Sumber Gambar: Shutterstock
Hingga hari ini kata anarkisme sering dilekatkan pada hal-hal yang berbau negatif, seperti kekerasan, vandalisme, dan perusakan. Anarkisme seakan menjadi momok menakutkan bagi para pendengarnya.
Apalagi akibat ulah berbagai media mainstream yang mereduksi makna anarkisme seolah-olah menjadi biang onar segala kekerasan yang terjadi pada setiap gerakan demonstrasi. Ini terkait dengan politik kuasa media yang dapat mempengaruhi para pembacanya, sehingga menyebabkan pendangkalan makna pada anarkisme.
Tidak jarang pula, orang-orang yang mengaku dirinya sebagai aktivis pergerakan yang sudah malang melintang di dalam parlemen jalanan menggunakan kata anarkisme sebagai aktor utama provokator yang membuat kerusuhan.
Padahal anarkisme ialah salah satu filsafat politik yang menentang adanya hierarki dan otoritas yang sering kali menyebabkan penindasan terhadap manusia. Maka dari itu bagi anarkisme, negara dan pemerintah harus ditiadakan sebab kedua hal tersebut yang sebenarnya memproduksi kekerasan dan penindasan pada umat manusia.
Secara etimologi kata anarkisme sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Anarchos atau Anarchein. Huruf “A” sendiri memiliki arti “tidak dan tanpa” dengan “archos atau archein” yang artinya “pemerintahan dan kekuasaan”. Sedangkan isme sendiri memiliki makna “paham atau ajaran”. Anarkisme juga sering disebut sebagai Sosialisme Libertarian, Sosialisme Anti-Otoritarian, dan Sosialisme Merdeka.
Maka dari itu, secara singkat anarkisme dapat diartikan sebagai paham atau ajaran yang menentang adanya otoritas kekuasaan, kelas, dan kasta yang bersifat hierarkis, karena bagi anarkisme kekuasaan yang bersifat hierarkis dan sentralistik sebagai alat dari penindasan.
Bagi para penganut anarkisme, negara dan pemerintahan harus dihapuskan. Kemudian menggantikannya dengan memberikan otonomi seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri.
Bukan sekedar ide yang utopis dan mengawang-ngawang, anarkisme telah lama terwujud dalam kehidupan masyarakat yang mendiami Nusantara. Contohnya, anarkisme ditemukan di kalangan masyarakat Dayak yang mendiami pulau Kalimantan.
Sebelum terbentuknya negara bangsa Indonesia, masyarakat Dayak dapat mengatur kehidupannya secara mandiri tanpa adanya intervensi pihak kekuasaan. Hal ini telah ditulis oleh Bima Satria Putra dalam bukunya yang berjudul “Dayak Mardaheka: Sejarah Masyarakat Tanpa Negara di Pedalaman Kalimantan”.
Telah terbukti bahwa pembentukkan negara dan bangsa merupakan salah satu faktor utama hancurnya pranata kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum masyarakat Dayak yang menempati berbagai pedalaman dan hulu sungai pulau Kalimantan.
Apakah masyarakat Dayak memilih tempat tinggalnya di pedalaman dan hulu riam sungai yang sulit dijangkau hanya sekedar letak geografis semata? Ini merupakan alasan dan keputusan rasional yang dikehendaki oleh masyarakat Dayak sendiri untuk menghindari jerat penindasan dan kekuasaan yang ingin mencengkram kehidupan mereka. Pedalaman dan hulu riam yang sangat sulit aksesnya merupakan benteng alami yang dibentuk oleh mereka.
Sejarah telah menunjukkan bahwa pembentukan identitas Dayak sepanjang perjalanannya ditandai dengan ketidakpatuhan terhadap otoritas yang menindas. Mereka dapat menyelesaikan konflik yang dihadapi tanpa hakim, polisi, dan penjara. Sistem ekonomi yang terbangun tanpa uang dan pasar, kemudian menjadi pemberontak untuk menangkis pajak dan upeti.
