Namanya Adyatama Barata. Bisa kau panggil Tama. Kuliah jurusan Teknik Sipil semester empat. Hobinya menelusuri alam, berkhayal, dan berbicara sendiri. Mempunyai kekasih bernama Chaaya Dafina. Katanya, perbedaan kota di antara keduanya membuat mereka menjalani suatu hubungan jarak jauh atau lebih dikenal dengan Long Distance Relationship. Sip.
Tak ada orang lain selain Chaaya yang membuat Tama mempunyai dua hobi terakhir tadi, berkhayal dan berbicara sendiri. Berkhayal bersama Chaaya seperti saat ini, “rasanya kalau sekarang juga aku bisa, aku ingin bangun rumah di belakang rumahmu! Biar aku bisa temuin kamu setiap pagi,” ucapnya sembari menggambar dua rumah, depan-belakang. “Soalnya, kalau nunggu nanti, kita gak perlu ada di rumah yang berbeda, kan kita bakal serumah hehe.” Kekasihnya hanya bisa senyum-senyum di balik ponsel. Sedangkan berbicara sendiri, adalah hobi yang dia lakukan ketika ia ingin sekali berbincang langsung dengan Chaaya. Seperti tadi malam, tetap sama aku ya? Jangan kemana-mana, di situ aja. seraya melihat foto perempuan yang ada di layar ponselnya.
…
Selama dua tahun mereka telah menjalani hubungan itu, jarak bukanlah masalah. Selama itu pula mereka hanya bisa bertemu melalui layar ponsel, karena memang mereka memiliki kesibukan serta urusan yang harus diselesaikan masing-masing. Untungnya mereka bisa saling memahami satu sama lain. Sebenarnya, Tama dan Chaaya adalah teman lama, sudah sedari mereka berada di satu SMP yang sama. Dua sejoli itu tak pernah lupa wajah mereka yang dulu pernah saling bertatapan—walau tanpa ada rasa di dalamnya. keduanya tak pernah lupa sifat dan tingkah laku mereka dulu, yang hingga sekarang hanya sedikit perubahan yang mereka rasakan.
Mungkin, kamu akan jenuh dengan hubungan seperti itu. Mungkin, jika kamu yang mengalaminya, hubungan itu sudah berakhir. Mungkin, kamu akan lebih memilih yang menarik di depan mata, bukan yang berada di balik layar ponsel. Mungkin, kamu akan mulai berpikir, hubungan seperti itu akan merepotkan, sulit dipertahankan, dan seperti hubungan sia-sia yang tak tahu ke mana arahnya. Mungkin. Tapi tidak bagi Tama dan Chaaya.
Nyatanya, rindu memang bagian dari cinta. Baru saja kemarin bertemu, hari ini sudah rindu lagi. Begitu seterusnya. Haruskah terus dituruti? Bukankah jika terus dituruti, akan timbul sikap egois?
Bukan berarti Chaaya tidak pernah terpengaruh dengan lontaran kata yang sering diucapkan orang mengenai hubungan jarak jauh. Sering. Apalagi Chaaya cantik, siapa yang tidak mau? Tetapi ia cepat-cepat sadar, bahwa hubungan juga tidak semudah hanya dengan sebuah pertemuan.
...
Tama sedang memandang hasil gambaran dua rumah yang ia pajang di dinding kamarnya. Andaikan dia dan kekasihnya itu berada di kampus yang sama, atau setidaknya satu kota saja, mungkin ia tak membuat Chaaya menunggu pertemuan di antara mereka.
Tujuh hari lagi adalah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Keinginan perempuan itu tak banyak, bisa bertemu dengan Tama akan menjadi salah satu kado istimewanya. Tentu Tama tak berpikir dua kali lagi, ini saatnya pertemuan itu akan menjadi nyata!
“Seperti perempuan pada umumnya, Chaaya suka sesuatu bernuansa warna merah muda, suka membaca novel remaja, suka dengan boneka, dan juga suka bila diberi bunga,” gumamnya. “Astaga...perempuan sekali, Cha,” ucapnya tersenyum. Dia jadi bingung, harus membeli yang mana. Membeli semua?
“Halo, sayang,” Tama memulai pembicaraan dengan ponselnya—maksudnya, pacarnya.
“Hey, kamu lagi ngapain?”
“Lagi ga mikirin kamu.”
“Kok gitu?”
“Soalnya lagi ngomong sama kamu, jadi udah ga mikirin.”
“Oh haha, aku mau gombal juga dong.”
