Saksi-saksi Yehuwa di Bontang: Antara Perjuangan Punya Tempat Ibadah dan Merawat Keyakinan

Saksi-saksi Yehuwa di Bontang: Antara Perjuangan Punya Tempat Ibadah dan Merawat Keyakinan

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

SKETSA - Orang yang mencari Yehuwa, tidak akan kekurangan apa pun yang baik.” 

Tulisan yang diambil dari ayat Mazmur 34:10 itu terpampang pada salah satu layar yang sedang menyala. Penatua Balai Kerajaan Saksi-saksi Yehuwa (dikenal juga dengan Yahweh, Jahowa, Yehova, atau Jehovah - red)  membuka lembar demi lembar Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru.

Hamba pelayanan yang mondar-mandir mengurus jemaat mengikuti penatua. Masing-masing dari mereka mempersiapkan diri membuka gawai untuk menilik kajian hari ini. Sesekali membetulkan kerah dan lengan bajunya, bersiap beribadah.

Minggu pagi, tiap jam 9 WITA, dan Kamis tiap setengah 7 sore, adalah waktu beribadah Saksi-saksi Yehuwa di Bontang.

Sekitar dua puluh orang, membawa anak-anak balita mereka, memadati balai kerajaan. Sebagian yang lain hadir melalui Zoom Meeting, sebagaimana anjuran pemerintah kala itu. Dari luar, gedung itu seperti bangunan biasa, sepetak bangunan berkisar sepuluh kali sepuluh meter, dengan tinggi sekitar dua meter, yang dicat krem dengan atap biru muda. Ada hal yang menarik perhatian, yaitu pamflet persegi bertuliskan JW.ORG tepat di samping pintu Balai Kerajaan Saksi-saksi Yehuwa.


Di dalamnya, tak ada set alat musik dan salib, hal-hal yang mungkin kamu temui di gereja Kristen Protestan atau Katolik. Cuma ada dua rak buku di samping altar.

Hamba pelayanan membagikan Menara Pengawal, majalah tengah bulanan jemaat yang diterbitkan dan didistribusikan Badan Hukum Saksi-saksi Yehuwa. Melalui situs JW.org, referensi khotbah mereka dapat diakses siapa pun. Isinya sama di seluruh dunia, hanya berbeda bahasa.

Selain khotbah, ibadah itu diisi dengan tanya jawab. Sebagian jemaat bertanya melalui Zoom Meeting. Tak banyak kidung yang disenandungkan, hanya diawali kidung bertajuk Kekuatan, Keyakinan, dan Harapan Sejati lalu diakhiri kidung Kitab Suci yang Berasal dari Allah.


"Di Alkitab itu enggak ada kata pendeta. Karena Alkitab mengatakan di Matius 23:9 dan 10, bahwa hanya ada satu pemimpin, yaitu Yesus, Dialah satu-satunya pendeta kita. Di dalam Alkitab yang memimpin ibadah disebut tua-tua, di Alkitab modern diganti jadi penatua. Dia adalah orang yang punya reputasi dan teladan yang baik dan diangkat untuk menjadi tua-tua di sidang jemaat Kristen,” ucap Kukuh Pradipa, salah satu penatua.

Nama Yehuwa diungkap di berbagai Alkitab. Jemaat Saksi-saksi Yehuwa meyakininya sebagai nama sang pencipta. Kepercayaan itu didasari 66 buku dari Alkitab yang di dalamnya ada bagian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Dalam penuturan Kukuh, pada terjemahan Alkitab di berbagai bahasa itu, nama-nama tokoh Alkitab tidak dituliskan secara seragam sesuai dengan penyebutan aslinya dalam bahasa Ibrani pun Yunani. Tetapi itu ditulis sesuai dengan kemampuan berbahasa serta kebiasaan dalam kebudayaannya masing-masing.

Hal itu menjadikan penyebutan Yehuwa berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, disesuaikan dengan kemampuan berbahasa dan kebiasaan bahasa setempat.

“Dibangkitkan di antara orang mati dan penguasa atas apa yang di Bumi. Jadi kalau disebut saksi Yehuwa yang paling pertama itu siapa, saksi Yehuwa pertama itu Yesus,” sambung Kukuh.

Bagi Kukuh, menjadi Saksi-saksi Yehuwa adalah perjalanannya mencari kebenaran. Ia baru memeluk kepercayaan ini ketika memasuki usia 17, usai mencari jawaban spiritualitasnya sendiri.

Diskriminasi

Meski kebebasan beragama dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 29 Ayat 2, Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia masih mendapat penolakan. Salah satu kasus yang pernah mencuat datang dari SDN 051, Tarakan. Tiga murid penganut Saksi-saksi Yehuwa mendapat diskriminasi hingga berujung tak naik kelas.

Ajaran mereka sering kali didiskriminasi karena dianggap kontroversial dan menyimpang buat kelompok Kristen arus utama, seperti Katolik Roma dan Protestan, alias kelompok mayoritas.

