SKETSA – “Sehubungan dengan berita terkait Proses Perubahan Statuta Universitas Mulawarman dan adanya informasi yang kurang berimbang yang disampaikan melalui beberapa media online dan media cetak, bersama ini kami selaku Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Universitas Mulawarman, bertindak atas nama Lembaga Universitas Mulawarman, bermaksud menyampaikan penjelasan sekaligus klarifikasi sebagai berikut…..”
Itulah bunyi pembuka tanggapan Unmul secara kelembagaan melalui draf sebanyak empat lembar berjudul ‘Press Release Terkait Informasi Perubahan Statuta Universitas Mulawarman’. Press release itu adalah hasil dari rapat antara rektor, wakil rektor, beserta seluruh dekan se-Unmul. Dan kemudian hasilnya dibuat, ditandatangani, dan diarsipkan oleh Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat Bohari Yusuf pada Rabu, 14 Maret 2018.
Press release tersebut keluar untuk menanggapi tudingan-tudingan yang dialamatkan kepada tiga guru besar Unmul–Prof. Adam Idris, Prof. Zamruddin Hasid, dan Prof. Susilo–terkait pembahasan dan–konon–kepada Prof. Masjaya selaku Rektor Unmul terkait penetapan statuta secara sepihak di beberapa media se-Kaltim.
Sebelum akhirnya press release tersebut ada dalam genggaman Sketsa, tim liputan pun melakukan diskusi dan adu argumentasi panjang dengan Bohari Yusuf–pihak yang mengarsipkan draf press release. Draf press release tersebut dibuat agar jika ada media yang masih mempertanyakan, maka draf itu menjadi klarifikasi atas semua hal yang bersangkutan tentang statuta.
Dalam press release tersebut, setidaknya ada empat poin utama yang kesemuanya menjelaskan proses perumusan statuta, pembahasan substansi keterlibatan guru besar yang diperdebatkan, hubungan statuta dengan pemilihan rektor, dan tentu saja: klarifikasi Unmul terhadap pernyataan tiga guru besar di media.
Poin A: Informasi Terkait Proses
Tersebutkan, bahwa statuta yang saat ini berlaku di Unmul adalah yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 091/0/2004, dan sekarang sudah berusia 14 tahun. Statuta itu pun seharusnya sudah harus diubah setidak-tidaknya sejak perubahan status Unmul dari PTN Satker biasa menjadi PTN yang menerapkan PK-BLU (PTN-BLU) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.05/2009, Tanggal 27 Februari 2009.
Hingga pada tanggal 23 April 2015, terbit Permenristekdikti Nomor 9 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Unmul. Hingga OTK baru tersebut diterbitkan, statuta masih belum mengalami perubahan.
Lalu, sejak diterbitkannya OTK baru tersebut, maka Kemenristekdikti memberi ‘warning’ kepada Unmul untuk segera membuat Perubahan Statuta, karena sudah dianggap tidak sesuai dengan kondisi saat itu. Pada saat yang bersamaan periodisasi rektor Unmul berganti dan dijabat oleh Prof. Masjaya.
“Sejak tahun 2015 pembahasan tentang perubahan statuta Unmul sudah mulai dilakukan.”
Akhirnya pengubahan statuta mulai dilakukan dengan mengacu pada mekanisme perubahan statuta–sebanyak sembilan langkah–di Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014. Dalam pembahasan awal perubahan statuta, melibatkan tim penggarap statuta yang diketuai Abdunnur, Wakil Rektor II Bidang Umum, SDM, dan Keuangan bersama Prof. Rahmat Soe’oed selaku Ketua Komisi Organisasi. Kemudian dilakukan review lagi oleh Ketua Dewan Pertimbangan, Prof. Afif Ruchaemi.
Hingga saat ini, dari sembilan langkah yang harus di tempuh, posisi statuta Unmul baru pada langkah keempat–sedang menunggu hasil telaah dari Biro Hukum Kemenristekdikti. Jadi masih cukup jauh dari final karena masih ada lima langkah lagi sebelum menuju ke langkah nomor sembilan.
“Setelah mendapatkan telaahan dari Biro Hukum Kemenristekdikti, maka Unmul akan melakukan penyempurnaan kembali melalui rapat Komisi Organisasi senat universitas, yang selanjutnya akan dilakukan rapat pleno senat (langkah lima).”
Poin B: Terkait Substansi
Inilah poin utama dari semua tuntutan, keanggotaan senat. Disebutkan dalam press release, awalnya draf perubahan statuta disampaikan oleh Unmul ke Kemenristekdikti masih berpedoman pada PP Nomor 60 Tahun 1999. Isinya mencantumkan dengan tegas bahwa semua guru besar otomatis anggota senat. Rincian ajuan draf yakni anggota senat terdiri atas dua wakil dosen non guru besar, ‘guru besar’, rektor, wakil rektor, dekan, Ketua LP2M, dan pimpinan unit pelaksana pendidikan.
Namun dari usulan tersebut, setelah ditelaah lebih mendalam, Biro Hukum Kemenristekdikti memberi revisi menyeluruh sebanyak 70 persen dari draf yang diajukan Unmul, termasuk poin keterlibatan guru besar. Rincian revisi keanggotaan senat yang dirumuskan oleh Biro Hukum Kemenristekdikti adalah sebagai berikut:
(1) Anggota senat terdiri atas:
a. wakil dosen dari setiap fakultas;
b. rektor;
c. wakil rektor;
d. dekan;
e. direktur pascasarjana; dan
f. ketua lembaga
(2) Anggota senat yang berasal dari wakil dosen dari setiap fakultas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. ... (...) orang wakil dosen yang profesor; dan
b. ... (...) orang wakil dosen yang bukan profesor.