“Gombal apa? Eh tadi aku bukan gombal tapi beneran tau!”
“Yaudah ini aku juga beneran. Cinta aku ke kamu itu bagai sebuah jam. Walau enggak terus kamu perhatikan, tapi dia akan terus berjalan sesuai tugasnya.”
“Hahaha. Belajar dari mana kamu?”
“Ih diketawain, ga sweet emangnya ya?”
“Yang sweet itu, yang ngomong barusan.” Tama ini, benar-benar raja gombal! Tidak tahu sudah berapa triliun kata yang dia berikan buat kekasihnya. Sampai-sampai, Chaaya sering khawatir, dia mengatakan ini tidak hanya kepadanya, tetapi juga ke perempuan lain. Ya, itulah cinta. Khawatir ada di dalamnya.
“Jangan senyum-senyum sendiri, senyumnya nunggu ada aku aja. Biar aku puas, biar aku tau, itu senyumnya gara-gara aku.”
“Emang kamu jadi nemuin aku?”
“Iya. Tadi aku udah diskusi sama Tuhan.”
Chaaya berdecak, “terus Tuhan jawab apa?”
“Katanya kamu suruh doain juga, biar semua lancar.”
“Amin.”
…
Ternyata hari begitu cepat bergulir, besok ia akan bertemu dengan perempuan yang telah menjadi tambatan hatinya. Senangnya Tama bukan main. Walaupun besok harus melewati perjalanan panjang, menggunakan pesawat terbang, kemudian untuk sampai ke rumahnya menggunakan bus yang akan memakan waktu seharian. “Demi Chaaya, demi Chaaya.”
Kado ulang tahun serta ucapan selamat ulang tahun yang ia tulis di kertas dan semuanya sudah selesai dibungkus. Semua perlengkapan yang harus dia bawa juga sudah ditaruhnya.
Keesokan hari...
“Safe flight, Tama! Terus berdoa ya.”
“Tunggu aku ya, Cha! I love you!”
“I love you more!”
“I love you more more!”
“Kapan selesainya?” ucapnya seraya tertawa.
“Pokoknya lebih lebih lebih lebih sampai pulsa kamu habis.”
“Ih ka..”
*tut tut tut*
“Keburu habis duluan pulsa aku,” decak Chaaya.
Tama tertawa, karena pulsa Chaaya benar-benar habis. Tunggu ya Cha, aku mau kamu bukan cuma jadi bayangan di hidupku, walaupun arti nama kamu itu bayangan, tapi kamu itu nyata buat aku.
Pesawat yang ditumpanginya sudah terbang sedari tadi. Kira-kira satu jam setengah lagi dia sampai di kota kekasihnya. Ia melihat ke arah awan yang begitu indahnya, kemudian terbesit dalam benak, “ternyata jarak itu nyata.”
Akhirnya, pesawat telah mendarat dengan selamat. Satu langkah lagi, Tama-Chaaya melepas sebuah kerinduan.
“Aku sudah di bus. Kamu udah siap-siap kan? Udah cantik belum? Awas jelek!”
“Jadi kalau aku jelek kamu ga suka?” jawab Chaaya—dengan nada merajuk.
“Hahaha engga lah.”
“Oh engga suka? Yaudah cari yang cantik aja, aku jelek.”
“Bukan gitu sayang. Engga lah, masa gara-gara kamu jelek aku jadi ga suka? Tapi kan kamu cantik. Jadi aku tambah suka.”
“Simpan dulu gombalannya, nanti ga liat aku senyum.”
“Nanti pas baru liat aku aja, kamu pasti udah senyum.”
“Ih pede.”
“Biarin yang penting bener. Yaudah ya, nanti aku kabarin kamu lagi kalau udah sampai. Daah.”
Di perjalanan menggunakan bus, awan meneteskan air matanya. Mungkin ia ikut terharu karena dua sejoli ini akan bertemu?
Di tengah perjalanan, Hujan turun semakin deras, jalan yang berkelok-kelok membuat bus tidak terkendali. Licin, licin sekali, katanya! Dan kau tahu? Supir tidak bisa menghentikannya.
Pasrah. Tama pasrah. Tapi dia tak lupa untuk berdoa. Namun, jika nyawanya hanya berhenti sampai di sini, ia harap perempuan yang ia cintai bisa melihatnya, bisa memegangnya, dengan nyata.
“Rem blong! Segera keluar!” perintah sang supir. Untuk keluar ternyata nihil. Pintunya macet. Ia berusaha memecahkan kaca jendela bus, kemudian melempar kado Chaaya keluar. Kemudian.. Bus terbalik. Hancur.
