SKETSA – Bola panas itu dimulai pada 30 November 2016 saat mahasiswi Sosiatri FISIP berinisial D menuliskan kegelisahan atas perginya Ika Rahayu Anggraini, dosen muda yang baru satu tahun mengajar di kampusnya. D memuat kalimat-kalimat itu di status Facebook. Yang tanpa dia sadari, status itu rupanya memicu amarah dari jajaran birokrat FISIP yang merasa disasar dan menjadi inti gelisah D.
Ditemui di ruangannya (20/12), Dekan FISIP Muhammad Noor, gamblang mengungkap cerita di balik hengkangnya Ika. Tiga bulan lalu, Kaprodi Sosiatri Lisbet Situmorang, menyambangi ruangannya dengan membawa surat pengunduran diri atas nama Ika Rahayu Anggraini.
“Saya bertanya ke Bu Lisbet, kenapa Bu Ika harus mundur? Seingat saya, Bu Sri Murlianti (dosen FISIP) dulu mati-matian memperjuangkan supaya Bu Ika bisa masuk dan mengajar di sini dan saya terima sebagai dosen luar biasa karena memang kurang formasi. Seandainya saya bisa ketemu dengan orangnya langsung saya akan melarangnya untuk mundur. Bu Lisbet bilang, orangnya tidak ada dan dia hanya menyampaikan surat saja,” terang Noor.
Mengaku tak ingin menghambat, surat itu akhirnya mendapatkan gurat disposisi dari tangan Noor. “Saya tulis di proses sesuai ketentuan,” imbuhnya.
Sekalipun surat telah di disposisi, alasan di balik hengkangnya Ika masih menyisakan tanda tanya di benak Noor. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab saat Ika hendak berpamitan sekaligus mengutarakan alasan kepergiannya kepada Noor.
“Dia (Ika) bilang dia mau menikah dan mengikuti suaminya yang bekerja di Yogyakarta. Aduh, kalau alasannya itu tentu saya tidak bisa melarang. Bahkan, saya tawari Bu Ika biar suaminya saja yang bekerja di sini. Bu Ika waktu itu hanya tertawa saja. Sepertinya dia mantap dengan pilihannya,” ucap Noor memeragakan percakapannya.
Kendati berat, lanjutnya, ini sudah keputusan Ika. FISIP memang sedang krisis tenaga pengajar muda yang berkualitas, khusunya untuk program studi Ilmu Sosiatri. Akhir percakapannya dengan Ika, dianggap Noor sebagai akhir dari segalanya. Lantas terkejut dia ketika mendapati status D yang muncul ibarat busur panas di kemudian hari.
“Setelah itu ya sudah, sampai beberapa hari kemudian muncul status D itu. Kalimatnya itu seakan-akan saya yang memberhentikan Ibu Ika. Mendepak dia tulis. Saya kecewa, itu konsumsi publik, siapa pun bisa baca. Sampai-sampai Ibu Kaprodinya sendiri yang ke sini melapor dan menyampaikan keberatan dengan membuat surat khusus untuk saya. Dia minta supaya mahasiswi itu diberi sanksi,” pungkasnya.
Saat ini belum ada ketetapan terkait sanksi yang akan diberikan kepada D. Pun UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang tampil dan digaungkan dalam kasus ini masih abu-abu untuk digunakan atau tidak. Meski begitu, jeratan pasal pencemaran nama baik dapat dijatuhkan ketika sempurna seluruh unsur yang ada, yakni unsur kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan. Kedua unsur tersebut sifatnya kumulatif. (aml/wal)