Revisi di atas muncul karena Biro Hukum Kemenristekdikti merujuk pada PP Nomor 4 Tahun 2014, khususnya Pasal 29 ayat 4. Dan sebagai bahan pembanding, beberapa universitas negeri berbasis Badan Layanan Umum (BLU) yang merevisi statuta sejak 2012, sudah mengikuti ketentuan dari Biro Hukum Kemenristekdikti tersebut.
Empat di antaranya adalah Universitas Halu Oleo, Universitas Negeri Medan, Universitas Jendral Soedirman, dan Universitas Negeri Gorontalo yang memberi batasan hanya lima senat per fakultas dengan rincian tiga guru besar dan dua wakil dosen. Lalu tiga universitas yang hanya memberi empat wakil dosen per fakultas yang dua di antaranya untuk guru besar adalah Universitas Bengkulu, Universitas Andalas, dan Universitas Lampung.
“Dari butir-butir tersebut di atas, dibuktikan bahwa Unmul tidak pernah mengusulkan sebagaimana yang diduga oleh setidak-tidaknya tiga guru besar tersebut, melainkan sebaliknya, Unmul mengusulkan semua guru besar menjadi anggota senat. Biro Hukum Kemenristekdikti kemudian mengoreksi berdasarkan PP Nomor 4 Tahun 2014 dan Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014.”
Poin C: Hubungan Perubahan Statuta dengan Pemilihan Rektor
Disebutkan bahwa terlaksananya perubahan statuta adalah sebuah keniscayaan, tidak dapat lagi ditunda karena merupakan ‘warning’ dari Kemenristekdikti pada bulan Desember 2017. Sehingga tidak ada kaitannya sama sekali dengan rencana Pilrek 2018.
“Bahwa Rektor Unmul tidak pernah memberikan arahan apapun kepada tim statuta atau Komisi Organisasi untuk mengatur komposisi senat. Terbukti dimana usulan tim, semua guru besar menjadi anggota senat.”
Lalu, argumen itu diperkuat lagi oleh press release yang mengatakan “Bahwa proses perubahan statuta diperkirakan akan memakan waktu yang masih cukup lama, sementara Pilrek sudah fixed waktunya.”
Dan kalaupun statuta dapat disahkan sebelum Pilrek 2018, kemungkinan besar statuta belum dapat diterapkan. Hal itu mengingat kebiasaan, peraturan perundangan memerlukan waktu penyesuaian–sosialisasi–setidak-tidaknya 6 bulan.
Dan kelak, siapa pun yang terpilih menjadi Rektor Unmul tahun 2018, harus menerapkan statuta baru tersebut selanjutnya dan menjadi pedoman tata kelola Unmul. Jadi, dalam press release menekankan bahwa sangat tidak beralasan mengaitkan perubahan statuta dengan Pilrek.
Poin D: Klarifikasi Terkait Pernyataan di Media
“Proses perubahan statuta Unmul tidak dilakukan mendadak menjelang Pilrek, melainkan berproses sejak tahun 2015.” Itulah kalimat pembuka di poin D.
Kemudian, disebutkan bahwa proses perumusan statuta akan tetap berjalan sesuai dengan mekanisme dan tahapan–baru tahap 4 dari 9 tahapan–dengan melibatkan Komisi Organisasi dan seluruh anggota senat. Dan sebenarnya, dalam ajuan draf statuta ke Kemenristekdikti pun, Rektor Masjaya sangat berharap dalam perubahan statuta ini, semua guru besar masuk sebagai anggota senat.
Lalu, Unmul juga menampik kecurigaan beberapa guru besar bahwa istilah ‘mengamankan sekutu’ adalah berlebihan karena kemungkinan besar perubahan statuta tidak akan digunakan dalam pilrek Unmul 2018.
Kemudian, press release tersebut juga mengutip bahwa statement tentang anggota senat kurang atau lebih 25 persen dari jumlah dosen untuk menjadi pertimbangan dalam menyusunan komposisi senat adalah statement yang tidak ada dasar hukumnya. Bahkan di dalamnya juga mempertanyakan mengapa Prof. Susilo–salah satu guru besar yang bersuara di media–tidak mendebat Biro Hukum Kemenristekdikti saat dilakukan workshop di Balikpapan, walau belakangan diketahui Sketsa bahwa yang bersangkutan memang hadir saat rapat internal (Rabu-Kamis), namun izin ke Jakarta saat workshop bersama Biro Hukum Kemenristekdikti (Kamis malam).
Pada workshop tersebut pula, sesungguhnya Biro Hukum hanya mengundang rektor, sekrertaris senat, ketua Komisi Organisasi dan ketua Tim Penyusun Statuta, tapi Rektor Masjaya mendesak untuk menghadirkan berbagai unsur yang terkait dengan statuta (rektor, sekretaris senat, wakil rektor, Komisi Organisasi, ketua lembaga, forum dekan, Ketua SPI, seluruh Dewan Pertimbangan, dan kepala biro). Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa pembahasan statuta tidak hanya terkait senat melainkan banyak substansi penting lainnya, khususnya substansi akademik. (dan/gie/pil/len/adl)