Beberapa ajaran utamanya dianggap sangat berbeda, misalnya bagaimana mereka mengimani kematian dan kebangkitan Yesus, hakikat Allah, kematian atau kehidupan setelah mati.

Salah satu contohnya adalah bagaimana Saksi-saksi Yehuwa mengimani kematian dan kebangkitan Yesus tetapi tak merayakan Paskah. Mereka juga tidak merayakan Natal dan tidak meyakini konsep Trinitas.

Di Indonesia sendiri, Saksi-saksi Yehuwa pernah dilarang secara resmi pada 1976. Lewat Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 129 Tahun 1976, Jaksa Agung melarang kegiatan Saksi Yehuwa atau Siswa Alkitab, karena dianggap memuat ‘hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, seperti menolak hormat bendera dan menolak ikut berpolitik’.

Pada Februari 1994, ada upaya untuk mencabut SK dengan berlandaskan Pasal 29 UUD 1945, Tap MPR Nomor XVII/1998 tentang HAM, dan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Pada 1 Juni 2001 SK ini kemudian dicabut. Meski begitu, catatan sejarah ini membuktikan bagaimana negara ikut mendiskriminasi kelompok Saksi-saksi Yehuwa.

Dijegal Stigma

Menjadi Saksi-saksi Yehuwa di Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim), bukannya tanpa rintangan. Kukuh bercerita, pembangunan balai kerajaan pada mulanya ada di kawasan Kanaan, Bontang Barat. Tempat ini dianggap strategis karena demografi pemeluk agama kristen banyak bermukim di sana. Penolakan kadung terjadi, hingga pembangunan balai kerajaan dipindah di kawasan Lhoktuan.


“Beberapa kali kami punya kaca pecah dilempar batu sama orang. Pagi-pagi pas saya mau ibadah, kacanya pecah, beberapa lisnya ada yang penyok,” Kukuh mengenang pengalaman pembangunan balai kerajaan di Lhoktuan.

Meski ia tak yakin betul yang menjadi motif pelemparan itu, Kukuh mempercayai hambatan akan datang sebagaimana yang tertulis di Alkitab. Maka sikap yang bijak harus diambil oleh Saksi-saksi Yehuwa. Cerita tentang pelemparan itu juga masih hangat di ingatan Yulianus, salah satu jemaat Saksi-saksi Yehuwa di Bontang.

“Tahun sebelum Covid-19 dan sekitar tujuh tahun lalu, sempat dilempar (kaca balai kerajaan). Tapi untuk saat ini sudah enggak, mungkin orang iseng, atau anak-anak,” Yulianus mengisahkan.

Bagi Yulianus, meski pada 2005 kehadiran Saksi-saksi Yehuwa masih mendapat penentangan di Indonesia, tiap daerah punya cara dalam menyikapi keberagaman memeluk keyakinan. Termasuk pemerintah Kota Bontang.

Jeratan stigma masyarakat yang menolak pembangunan tempat ibadah mereka ini disikapinya dengan satu keyakinan, yaitu dengan mendapat perizinan oleh pemerintah setempat. Balai Kerajaan Saksi-saksi Yehuwa dinilai Yulianus sebetulnya memenuhi kriteria itu. Letaknya strategis, tepat di samping Dinas Pertanahan Kota Bontang. RT setempat juga ikut membantu dalam perizinan dan pembangunannya beberapa tahun silam.

Namun, ketidakpahaman masyarakat dan sikap semena-mena pada kelompok minoritas masih jadi tantangan mereka. Laki-laki yang bekerja sebagai petani itu getol bicara kalau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—sila kelima dasar negara kita—belum terimplementasi dengan baik.

"Sekolah negeri itu sekolah umum, kan? Tapi, enggak ada pelajaran agama yang di dalamnya mengakomodir dan memberi ruang untuk beribadah. Artinya apakah ada keadilan di situ?" ujar Yulianus.  Ia mencontohkan, bagaimana kurikulum kita turut melanggengkan diskriminasi pada kelompok minoritas macam Saksi-saksi Yehuwa, Rabu (13/4) lalu di kediamannya.

Elsiani Siman, ipar dari Yulianus, bercerita tentang pengalamannya mengimani agama minoritas di sekolah negeri.

Ia merupakan perantau dari Toraja. Pada 2016, Elsi pindah domisili ke Bontang. Dua kakak perempuannya lebih dulu menjadi Saksi-saksi Yehuwa. Ia belajar Alkitab dari salah satu jemaat yang sering berkunjung dan melakukan penginjilan dari rumah ke rumah.

Kala itu, Elsi mengulik sejumlah kajian keyakinan tersebut, mendalami Alkitab. Hingga akhirnya ia menjadi Saksi-saksi Yehuwa di usia 17.

Semasa SMA, gurunya hanya mengetahui ia penganut Kristen yang taat. Namun, di kalangan teman-teman dekat, Elsi terbuka sebagai seorang Saksi-saksi Yehuwa. Ketika Natal tiba, ia tak ikut urunan dan enggan bergabung di kepanitiaan.