...
Belum ada kabar dari Tama, waktu sudah semakin sore, dan seharusnya dia sudah sampai sekarang. Chaaya tak ada firasat buruk sedikit pun, dia kembali memandang wajahnya ke depan kaca, untuk memastikan penampilannya sudah menarik atau belum.
Jam berdetak lagi, bergerak maju, tapi tanda-tanda Tama belum datang juga.
Panggilan masuk : Tama
“Halo sayang, kamu di mana? Jam segini kok belum sampai?”
“Selamat sore, ini siapanya yang punya ponsel ya?”
“Saya pacarnya, Pak.”
“Pacar anda baru saja mengalami kecelakaan bus. Dia meninggal.”
Meninggal?
“Maaf Pak, mungkin salah orang, atau Bapak sedang mempermainkan saya? Ponsel pacar saya jangan diambil Pak. Dosa.”
“Saya tidak berbohong, Mbak. Tolong beritahu keluarga dan berikan identitas lengkap ke nomor ini.”
Chaaya terduduk. Masih tidak mempercayai. Dia...menangis. Menangis sejadi-jadinya. Bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai? Patah. Hancur. Bagaimana jika penyebab kematiannya karena ingin menemuinya?
Ia baru saja memberitahu kabar buruk tersebut pada Mama Tama. Perasaan bersalah itu, sampai kapan pun tak akan pernah hilang. Dia akan terus menjadi selimut yang menutupi pikiran Chaaya.
Itu dia, jasad kekasihnya. Ini benar, ini sungguhan, dia Tama, dia kekasih Chaaya. Dia tak merespon, dia diam, dia benar-benar tak bergerak, Ia tiada.
Chaaya sudah melihat Tama, Chaaya sudah memegangnya, bahkan memeluknya. Tapi yang ia peluk hanya raganya, bukan jiwanya. Seorang Adyatama Barata dan segala kata-kata manisnya, pergi, pergi seutuhnya, selamanya.
“Maafkan Chaaya, Tante, Om. Karena Chaaya, Tama pergi selamanya,” ucapnya melalui telepon.
Ada tangis yang beradu. Ada air mata yang terjun bebas tak terkendali di antara mereka. Dengan bijak, Papanya menjawab, “kamu orang yang baik. Om tau itu. Sudah, nak. Sudah takdirnya Tama pergi.”
Sebuah bingkisan kado, cukup besar. Milik Tama. Chaaya membukanya. Isinya, bola dunia dan sepucuk surat.
“Happy birthday, Cha! Dengan segala kesukaanmu, mulai dari warna pink, novel, bunga, dan boneka, aku lebih memilih memberimu globe. Kenapa? Biar kamu bisa melihat seluruh dunia di bumi, dan melihat bahwa jarak dunia itu pendek, selagi aku dan kamu masih sama-sama di bumi. Masih bisa kita tempuh, kapan pun.
Tetap bersamaku ya? Karena kamu nyata untukku, bukan bayangan.
Aku mencintaimu. Kapan saja. Semoga suka dengan ini ya.
Adyatama Barata.”
“Nyatanya aku hanya bayangan untukmu, Tam. Aku sekadar bayangan...” ucapnya lirih.
.....
Keesokan harinya, Mama dan Papa Tama melihat jasad anaknya untuk terakhir kalinya, dan membuat suatu keputusan.
“Tama akan dikubur di kuburan belakang dekat rumahmu, Cha,” ucap Mamanya lemah. Membuat Chaaya terkejut. “A..apa? Tante dan Om yakin?”
Mama mengangguk, “Mama melihat dinding kamarnya, ada satu gambar yang ia bikin. Dia bilang, dia ingin punya rumah di belakang rumahmu.”
Oh Tuhan.. Kata-kata yang pernah Tama ucapkan sebelumnya.
“Mungkin itu permintaan terakhirnya, kamu bersedia kan?” tanya Papanya. Chaaya mengangguk, bagaimana pun, itu adalah keinginan Tama.
Dikuburlah jasad Tama di kuburan belakang dekat rumah Chaaya. Itulah rumah baru Tama sekarang, sebuah kuburan. Setiap hari, mereka bisa bertemu, jika Chaaya berkenan. Mereka bertemu, meski sudah saling berbeda dunia.
Tama, sesungguhnya Inilah jarak yang nyata
Tamat
Sebuah cerpen karya Briandena Silvania Sestiani, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Akuntansi 2018