Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Dinginnya embun pada hari itu menyelimuti subuh sembari menghangatkan setiap insan yang terlelap. Suara tua muazin terdengar dari celah-celah jendela kamar kos Dewa. Dengan mata sayup, ia terbangun. Suara decitan ranjang kayunya terdengar ketika ia mencoba duduk sembari menguap dan menggaruk rambutnya yang acak-acakan.
Selayaknya hamba yang taat pada kewajiban, ia beribadah menghadap Tuhannya. Ia menjalaninya dengan kekhusyukan yang hanya bisa disaingi oleh beberapa orang saja. Tak jarang, ia lupa waktu ketika tenggelam dalam kekhusyukannya. Contohnya pada hari itu. Ia baru menyelesaikan ibadahnya ketika sinar matahari mulai muncul dari ufuk timur. Setelah selesai, Dewa mempersiapkan diri untuk menjalani hari seperti biasanya.
Hari itu merupakan hari yang normal bagi Dewa. Ia berangkat kuliah dengan mengendarai motor matic besar berwarna merah. Dewa tak pernah lepas dari Tuhannya kemanapun dan kapanpun ia pergi. Dapat dibilang, ia selalu membawa Tuhannya kemanapun ia pergi. Dalam berkegiatan, Dewa selalu menyempatkan diri untuk berhenti sejenak menghadap Tuhannya.
“Rajinnya pang ikam melihati Tuhan kam, Dewa. Kada bosan, kah?”
Pertanyaan itu, dan pertanyaan lain yang senada, sering keluar dari mulut kawan-kawan Dewa ketika mereka menghabiskan waktu makan siang di kantin kampus. Dewa menjawab dengan jawaban dan senyum yang selalu sama.
“Tuhan ni yang memberi aku petunjuk. Kada ada yang inya kada tahu. Amun aku sorangan, gundah, bosan, Tuhan ni yang ngawani aku. Kada dapat aku hidup amun kadada inya.”
Kawan-kawannya sumringah dan tertawa tiap kali Dewa memberi pernyataan itu. Terkadang, mereka bertanya bukan karena ingin tahu tapi hanya sekedar ingin mendengar Dewa mengucapkan jawabannya. Maklum, Dewa hiperbola dan sering menggunakan majas ketika bercengkrama. Bahkan, kawan-kawannya sering menirukan Dewa ketika berbicara dengannya.
Beberapa hari setelahnya, tepatnya pada malam Kamis pukul 9 malam, Dewa dikunjungi oleh beberapa kawannya. Indekos Dewa tak pernah mempertanyakan siapa dan kapan tamu-tamu indekos masuk ataupun keluar. Yang penting penghuni indekos tidak telat bayar. Namanya juga indekos elit. Kamar mandi sampai dapurnya saja ada di dalam. Jelas beda dengan hunian kebanyakan mahasiswa lain.
Ketika sampai di depan kamar Dewa, mereka tak langsung mengetuk pintu. Mereka intip dahulu dari jendela. Barangkali Dewa sedang sibuk dengan Tuhannya. Sebab, Dewa tak jarang naik darah ketika ada yang mengganggu keasyikan ia dengan Tuhannya. Untungnya, malam itu Dewa sedang menyantap makan malamnya. Mereka pun mengetuk pintu dan Dewa membukanya. “Gaskah? Malam Kamis, nih. Kita ke tempat biasa,” ujar salah satu kawannya.
“Aku ada 400 ribu aja, ni. Aman kah?”
“Amannn. Hurunan aja dengan duit buan-nya.”
“Oke. Tunggulah. Aku bersiap dulu.”
Sepuluh menit berselang, Dewa keluar kamar dan langsung berangkat bersama kawan-kawannya. Mereka menuju tempat langganan yang mereka kunjungi hampir tiap bulan selama satu semester terakhir. Tempat itu bernama Kelvin. Sebuah klub malam yang terletak di dekat pasar kota.