"Kalau teman-teman dulu memang enggak setuju, tapi mereka menghargai aja. Aku memang sudah bilang aku enggak bisa ikut Natal," papar perempuan yang kini berjualan susu kedelai itu.

"Aku menutup diri, enggak terlalu bergaul sama orang, mungkin selentingan-selentingan (menjadi Saksi-saksi Yehuwa -red) itu ada, tapi enggak terlalu dengar," tambahnya.

Wajah Negara dalam Isu Keberagaman

Indonesia punya sejarah keberagaman yang panjang, kata Sri Murlianti, akademisi Sosiologi Universitas Mulawarman. Sayangnya, praktik-praktik keberagaman itu sering kali dipersempit negara. 

Tak dimungkiri pengakuan agama yang diatur negara: punya kitab suci, rumah ibadah, dan terlembagakan dengan baik, membuat Sri menyoroti kepercayaan lokal yang sejak lama ada di Indonesia. 


Menurutnya, kepercayaan lokal kerap jadi bulan-bulanan karena jumlah mereka yang sedikit. Aturan-aturan yang dibikin negara itu, sering kali cuma membebankan mereka yang minoritas. 

Meski di permukaan keselarasan umat beragama tampak stabil, bahaya laten dari pelabelan karena legalitas agama oleh negara ini tetap eksis dan dapat meruncingkan sinisme antar-warga sendiri. Kelompok masyarakat dapat beradu keyakinan pun kebencian, sebab, lanjut Sri,  agama di Indonesia cenderung dipijak dari teologi, bukan semangat menjaga kemanusiaan.

“Kalau kita mulai dari konsep teologi, itu yang tidak bisa dicampuradukkan. Setiap agama punya konsep teologinya sendiri yang tidak bisa diganggu gugat," papar Sri.

Menyangkut penolakan pembangunan tempat ibadah, Sri menuturkan hal ini dapat ditilik lebih jeli. Pasalnya tak semua penolakan bermula dari perseteruan atas keyakinan yang berbeda. Motif ekonomi hingga konflik kepentingan juga bisa termasuk asal muasalnya.

Agamanya mungkin tidak disalahkan tapi kekhawatiran bahwa sebuah lembaga yang sudah established ditopang banyak umat, bakal berkurang umatnya (berkurang juga pendanaan pembangunan rumah ibadah),” jelas Sri.

Pemerintah daerah, pemuka agama, hingga akademisi punya andil memperbaiki situasi ini. Inisiasi dalam menghadirkan pertemuan lintas kelompok dan agama menurut Sri, adalah hal yang harus dimulai dari kelompok dominan. Itu sebab menggeser sudut pandang, bahwa agama ialah urusan privat–yang tak bisa dipaksa agar menjadi sama dengan mayoritas, jadi PR serius di tengah gempuran masyarakat yang telah terkotakkan oleh agama.

Upaya ini bak maraton, tak bisa usai dalam semalam. Ia dikerjakan terus-menerus agar kesalingan dalam menghormati keyakinan terjalin. Bagaimanapun, tiap agama memiliki konsep kesalehan dan kasih sayang lewat cara dan instrumen yang berbeda.

Sayangnya, selain pemerintah daerah dan pemuka agama, peran akademisi yang digadang-gadang dapat memberikan perspektif atas keberagaman ikut terjebak sebagaimana masyarakat awam. Tak ayal mereka yang mengenyam bangku pendidikan tinggi juga bisa memproduksi pesan yang bias etnis.

Kelompok minoritas, termasuk Saksi-saksi Yehuwa di Indonesia, direkam lewat perspektif kelompok dominan, bukan kelompoknya sendiri. Apa yang mereka kerjakan dan yakini jadi melulu cuma dipandang dari tempat mayoritas, sehingga konflik horizontal bisa langgeng.

Kenaifan ini, bagi Sri, bermula dari tidak bersedianya kelompok mayoritas mengamati dan mempertukarkan informasi bersama minoritas. Maka diperlukan ruang dialog untuk dapat terbuka dalam menjalin dan mengikat persoalan kemanusiaan yang lebih besar, seperti kasih sayang dan penghormatan terhadap individu.

“Harus ada pergerakan dari kita yang punya pengetahuan lebih. Kalau masyarakat awam kita maklum. Celakanya kelas intelektual terjebak di situ. Di luar sana ada konsep, kepercayaan lain yang tidak bisa dipaksakan seperti kita. Ketika itu kita gunakan untuk mengukur (dosa atas agama) yang lain. Itu jadi masalah,” lanjut Sri.

Yulianus juga mengamini hal yang sama. Baginya, sekalipun Indonesia sudah berideologi keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tapi masih banyak masyarakatnya yang belum memaknai keberagaman.

“Keselamatan kita ada sama yang di atas, jadi enggak perlu takut. Keyakinan itu kalau sesuai yang kita jalankan, itu keuntungan kita,” tutupnya. ***

Liputan ini ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2018. Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.