Masalah Pelik Suku Paser Balik: Kebun dan Hutan Dikuasai, Kini Hanya Bisa Pertahankan Tradisi
Sumber Gambar: Fauzan/Sketsa
SKETSA – Terik matahari masuk melalui jendela rumah Syarak (60), Kepala Adat Paser Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur. Terpajang pas foto dirinya bersanding dengan Sultan Paser di ruang tamu. Menandakan dirinya orang penting.
Syarak dan masyarakat Paser Bumi Harapan tumbuh berdampingan dengan hutan, hutan layaknya nadi bagi kehidupan masyarakat Pulau Kalimantan. Hutan juga tengah menjadi wadah warga melakukan beragam aktivitas ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya, sehingga hutan menjadi ruang hidup bersama. Hutan menjadi awal peradaban suku Paser dan Balik.
Ia dan masyarakat Suku Paser sudah lama bermata pencaharian dalam berkebun ataupun bertani di hutan. Pembukaan lahan sudah menjadi tradisi mereka sebagai masyarakat adat. Maka dari itu, ketika hendak membuka lahan, ritual untuk meminta izin dilakukan dengan bersoyong.
Syarak mulai melantunkan cerita-cerita mengenai kearifan lokal milik suku Paser Desa Harapan salah satunya yaitu ritual bersoyong. Bersoyong sendiri dipercaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan atau niat hajat warga terhadap para leluhur, demi meminta keselamatan dan perlindungan di tempat hidup mereka. Tak hanya itu, bersoyong sebagai media mencari keberkahan dahulu kala juga dilakukan.
Menurut penjelasannya, para leluhurnya zaman dahulu melakukan bersoyong sebagai pengobatan. Tujuannya, leluhur berharap bersoyong dapat meredam kutukan jin. Bukan tanpa alasan, selain melalui pengobatan herbal, para leluhur juga mengandalkan pengobatan melalui ritual atau mantra-mantra.
Ritual bersoyong ini berisi sesajian yang terdiri dari telur, beras kuning, tepung tawar, air, ayam, pisang dan lainnya. Semua jenis tumbuhan dan hewan itu diambil dari kebun adat mereka sebagai ciri khas, sebab isi sesajian tersebut mesti diambil dari tanah tempat mereka hidup.
Dalam ritual ini ada doa tersendiri dalam bahasa Paser dan Balik, ada tetua adat yang kerap dipanggil mulung (sesepuh adat) untuk menjalankan proses ritual ini.
“Setiap ada kegiatan besar maupun kecil, sudah kewajiban kami sebagai orang lokal untuk melaksanakan bersoyong. Termasuk untuk proses pembangunan IKN Nusantara ini seharusnya diadakan,” tuturnya pada Sabtu (11/3) lalu.
Syarak tujuan Bersoyong terhadap hadirnya IKN ini ialah untuk memberikan maksud-maksud kebaikan dan mulia dimohonkan kepada sang penguasa untuk kesejahteraan penduduk sekitar dan para pemimpin daerah.
Menurut pengakuan Syarak, pada zaman dahulu ritual ini dilaksanakan menjadi agenda wajib tahunan. Namun dewasa ini, ritual itu digunakan untuk sarana mempertahankan lahan masyarakat adat. Dalam artian, ketika bersoyong dilestarikan dan bahan-bahan pokok kebutuhan bersoyong harus diambil dari hutan adat setempat, berarti harus ada kawasan adat yang dipertahankan.
Ia bercerita bahwa selama hadirnya isu pembangunan IKN Nusantara, belum pernah dilaksanakan ritual Bersoyong dan itu jadi salah satu penyebab tenggelamnya budaya dari suku asli di sana. Sebab, pemerintah hanya berfokus pada pembangunan IKN dan tidak memperhatikan nasib masyarakat adat yang kaya akan kearifan lokalnya.
Syarak menambahkan jika akulturasi agama ke wilayah adat menyebabkan ritual ini dianggap musyrik oleh orang lain. Dia menyayangkan anggapan itu. Para leluhur menjadikan ritual bersoyong ini untuk menghindarkan malapetaka di lingkungannya. Sebab ketika proses bersoyong, ia menganggap apa yang mereka berikan kepada leluhur, sama dengan apa yang mereka tuai nantinya.