Setibanya di Kelvin dan selesai memarkir motor, mereka langsung memasuki gedung tersebut. Nuansa gemerlap nan dingin menyelimuti setelah mereka berjalan masuk melewati metal detector dan petugas keamanan. Suara band akustik mengudara. Mereka duduk di meja tengah.
“Rasa leci kek biasa?” tanya Dewa ke kawannya.
“Yoi, Tambah soda aja sekalian biar banyak. Kalau cuma sebotol berlima cepat habis, kena.” pungkas kawan Dewa.
Minuman pun dipesan. Rokok dinyalakan. Minuman dengan campuran soda diteguk perlahan sambil menemani perbincangan mereka. Ketika wajah mulai memerah, salah satu dari mereka ada yang bertanya pada Dewa,
“Mana Tuhanmu, Wa?”
“Aman. Nih, ku kantongi,” sahut Dewa
“Awas aja hilang lagi, hahaha,” candanya diikuti dengan tawa Dewa dan kawan-kawannya yang lain.
Ketika jam menunjukkan pukul 10 malam, band berhenti memainkan musik dan undur diri. Band yang sedari tadi memainkan musik-musik jazz mendayu digantikan oleh DJ yang memainkan lagu-lagu remix dengan bass yang memekikkan telinga bagi mereka yang tak terbiasa. “Nah, ini baru party” ujar Dewa diiringi tawa tanda sepakat dari kawan-kawannya.
Mereka memesan lagi dua botol vodka untuk dituangkan ke seloki hingga tetes terakhir. Aroma alkohol mulai mengimbangi bau asap dalam ruangan itu. Semua berdiri dan berdansa ria seakan tak ada hari esok. Mereka yang tak berpartisipasi hanyalah mereka yang jaim atau mereka yang teler. Lantai terhentak mengikuti hentakan bass sang DJ. Minuman diteguk, kawan merangkul kawan, malam kawula muda yang liar nan gila. Hal yang tak terbayangkan oleh Dewa ketika ia masih bocah kampung yang bermain petak umpet di kebun sawit milik ayahnya. Hanya ketika momen itulah Dewa lupa pada Tuhannya.
Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Dewa terbangun di kamarnya yang dipenuhi oleh kawan-kawannya. Bau alkohol busuk dan dengkuran memenuhi kamar Dewa. Ia langsung teringat bahwa ia belum memeriksa Tuhannya hari ini. Ia merasa ada kejanggalan. Ada yang kurang. Ada yang hilang. Ia tak merasakan kehadiran Tuhannya lagi. Tuhan tak lagi bisa ia genggam. Tak lagi dekat dengan dirinya. Dewa yang awalnya panik pun mulai histeris. Sepertinya, efek dari alkohol semalam belum hilang dari dirinya.
Teriakan dan sentakan kalimat penuh sumpah serapahnya membangunkan seisi ruangan. Tak ada dari mereka yang merespon maupun mendekati, bahkan sekadar menyela ocehan Dewa. Ia kesal, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia kehilangan Tuhannya lagi? Mana mungkin Tuhan meloncat dengan sendirinya dari kantong celana? Atau Ia telah membersamai orang yang lebih pantas? Tak ada yang tahu.
“Dimana Tuhanku, weh!?”
Hanya itulah kalimat yang keluar dari mulut Dewa selain erangan penuh kekesalan sembari mengobrak-abrik isi kamarnya. Setelah ia terdiam, salah satu kawan Dewa menghampirinya.
“Kada papa, Wa. Kena kita cari yang baru. Ada aja, lok, duit kam?”
“Muntung abah kam baru! Data-dataku kek mana?!”
“Aman, aja. Itu kan bisa aja di-download lagi. Sudah kam backup, lok? Kek yang ku pesani kemarin?”
“Sudah.” ujar Dewa yang mulai tenang.
“Nah, kuy lah! Biar aku yang bawa motor.”
Mereka berdua bersiap lalu meninggalkan indekos dan kawan-kawan yang lain menuju gerai gadget terdekat. Di sana, Dewa mencari dan, dengan senyum lebar, menemukan Tuhannya yang baru.
Cerpen ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, mahasiswa Sastra Inggris, FIB 2018.