Polemik Masterpiece yang Terus Bergulir

Polemik Masterpiece yang Terus Bergulir

SKETSA - Menindaklanjuti perkara tempat karaoke Masterpiece yang beralamat di Jalan Muhammad Yamin, tepat di muka kampus Unmul, Aliansi Warga dan Kampus mengadakan audiensi bersama Walikota Samarinda pada Senin (06/11). Hasilnya, akan dilakukan tindak lanjut kepada seluruh jajaran dinas perihal kasus Masterpiece.

Saat ditemui, Presiden BEM KM Unmul Norman Iswahyudi, Walikota Samarinda Syaharie Jaang mengatakan izin yang sudah diberikan oleh Dinas Penanaman Modal tidak langsung dia iyakan, karena hanya berpatokan pada SOP (Standar Operasional Prosedur).

Norman mengatakan walikota baru tahu soal kasus ini saat ramai gugatan dari warga.

“Tindak lanjut, beliau akan mengumpulkan dinas-dinas terkait. Belum tahu kepastiannya apakah langsung dicabut atau seperti apa,” tutur Norman.

Jaang menegaskan ketika pemerintah kota salah, sudah selayaknya mahasiswa ataupun masyarakat yang mengetahui menegur pemerintah kota. Statement positif yang diberikan semakin memperjelas bahwa walikota mendukung gerakan aliansi ini.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika mengadakan audiensi dengan DPRD yang tidak menemui titik terang, Aliansi Warga dan Kampus Unmul tidak ingin hal itu terjadi dengan walikota. Sembari menunggu hasil tindak lanjut walikota, aliansi berencana membawa kasus ini ke ranah hukum, di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Jalin Kerja Sama dengan LKBH Fakultas Hukum

Aliansi Warga dan Kampus pun sudah berkunjung ke LKBH (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum) Fakultas Hukum untuk berkonsultasi terkait masalah ini. “LKBH siap sekali untuk membantu kasus ini, karena sudah jelas dan terang bahwasanya Masterpiece salah dalam pendirian bangunan. Kemudian selaku instansi yang berada di Fakultas Hukum dan Universitas Mulawarman sudah mendukung gerakan ini. LKBH akan bersama kami untuk melanjutkan ke langkah hukum,” terang Norman.

Norman saat ini masih mencoba menghimpun data-data yang diperlukan dari Dinas Penanaman Modal, karena sebelumnya ia tidak diperbolehkan. “Alasanya demi keamanan katanya. Padahal sudah dalam undang-undang, berkas-berkas administrasi boleh disampaikan atau diminta oleh publik,” cecarnya.

Namun hingga kini, pihaknya belum mendapatkan berkas terkait karena DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) mengatakan bahwa pimpinan DPMPTSP berada di luar kota.

Mahasiswa Mengecam

Terpisah, Luthfi Hanif mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2015 tegas mengatakan ia tidak setuju dengan berdirinya Masterpiece. “Kalau menurutku ditutup aja karena enggak pantas mendirikan tempat hiburan di sekitar kampus. Selain itu, pasti yang dituju adalah mahasiswa dari universitas yang ada di dekatnya untuk bekerja di dalam sehingga tidak menutup kemungkinan mahasiswi yang kuliah di situ menjajakan dirinya untuk terjun masuk di tempat tersebut yang disebabkan kurangnya biaya,” tutur Luthfi.

Senada dengan Luthfi, Suci Natalia, Prodi Pendidikan Matematika 2015 juga tidak setuju. “Awalnya kupikir itu emang karaoke keluarga tapi kok lampunya terlalu berlebihan, tampilan dari luarnya kayaknya mewah banget. Pas kemarin lihat ada disebarkan daftar menu minumannya kayaknya enggak sesuai dengan namanya karaoke keluarga. Lokasinya juga enggak pas kan banyak kos-kosan mahasiswa, ada juga kampus IKIP PGRI, Unmul. Enggak sesuai Perda juga kan karena lokasinya dekat dengan wilayah pendidikan,” ujar Suci.

Berbeda dengan Luthfi dan Suci, Heryansyah salah satu warga Jalan Suwandi RT 25 mengambil sikap netral dengan berdirinya bangunan bernuansa hitam itu. “Saya bukan posisi yang setuju atau tidak. Ini menurut saya sebagai masyarakat biasa, setiap warga berhak berusaha asalkan legalitas perizinanan dari izin membangun apa segala macem sudah mencukupi dan terpenuhi,” jawabnya.

Sebagai warga sekitar, ia akan melakukan kontrol sosial berupa mengawasi secara langsung atau tidak jika terjadi penyalahgunaan tempat usaha tersebut misalnya untuk prostitusi atau peredaran narkoba. Terkait masalah pelanggaran Perda, Heryansyah mengaku tidak terlalu mengerti karena Perda jarang diketahui oleh masyarakat.

“Ini sedikit kritik saya kepada pemerintah terkait UU Nomor 5 Tahun 2013, jarak tempat ibadah dan pendidikan. Saya enggak ngerti apakah diambil dari patok pagar Unmul di depan sini atau terjadinya kegiatan belajar mengajar di ruang pertama yang di Magister itu. Perda tersebut saya rasa perlu direvisi dan ditinjau kembali, dari mana jarak yang diukur tersebut,” ujar pria yang akrab disapa Hery.

Hery berharap, setelah berdirinya karaoke tersebut tidak terjadi keributan dan kerusuhan yang meresahkan warga sekitar. “Kepada pihak Masterpiece pun dengan keberadan mereka, kami tidak ingin terjadi kerusuhan, keributan yang meresahkan warga kami di sini. Karena selama ini kehidupan kondusif dan aman-aman saja. Kepada pihak yang tidak setuju pun ada salurannya, jadi jangan memakai cara-cara jalanan, cara-cara seenaknya saja, protes, demo sana demo sini yang pada akhirnya menimbulkan gangguan di masyarakat,” tandasnya. (adn/els)