Ia berharap bahwa pemerintah bisa menaruh perhatian lebih untuk melestarikan ritual bersoyong ini. Pasalnya, ia telah berjuang untuk mempertaruhkan tradisi ini dengan tidak diketahui orang banyak karena ada unsur-unsur ketakutan stigmatisasi dari pendatang yang membawa agama.
“Selama ini, belum ada terpampang budaya kami. Keinginan kami tidak pernah diindahkan. Sering kali kami memohon kepada pemerintah, padahal siapapun yang datang kemari mesti menjelaskan tujuannya.”
Syarak takut kearifan lokal bersoyong ini kian hari akan memudar, apalagi akan ada migrasi berskala besar dengan latar belakang orang yang beragam masuk ke wilayahnya ketika IKN rampung.
Syarak meyakini jika memang pemerintah tidak berkenan merawat budaya suku Paser ini, hanya pihak internal masyarakat adat yang akan mewariskan dan menjaganya dengan baik.
“Bersoyong ini upaya untuk bertahan dan perlindungan,” rentetnya.
Tak hanya di Desa Bumi Harapan, Ritual Bersoyong juga eksis di Suku Balik Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Suku Balik sendiri masih satu sub etnis dari Suku Paser dan memiliki budaya yang mirip.
Jubain (58), yang merupakan Kepala Adat Suku Balik Kelurahan Pemaluan ini turut bercerita mengenai ritual bersoyong. Pada Sabtu (11/3), ia didampingi pemangku adat banyak bercerita mengenai kondisi masyarakat adat di sana.
Cukup berbeda dengan Syarak. Berdasarkan pengakuan Jubain, ritual Bersoyong suku Balik kerap kali digunakan untuk membuka lahan ketika ingin berladang. Tujuannya untuk meminta keselamatan, hasil panen yang baik, dan agar membuahkan hasil yang baik.
“Istilahnya untuk tabe-tabe (permisi) sama penguasa hutan,” ucapnya sembari menjelaskan bermacam-macam jenis ritual Bersoyong tergantung dari tujuan dilaksanakannya.
Ada satu elemen penting yang digunakan dalam ritual Bersoyong suku Balik, yaitu membakar kayu hutan atau “krembulu” sebutan bagi masyarakat adat Balik terhadap kayu yang beraroma khas mirip kemenyan itu.
Jubain membeberkan, ritual ini bukan ritual wajib tahunan, namun dilaksanakan jika ada acara khusus atau ingin membuka lahan ketika berkebun saat musim tanam.
Persiapan dalam ritual Bersoyong ini biasanya harus mencari hari yang baik, memantau lokasi proses ritual untuk melihat kondisi kebun apakah bagus untuk berkebun atau tidak. Namun menurut sesepuh suku Balik, ada pula pantangan yang harus dihindari seperti lokasi tidak boleh ditumbuhi beberapa pohon tertentu.
Setelahnya, ritual bersoyong dimulai sore hari dengan merintis (membersihkan kebun) sebagai tahap permulaan.
Uniknya, di Suku Balik, bersoyong juga kerap digunakan untuk kegiatan lain. Pada momen istri atau anak suku Balik yang hendak melahirkan misalnya. Tiga hari sebelum melahirkan, akan dibuat seperti “jernang” keranjang dari daun kelapa kemudian diisi pisang yang berjumlah ganjil, rokok, dan uang kemudian dihanyutkan di sungai.
“Ini boleh dikatakan kebiasaan atau adat istiadat karena ritual ini diharuskan. Sebab, ketika tidak dilaksanakan, si ibu sakit dan anaknya rewel,” menurut pengalaman Jubain.
Semua bahan-bahan dalam pelaksanaan ritual Bersoyong ini diambil dari hasil hutan masyarakat Suku Balik.
