Menilik Kebijakan Afirmasi Khusus Perempuan di Unmul, Ketua PuSHPA: Tak Ada Demokrasi Tanpa Perempuan
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
SKETSA – Setelah dua periode ajeg dipimpin Masjaya, tahun ini enam bakal calon diketahui mendaftar, satu di antaranya gugur dalam proses penjaringan. Esti Handayani sebagai satu-satunya perempuan yang mendaftar, dinyatakan tidak lolos kualifikasi melalui Rapat Pleno Senat pada Selasa 7 Juni 2022. (baca: Rapat Senat Pilrek)
Usai penetapan itu, selain membagikan pengalaman dan pemikirannya, Esti turut menuliskan pesan untuk dipertimbangkan dalam Pilrek. Salah satunya mengenai isu kepemimpinan perempuan. Bagi profesor termuda Unmul ini, ke depan harus ada perempuan hebat yang mendaftarkan diri sebagai calon rektor Unmul. Kemudian ia berharap siapapun rektor yang menjabat, harus memiliki perspektif atas afirmasi terhadap isu-isu perempuan, termasuk ruang kepemimpinan untuk perempuan.
Kondisi ini turut menjadi sorotan bagi Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak (PuSHPA) FH Unmul menyoal sulitnya perempuan menjadi rektor dan posisi strategis lainnya. Melalui rilis yang ditulis pada Rabu (8/6), PuSHPA mendorong kajian ulang hingga revisi pada peraturan yang berlaku.
Upaya ini dilakukan untuk mendorong kebijakan khusus sementara (affirmatif action) bagi perempuan. Memastikan perempuan dapat mengakses jabatan minimal di tingkat fakultas dan kemudian mampu bertarung secara kompetitif untuk bersaing di tingkat universitas.
“Universitas Mulawarman sebagai perguruan tinggi negeri yang besar, sudah selayaknya turut mengambil langkah mendorong pemajuan kiprah perempuan di berbagai sektor dan menjadi pelopor afirmasi terhadap isu-isu perempuan, termasuk ruang kepemimpinan (Rektor dan Wakil Rektor) perlu kuota bagi perempuan,” tulis Haris Retno selaku Ketua PuSHPA dalam pernyataan itu.
Untuk mengetahui langkah lebih lanjut yang dilakukan PuSHPA, Sketsa menemui Haris Retno pada Selasa (14/6). Ia mengungkap keprihatinannya ketika satu-satunya bakal calon perempuan harus gugur. Baginya panitia telah memberikan ruang bagi calon perempuan, tetapi mengherankan ketika panitia sendiri yang memberikan undangan juga menyatakan tidak memenuhi kualifikasi. Baginya nihil upaya afirmatif terhadap keterlibatan perempuan di pimpinan universitas yang dilakukan Unmul kala Pilrek ini.
Haris menilai terdapat banyak perempuan berkualitas di Unmul, sebagian besar berada pada tingkat Prodi dan fakultas meski jumlahnya tak sebanyak laki-laki. Hal ini disayangkan karena terjadi kekosongan calon perempuan di Pilrek tahun ini. Terlebih, ketika sebagian besar warga kampus merupakan perempuan.
Haris menyebut ini bukan hanya soal bagaimana perempuan memimpin. Ketika perempuan tidak diberi ruang afirmatif untuk menjadi pemimpin, perempuan tidak bisa terlibat penuh untuk mengambil kebijakan bagi warganya yang mayoritas perempuan, hal ini penting tak cuma sekadar menuntut eksistensi. Namun, mendorong perspektif perempuan proaktif sebagai pembuat kebijakan-kebijakan yang ada.
“Jadi sudah seharusnya para calon ini dari 5 Ini menawarkan satu afirmatif gitu buat perempuan untuk menduduki minimal di kabinetnya dia (jajaran rektorat). Oke rektornya sudah laki-laki, wakil rektor-wakil rektornya menurut saya wajib ada kuota untuk perempuan. Kalau hanya pidato bahwa dia peduli dengan perempuan, bahwa dia ingin memajukan perempuan.”
“Kalau realitasnya tidak mampu memberikan kursi kuota perempuan sebagai wakil rektor saya kira itu belum afirmatif untuk kepemimpinan perempuan,” tambahnya.
Selain upaya pengajuan perubahan peraturan, Haris turut menyebut upaya lainnya. Di antaranya keterlibatan perempuan yang lebih banyak berada pada tingkat Prodi di universitas perlu diakomodir. Kemudian ihwal kemajuan universitas, menurut Haris, semakin marak korupsi yang terjadi, itu akan semakin merugikan perempuan. Meski laki-laki terdampak, tetapi perempuan mendapat dampak paling rentan. Upaya berikutnya yakni bagaimana kampus menciptakan ruang aman bagi kepemimpinan perempuan.
“Termasuk misalnya tadi mengembangkan nilai-nilai demokrasi, mengembangkan pendidikan yang menyelidiki kebenaran, nilai-nilai itu tidak akan secara utuh terpenuhi ketika tidak melibatkan perempuan. Jadi demokrasi tanpa perempuan itu bukan demokrasi.” (khn/ahn/fsf/ash/afr/nkh)