformasi adalah krisis idealisme akibat infiltrasi kapital dan kekuasaan. Gerakan mahasiswa sejatinya adalah gerakan moral, menjadi larut oleh ekspresi kekuasaan dan kapital yang ada di Indonesia. Migrasi mahasiswa kepolitik, atau proyek-proyek yang berseliweran di sekitar gerakan mahasiswa menyebabkan dimensi politik menjadi lebih besar dari pada dimensi moral dari gerakan tersebut.
Akibatnya, kerangka moral menjadi absurd. Independensi gerakan yang seharusnya menjadi pijakan eksistensial gerakan mahasiswa, kini dianggap tidak ada. Semua dianggap harus menginduk pada kekuasaan. Meminjam bahasa Fayyadl, gerakan mahasiswa gagap memetakan relasi kekuasaan dan struktural yang ada disekitarnya sehingga menyebabkan gerakan mahasiswa menjadi lebih akomodatif terhadap modal yang dulu ditentang habis-habisan pada medio 1998.
Belum lagi badai apatisme dan pesimisme yang menerpa jiwa para pemuda yang sejatinya sedang di nanti-nanti kiprahnya sebagai aset rakyat yang menutup diri dari peran dalam persoalan realitas bangsa. Sifat indiviualis yang kian merekat hingga tindak pengorbanan yang enggan di lakukan untuk kepentingan masa depan bangsa. Terasa hilang ruh dan jatidiri seorang pemuda ketika mereka tidak lagi mau melakukan pengorbanan. Baik itu pengorbanan materi, waktu, tenaga, pikiran untuk merekonstruksi kembali masa depan bangsa ini. Hingga melemahnya daya kritis terhadap realitas ketimpangan yang terjadi.
Kontribusi Kita
Lihatlah negeri ini. Begitu indah untuk dinikmati. Bermacam-macam kepribadian manusia dengan keragaman suku, agama, ras, budaya ditambah kekayaan sumberdaya yang dikandung ibu pertiwi. Tapi, saat ini negeri ini sedang salah pengelolaaannya. Korupsi marak terjadi, perebutan kekuasaan, sumber daya alam dikeruk asing, ketimpangan terjadi begitu ekstrem, sedangkan masyarakat dibiarkan untuk saling berkonflik di dunia maya dan nyata.
Tak hanya itu, bangsa ini juga menghadapi berbagai dera cobaan. Setidaknya terdapat tiga masalah pokok bangsa, yakni: ancaman terhadap wibawa bangsa. Gagalnya untuk membangun titik temu yang disebabkan egoisme individu dan sektoral, serta melemahnya akal budi bangsa dan budaya kolektif yang ditunjukkan minimnya rasa empati, gotong royong, dan marak saling serang.
Tidakkah tersayat hati dan pikiranmu wahai pemuda?
Oleh karena itu, bangsa ini butuh orang-orang yang menyatakan siap dan memilih berjuang. Pemuda yang memiliki rasa kepekaan cinta memiliki bangsa. Karena reformasi hadir dengan semangat kebersamaan, kesetiakawanan, dan pengorbanan yang dibawa para pemuda di dalam lubuk sanubarinya. Mereka yang menyandang status sebagai mahasiswa, hadir tanpa sekat golongan, kepentingan hingga jalan perjuangan. Berani menyisihkan egonya untuk satu tujuan, yaitu perubahan.
Jangan jadikan 20 tahun Reformasi sebagai sebagai formalisme berdemokrasi yang menyebabkan pikiran kita dikecewakan dengan ketidakoptimalan dan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Jangan jadikan 20 tahun Reformasi hanya sebagai parang tajam yang dinikmati oleh aktivis pergerakan untuk memotong dan menikmati kuenya masing-masing.
Mari kobarkan semangat cinta terhadap bangsa ini, kolaborasikan kebaikan yang ada di dalam hati nurani. Karena Indonesia masih punya asa yang mesti terus kita perjuangkan.
“Betapa ingin kami agar bangsa ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri”
Ditulis oleh Rizaldo, Presiden BEM KM UNMUL 2018