Pelaku pelaksanaan ritual ini juga tidak bisa sembarangan dilaksanakan. Terutama pada saat bersoyong untuk keluarga yang hendak melahirkan. Bidan yang melahirkan keluarganya harus dari kampung dan berkenan untuk melaksanakan ritual bersoyong ini.
Sedangkan untuk Bersoyong dalam pembukaan lahan perkebunan, itu harus dilaksanakan oleh pemilik lahan secara langsung.
Dalam ritual ini, dilaksanakan dengan beberapa rapalan doa tergantung dari jenis ritual yang dilaksanakan, baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Balik agar doa sampai kepada leluhur yang ingin dituju.
Jubain menyayangkan keterlibatan para anak muda suku Balik yang kurang menaruh perhatian terhadap bersoyong ini.
“Kalau lihat sekarang, saya tidak tahu apakah kami yang tidak diperhatikan (saat proses ritual) atau mereka yang tidak mau belajar dengan kita.”
Namun, Jubain melihat ini dikarenakan perbedaan generasi. Pada eranya muda dahulu, ia harus mematuhi berbagai aturan adat orang tua. Sementara saat ini, anak-anak suku Balik enggan untuk menaruh perhatian lebih.
Jubain khawatir ketika proses pembangunan IKN Nusantara perlahan mulai rampung dan banyak masyarakat luar bermukim di daerahnya. Sebab itu artinya, budaya serta kearifan lokal masyarakat suku Balik akan perlahan sirna.
“Kami sangat takut, apalagi kehidupan orang sini hanya bertani dan kadang pulang sore, sedangkan orang sana (pendatang) skill-nya diatas rata-rata,” ungkapnya.
“Mau kami, dari pemerintah perlu menata pemukiman adat kami, orang-orang kami dibina. Karena menurut kami yang penting hanya pendidikan dan kesehatan,” sambung Jubain.
Asmin (52), Pemangku Suku Balik Kelurahan Pemaluan turut berharap pola hidup masyarakat adat tidak berubah drastis dengan hadirnya IKN. Sebab masyarakat lokal nantinya akan tergerus pola hidupnya.
Tentang Bersoyong ini, pihaknya masih aktif melaksanakan ketika ada acara-acara tanam padi dan membuka lahan hutan.
“Semua itu ada cara dan aturannya, walaupun dengan hadirnya IKN, cara tradisi, hutan dan kebun adat hingga hukum adat tetap akan kami jalankan,” sanggahnya.
Yang menjadi perhatian Asmin, acara bersoyong besar atau bersoyong besimong belum pernah dilaksanakan di Suku Balik, sementara di suku lain seperti Paser Penajam dan Grogot telah dilaksanakan. Ia berharap pemerintah bisa melibatkan Suku Balik.
“Harapan kami selama ini, kami lah yang terdekat dan terkena dampak dan kami lah yang bersoyong besimong di titik nol IKN Nusantara terlebih dahulu.”
Bersoyong ini memang harus dilakukan, terlebih ketika meminta izin kepada leluhur di daerah IKN, bukan izin kepada pemerintah melainkan adat. Tujuannya agar pemerintah dalam pelaksanaan IKN tidak ada rintangan.
Ia bermaksud, ketika pemerintah hendak membangun IKN masyarakat Balik perlu terlibat untuk bersoyong agar mendapatkan izin dari leluhur.
“Kami lihat tiba-tiba kok ada cadangan istana presiden, kapan bersoyongnya sama penunggu di sini ini?” rutuknya.
Ia takutkan kegiatan itu akan berdampak pada Suku Balik dan ke pemerintah sebab tidak mendapatkan izin leluhur.
Belum ada perlindungan
Tak heran jika Syarak merasa kecewa dengan minimnya perhatian pemerintah. Menurut pengakuan Syarak, di Desa Bumi Harapan banyak sekali lahan masyarakat adat yang diambil alih lahannya oleh pemerintah demi mega proyek IKN Nusantara.
Dari data milik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, wilayah IKN dibagi menjadi tiga kawasan yaitu; Kawasan IKN: 49.859 ha, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan 6.925 ha, Kawasan Perluasan IKN, 197.420 ha. Dari Total Kawasan IKN 252.204 ha, terdapat wilayah adat seluas 235.667 Ha yang harus dikorbankan untuk pembangunan IKN.