Berbagai mekanisme mereka bangun dengan menyebutnya sebagai “jurus-jurus merdeka dari kekuasaan” antara lain adalah pertanian gilir-balik (pertanian melarikan diri). Ini merupakan mekanisme yang menggabungkan antara sistem mata pencaharian sekaligus mekanisme pertahanan yang memungkinkan mobilitas tingkat tinggi, untuk menghindari takluk pada kekuasaan. Kemudian, kuasa mistik dengan mempraktikan berbagai ritual penghilangan kampung agar tidak terlihat oleh musuh yang ingin menundukkan mereka.
Kayau, identitas ini masih terus melekat hingga hari ini pada masyarakat Dayak. Identitas tersebut tidak lepas dari campur tangan para antropolog barat pada abad 19 hingga 20 yang menggambarkan perburuan kepala di kalangan orang-orang Dayak yang menimbulkan kengerian pada para penjajah. Sehingga lahirlah peristiwa penting pada tahun 1894 di Tumbang Anoi.
Konflik etnis pada 20 tahun silam yang melibatkan antara orang-orang Dayak dan pihak lainnya, banyak menimbulkan berbagai pendapat. Salah satunya menyatakan bahwa tradisi lama mengayau telah hidup kembali.
Penggambaran identitas yang penuh kengerian tersebut dapat dikatakan sebagai mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh orang-orang Dayak, untuk mempertahankan otonominya terhadap gangguan kekuasaan ataupun otoritas yang mengusik mereka.
Identitas yang terbentuk, dibentuk, dan membentuk hingga sekarang itu merupakan kritikan atas dominasi yang berjalan secara berkelindan dengan berbagai perusakan tatanan kehidupan mereka. Sehingga identitas tersebut juga membuat pihak penguasa berpikir ulang untuk menundukkan orang-orang Dayak yang mereka anggap masih barbar sehingga tidak mudah untuk ditaklukkan.
Sejalan dengan itu, apakah anarkisme itu kekerasan? Pierre Joseph Proudhon seorang tokoh anarkis dari Prancis yang lahir 15 Januari 1809 dan wafat 19 Januari 1865 menyatakan, anarkisme adalah kedamaian dan anti terhadap kekerasan. Terlebih lagi ia berpendapat bahwa gagasan anarkisme sama dengan gagasan-gagasan politik lainnya yang menghendaki rasionalitas dan positif.
Anarkisme juga membangun swakelola lewat demokrasi langsung alih-alih demokrasi parlemen. Demokrasi langsung adalah mendorong masyarakat untuk turut aktif dalam mengambil keputusan yang bersinggungan langsung dengan kehidupannya dan keputusan bersifat dari bawah ke atas. Tidak ada pemimpin, namun delegasi atau juru bicara yang dapat dicopot sewaktu-waktu apabila melanggar kesepakatan bersama yang telah dibahas dalam dewan-dewan musyawarah rakyat.
Kemudian yang perlu diketahui pula, setidaknya terdapat tiga posisi anarkis hari ini, antara lain:
Anti terhadap organisasi
Kaum anarkis yang berada di posisi ini menganggap bahwa organisasi akan melahirkan birokrasi yang bersifat sentralistik, sehingga kaum anarkis dalam posisi ini mengusung spontanitas dalam gerakannya dan terhubung dengan kelompok-kelompok kecil (afinitas).
Sindikalisme atau Komunitarianisme
Kaum anarkis yang berada di posisi ini percaya bahwa pembangunan organisasi hanya di tingkat sosial saja seperti, terjun dalam serikat buruh, gerakan lingkungan, gerakan masyarakat adat, dan lainnya. Karena mereka percaya bahwa organisasi di tingkat sosial telah dilengkapi perkakas yang cukup untuk melakukan perubahan.
Dualisme Organisasi (Spesifik)
Kaum anarkis yang berada di posisi ini percaya bahwa kaum anarkis haruslah membangun organisasi di tingkat politik, maksudnya adalah kaum anarkis harus menghimpun dirinya ke dalam organisasi khusus anarkis. Sementara di tingkat sosial kaum anarkis juga perlu untuk melakukan peleburan sosial dan melakukan kerja-kerja sosial di berbagai organisasi gerakan.
Opini ini ditulis oleh Andreas Hului, Mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial FISIP Unmul angkatan 2020