Sumber Gambar: Istimewa
SKETSA – Terhitung sudah sepekan berlalu sejak Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan pada Senin (5/10) oleh DPR RI. Namun berbagai kejanggalan dalam prosedur pembentukan UU serta berbagai pasal yang dianggap merugikan masyarakat khususnya pihak buruh dan pekerja memicu sejumlah protes dalam skala besar.
Dilansir dari Instagram @tempodotco, terdapat beberapa titik aksi demonstrasi seperti Bekasi, Tangerang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Jakarta dan Depok. Dimulai dengan berunjuk rasa ke gedung DPR hingga melakukan aksi mogok kerja sebagai bentuk penolakan.
Lantunan aksi juga terdengar dari Bumi Etam, mahasiswa, buruh, dan masyarakat berkumpul untuk menyampaikan tuntutan dengan menyambangi DPRD Kalimantan Timur. Tak hanya itu, mereka juga mempermasalahkan sikap pemerintah yang tidak transparans dalam mengumpulkan aspirasi masyarakat ketika merancang UU Cipta Kerja.
Kepada Sketsa, Herdiansyah Hamzah menyebut jika pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menghimpun pendapat masyarakat ketika berurusan dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih karena menyangkut kesejahteraan dalam kehidupan bernegara. Baginya, Presiden Jokowi seharusnya mengambil alih tanggung jawab untuk menengahi berbagai respons dan penolakan yang terjadi pada UU Cipta Kerja. Menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu dianggap menjadi langkah yang tepat.
“Semalam, kami rilis kembali di antara 423 akademisi se-Indonesia, 119 kampus dalam negeri dan 3 kampus luar negeri meminta agar Jokowi menerbitkan Perpu. Kenapa kami tidak mengambil langkah judicial review? Karena kami menganggap pemerintah yang mengusulkan draft-nya,” jelas Herdi, Jumat (9/10).
Mengenai kapan Perpu dapat dikeluarkan, Herdi memaparkan jika Mahkamah Konstitusi (MK) dengan jelas telah memberikan syarat-syarat objektif penerbitan Perpu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Di dalamnya tertulis tiga syarat sebagai parameter “kegentingan yang memaksa”. Seperti syarat pertama yang tertulis, “adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.”
“Ini kondisinya tepat. Omnibus ini inkonstitusional karena tidak dikenal dalam khazanah perundang-undangan kita. Jadi bisa dikatakan metode yang ilegal karena tidak dilegitimasi oleh UU No. 12 Tahun 2011 juncto UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” paparnya.
Meski serangkaian aksi dan unjuk rasa telah dilakukan, nyatanya masih banyak masyarakat awam yang tidak mengerti duduk perkara yang sebenarnya. Ini membuat mereka rentan terpapar hoaks dan mengalami keraguan dalam menerima informasi.
Herdi menyarankan agar masyarakat dapat memperhatikan sumber pemberitaan dan memperkuat pemahaman dengan mengikuti perkembangan politik terkini. Tak hanya berlaku untuk masyarakat, mahasiswa juga perlu mengedukasi diri agar lebih peka terhadap permasalahan dan hoaks yang berkembang. Tindakan ini merupakan langkah agar pemikiran apatis dapat dicegah.
Contohnya ketika UU Cipta Kerja resmi ketok palu, terdapat perdebatan antar netizen di media sosial dengan dalih “sudah dibaca belum draft-nya?” yang membuat pro dan kontra di masyarakat sedangkan draft finalnya sampai sekarang tidak ada. “Jangankan kita, mereka yang menduduki DPR aja sudah baca tidak? Saya ambil contoh, banyak pasal dan ketentuan yang nyeleneh dan tidak masuk akal. Mereka mungkin juga tidak baca.”
“Bayangkan dalam waktu yang sangat cepat, membahas 11 klaster, 76 UU, 1000 halaman kan mustahil. Jadi ketika tudingan seperti itu muncul, saya pikir itu mestinya dikembalikan kepada anggota DPR. Jangan-jangan mereka yang tidak baca,” lanjutnya.
Selain itu, dalam mengawal isu ini perlu adanya basis argumen yang memadai. Untuk melakukan pergerakan, tentunya harus paham apa yang sedang diperjuangkan, bukan sekadar ikut-ikutan. Dalam situasi ini, beberapa informasi penting justru sulit untuk didapatkan sehingga sebagian besar masyarakat tidak paham.
Tindakan Represif Aparat
Menjadi bagian dari Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, Herdi bersama kawan-kawan sejawat mengeluarkan rilis di mana salah satunya menyoroti pemerintahan Presiden Jokowi yang seharusnya tidak menggunakan cara-cara represif untuk meredakan aksi penolakan. Padahal, kebebasan berpendapat termasuk di muka umum dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945.
Artinya, menyatakan mendapat merupakan hak konstitusional warga negara dan pemerintah seharusnya tidak bisa menghalangi kebebasan ini. Sebaliknya, pemerintah harusnya melindungi hak ini sebagai perintah konstitusi.
“Kita anggap itu represif, karena bukan cuma buruh dan mahasiswa yang mendapat perlakuan tersebut tapi termasuk teman-teman media. Ada yang kamera dirampas dan dipukul. Kami ingin menegaskan, bahwa pemerintah tidak boleh menggunakan cara represif untuk meredam aksi-aksi politik yang dilakukan oleh warga negara akibat respons terhadap Omnibus Law,” pungkasnya. (len/rst/wuu/wil)
Catatan Redaksi:
Artikel ini ditulis berdasarkan wawancara tertanggal 9 Oktober 2020 dengan keterangan pasal yang tertera pada draft UU Cipta Kerja tertanggal 5 Oktober 2020 (905 halaman) yang beredar di publik. Hari ini, Selasa (13/10), telah beredar draft final UU Cipta Kerja (1.035 halaman) dengan perubahan pada sejumlah pasal dari versi terakhir yang beredar sebelum sidang pengesahan.