Termasuk rumah yang Syarak bangun dan tinggali saat ini terkena kawasan steril dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). “Mungkin sebentar lagi saya pindah dari sini karena masuk dalam koordinat itu,” tutur Syarak dengan nada sendu.
Syarak mengaku bahwa sepertinya pemerintah sulit untuk memberikan lahan ganti rugi lantaran belum ada tanggapan apapun yang diterima. Ia juga beberapa kali berdiskusi, pemerintah hanya bisa menggantinya secara materiil berupa uang.
Luas lahan yang diambil alih yaitu sebanyak dua hektare di kawasan rumahnya dan kebunnya seluas satu hektare. Selaku kepala adat, kini Syarak hanya bisa pasrah bekerja sama dengan pemerintah. Ia berharap ada kebijakan pemerintah untuk memposisikan mereka di tempat yang layak di kemudian hari.
Masyarakat Paser dan Balik hidup di sana sejak turun-temurun. Namun hingga kini, belum ada pengakuan serta perlindungan hak-hak mereka, termasuk soal lahan. Belum ada regulasi yang jelas dari pemerintah daerah maupun pusat. Situasi dan kondisi ini jelas rawan bagi suku Paser dan Balik, terlebih di tengah wilayah adat mereka masuk dalam proyek IKN Nusantara.
Terlihat pada peta indikatif sebaran wilayah adat yang disusun Forest Watch Indonesia (FWI), hampir 50 persen kawasan berwarna hijau yaitu kawasan potensi wilayah adat. Catatan AMAN menyebut, ada 21 komunitas adat di wilayah rencana pembangunan IKN.
Ada 19 komunitas adat di Penajam Paser Utara, sisanya di Kutai Kartanegara. Identifikasi mereka menunjukkan ada 11 komunitas adat di dalam zona inti pembangunan IKN. Kondisi ini menunjukkan kalau lokasi Nusantara bukanlah tanah kosong.
Negara sudah seharusnya menjamin hak konstitusional masyarakat adat sepanjang keberadaan mereka masih ada. Sayangnya, pembangunan IKN yang terus dikebut menandakan bahwa negara memiliki ambisi yang kuat untuk memindahkan IKN seperti candi tanpa memikirkan masyarakat adat selaku pemilik wilayah.
Perlu Adanya Solusi
Sri Murlianti (49), Sosiolog sekaligus pengajar Prodi Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman yang mendalami social safeguard dalam pembangunan berbasis lahan; dan mitigasi sosial masyarakat adat dalam pembangunan berbasis lahan turut memberikan penjelasan.
Dihubungi melalui WhatsApp pada Rabu (15/3), ia menjelaskan banyak hal yang membuat masyarakat Balik belakangan jarang melakukan ritual bersoyong. Pertama, pengaruh masuknya Islam, yang memang menganggap ritual-ritual adat ini bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, perlengkapan ritual yang sebagian besar bahan bakunya merupakan tumbuh-tumbuhan hutan, semakin sulit diperoleh. Kalaupun ada, lokasinya sangat jauh dari hutan adat untuk mendapatkannya, harus mencari ke arah hutan lindung yang sudah masuk ke perbatasan Kutai Barat.
“Tidak seperti zaman dulu, ketika kebun-kebun dan ladang mereka belum di-clearing perusahaan dan diubah menjadi hutan monokultur, dulu kan tumbuh-tumbuhan perlengkapan ritual mudah didapat dan tak jauh dari pemukiman penduduk,” jelasnya.
Ketiga, adalah rasa minder yang terbentuk dari perjumpaan dengan budaya-budaya pendatang, baik para transmigran maupun orang-orang perusahaan membuat mereka yang merasa malu melakukan ritual-ritual ini. Menurut Sri, fatalnya memang tidak ada keberpihakan dan pembinaan yang serius dari pemerintah setempat di dalam melestarikan adat budaya suku Balik ini.
