Unmul dalam Kebebasan Berpendapat, Sri Murlianti: Diperlukan Kedewasaan dalam Penafsiran
Sumber Gambar: Kompas
SKETSA - Sebab viralnya unggahan BEM KM Unmul 2 November lalu, lewat akun Instagramnya, Unmul bagikan rilis pernyataan sikap. Satu di antara poin itu ialah tuntutan menghapus unggahan. Pro kontra terus berlanjut, civitas academica anggap hal ini sebagai paradoks kampus menyikapi kebebasan berpendapat mahasiswanya.
(baca: https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/kisruh-postingan-seruan-aksi-bem-km-unmul-kami-tidak-gentar/baca)
Sri Murlianti, dosen Pembangunan Sosial FISIP Unmul menanggapi kasus ini. Ia berpandangan bahwa tindakan yang dilakukan pihak kampus dalam menyikapi persoalan BEM KM Unmul sangat berlebihan. Dirinya juga menegaskan bahwa berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pendidikan Tinggi, kampus seharusnya dapat memastikan insan kampus mendapat hak kebebasan berpendapat dengan baik.
Unggahan ‘patung istana’ yang tuai pro dan kontra tidak seharusnya berakhir pada kecaman dan kisruh penghapusan unggahan. Bagi Sri, kejadian ini sebaiknya dijadikan wadah diskusi agar perdebatan bergerak saling menguji argumentasi. Dengan begitu, hal ini dapat mengarah ke budaya akademik progresif, alih-alih harus membungkam suara mahasiswa.
Sebagai garda depan dalam menyerukan pembaruan dan bersikap kritis terhadap kekuasaan, mahasiswa seharusnya tidak takut berpendapat. Kebebasan akademik telah dijamin oleh konvensi internasional, UUD 1945, dan UU Perguruan Tinggi (PT). Di atas semua itu, mahasiswa berperan dalam posisi sentral untuk mengontrol kekuasaan agar tidak timbul bentuk kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat.
“Dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga hari ini, adakah etape-etape perubahan di negeri ini yang luput dari peran kritis mahasiswa? Jadi tidak ada alasan untuk lembek dan melonggarkan tali perjuangan dan terus mengeraskan suara kritis. Karena hanya dengan cara itu kekuasaan bisa dikontrol. Apalagi sekarang ini sudah tidak ada lagi oposisi di parlemen, semuanya bagiandari kekuasaan. Di sinilah suara kritis mahasiswa diperlukan,” tegas Sri pada awak Sketsa Selasa (6/11).
Membahas penggunaan bahasa dalam kritikan, sebagai negara yang berlandaskan demokrasi Pancasila, perlu diingat bahwa siapapun yang berdiri sebagai pejabat publik, dibiayai oleh dana publik, maka harus berkenan dikontrol dan dikritik oleh publik. Ia juga menilai diksi dalam unggahan BEM KM beberapa lalu itu sebagai metafora, justru merupakan bahasa kritik yang tergolong halus.
“Jika dibandingkan dengan kritik terhadap penguasa di zaman Gus Dur dan SBY, menurut saya penggunaan istilah patung istana jauh lebih halus dan sopan. Ingat jaman Gus Dur, orang-orang mengkritik beliau sampai melakukan penghinaan terhadap kondisi fisik, dan di jaman SBY foto Presiden diinjak-injak bahkan dibakar. Adakah yang sampai diperiksa atau ditangkap?,” ungkapnya.
Penggunaan satire yang cenderung sarkasme sesungguhnya sangat biasa. Ia tegaskan bahwa diperlukan sikap dewasa dalam menafsirkan diksi kala dilakukannya kritik.
“Menanggapi istilah konotatif dengan menggunakan tafsir lugas (denotatif), lalu menganggap seakan-akan BEM KM Unmul menggunakan istilah itu dengan menyamakan Wakil Presiden sebagai ‘batu, buatan manusia, tak bernyawa, tak bisa apa-apa’ sebagai alasan untuk marah dan membela atau membabi buta merupakan sikap yang sangat tidak dewasa dalam berkomunikasi,” kunci Sri. (ash/bey/jla/nkh)