Sri berpandangan bagaimana tradisi-tradisi adat ini tidak punah. Menurutnya, pengetahuan akan ritual-ritual tersebut harus dihidupkan kembali serta diajarkan ke generasi muda Balik yang memang belakangan kurang diajarkan adat istiadat mereka, karena situasi dari berbagai latar budaya lain yang masuk.
Meski begitu, Sri juga melihat beberapa tantangan yang tidak mudah, sebab masyarakat adat Balik hidup di bawah tekanan budaya dominan yang menganggap ritual-ritual lama ini syirik.
“Harus dibangkitkan kembali pengetahuan-pengetahuan ritual lama yang sebenarnya merupakan kearifan lokal sebagai pola hidup berdampingan dengan alam, ini sebagai ritual adiluhung yang harus dibanggakan,” jelasnya.
Ia meyakini itu akan menjadi tantangan sulit, tetapi usaha harus terus dilakukan agar masyarakat adat memiliki kebanggaan akan warisan kekayaan budaya lokal tanpa harus dilindas dogma agama.
“Kita bisa merasakan dengan jelas perasaan frustasi, marah, namun juga takut dan tak berdaya, karena sebagai minoritas kekuatan mereka menjadi sangat lemah, bahkan menjadi asing di tanah leluhur mereka sendiri,” tandasnya.
Christian N S, selaku Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) PPU menanggapi pertanyaan dari Masyarakat Adat Paser dan Balik. Ia membenarkan bahwa jika ritual Bersoyong tergerus dari peradaban, salah satu penyebabnya adalah minat remaja. Tak hanya itu, ada pula pergeseran nilai kepercayaan.
“Ada upaya dari kita (Disbudpar) bahwa ini bukan dilihat dari unsur ritual maupun mistik kesukuan, tetapi Bersoyong in kami dari Disbudpar memberi pancingan bahwa ini bagian dari pengembangan seni budaya,” sangkalnya saat ditemui di kantornya pada Rabu (15/3).
Menurut pengakuan pria berusia 45 tahun itu, pihaknya juga telah mendukung kegiatan Bersoyong terutama dalam hal pelestariannya. Bahkan, ia merasa sudah banyak mengambil peran, walaupun kerap kali bersoyong masih digabung dari bagian ritual belian.
Mereka sudah mengadakan bersoyong dalam skala kabupaten. Namun, ia tak punya kuasa lebih sebab seni kultur dan budaya bersoyong itu muncul dari niat dan tujuan, apalagi Paser dan Balik memiliki unsur budaya tersendiri.
“Memang kita merevitalisasi untuk melestarikan kebudayaan Paser ini masih dalam tahap-bertahap. Memang seperti yang terlihat, masih di sekitar suku Paser Pematang atau yang lainnya, tidak menyentuh ke mereka (Paser Balik). Tapi upaya itu akan terus berkelanjutan apalagi mereka akan menjadi pilar di IKN nanti ke depannya,” jawabnya.
Christian meluruskan jika masyarakat adat Balik punya niat untuk melaksanakan ritual bersoyong, Disbudpar dengan tangan terbuka menyambut baik untuk mendukung kegiatan tersebut.
“Mungkin kami nanti akan menjalankan komunikasi lebih lanjut lagi serta kami bisa terbuka ke Badan Otorita IKN Nusantara dan dari Jokowi memberi sinyal bahwa harus ada perhatian kepada suku lokal sebagai pemilik wilayah dari IKN,” tutupnya.
Dalam kondisi seperti saat ini, dan dengan segala keterbatasan, Masyarakat Adat Paser dan Balik bertekad akan terus melestarikan budaya dan tradisi mereka. Orang-orang seperti Syarak tak punya kuasa lebih untuk memperingatkan para petinggi di negeri ini.
“Jika memang pemerintah berkenan melestarikan budaya bersoyong kami, alangkah bahagianya masyarakat di sini,” harap Syarak.
Liputan ditulis oleh Muhammad Razil Fauzan. Karya ini merupakan hasil kegiatan “Environmental Citizen Journalism Program 2023” yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Mongabay Indonesia.