Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
SKETSA — Sejarah Hari Buruh di Indonesia menyimpan banyak kisah perjuangan para buruh demi menerima hak mereka dengan layak. Polemik buruh dari masa ke masa tak kunjung usai, terkhusus lagi pada buruh perempuan. Marsinah sebagai salah satu perempuan yang memperjuangkan hak buruh di Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana sulitnya perjuangan para buruh di Indonesia.
Melansir dari halaman Kompas.com, pada tahun 1884 silam, sejarah perjuangan buruh internasional bermula pada saat Federation of Organized Trades and Labour Union mengadakan konvensi di Chicago mengenai kondisi para pekerja. Pada masa itu, ribuan pria, wanita, dan anak-anak meninggal setiap tahunnya karena bekerja.
Upaya demonstrasi pun turut dilakukan. Pada tanggal 1 Mei 1886, lebih dari 300.000 pekerja dari 13.000 perusahaan keluar dari pekerjaan mereka di seluruh negeri. Hingga akhirnya pada tahun 1889, sebuah federasi internasional kelompok sosialis dan serikat buruh menetapkan 1 Mei sebagai hari untuk mendukung para pekerja, yakni Hari Buruh Internasional.
Gerakan buruh di Tanah Air juga memiliki sejarah yang cukup panjang. Indonesia pertama kali merayakan hari buruh internasional pada tanggal 1 Mei 1920. Kala itu, para buruh melakukan aksi mogok kerja demi memperjuangkan hak-hak mereka.
Marsinah adalah salah satu pejuang hak buruh yang menjadi pelopor semangat buruh dalam memperjuangkan haknya. Ia merupakan seorang aktivis dan buruh perempuan yang bekerja di pabrik arloji, yakni PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo ketika era orde baru pada tahun 1993.
Pada tahun 1992, pemerintah mengeluarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 50 Tahun 1992 tentang besaran upah minimum Provinsi Jawa Timur, yaitu sebesar Rp. 2.250 perbulan dari Rp. 1.700 per bulan. Menindaklanjuti hal tersebut, Marsinah bersama dua ratus buruh lainnya pun melakukan mogok kerja sebagai aksi damai menolak keputusan tersebut serta mengajukan dua belas tuntutan pada tanggal 3 hingga 4 Mei 1993.
Namun, pada tanggal 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan tidak bernyawa di Desa Jagong, Nganjuk, Jawa Tengah. Marsinah mengalami banyak siksaan sebelum akhirnya dibunuh. Hingga saat ini, pelaku pembunuhannya belum terungkap dan diadili sama sekali.
Perjuangan para buruh dari masa ke masa menjadi pemantik untuk memperjuangkan hak buruh. Di Indonesia, hak buruh dalam mendapatkan sistem kerja yang layak masih menjadi problematika yang belum terselesaikan, khususnya diskriminasi terhadap buruh perempuan seperti kesenjangan upah, peran ganda perempuan, belum adanya jaminan, keamanan saat bekerja, dan masih banyak lagi.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Refinaya J, anggota dari Perempuan Mahardika ketika menjadi pemateri di kegiatan diskusi Perspektif Gender yang diselenggarakan oleh BEM FISIP Unmul dengan tajuk “Menolak Lupa Suara Marsinah dan Perjuangan Pekerja Perempuan Saat Ini” pada Sabtu (6/5) lalu. Ia mengatakan bahwa sebagian gender mengalami penindasan yang lebih berat dibandingkan gender lainnya.
"Kenapa bisa perempuan mengalami penindasan lebih kuat daripada laki-laki, padahal kerajaannya (kualitas kerja) pun sama. Kenapa bisa satu gender mengalami ketimpangan padahal (berada) di dalam situasi yang sama," tutur Refinaya ketika diwawancarai oleh Sketsa pada Sabtu (6/5) lalu.
Nilam Nur Cahya selaku Menteri Gender BEM FISIP Unmul menerangkan bahwa kegiatan diskusi tersebut bertujuan untuk membuka pemikiran mahasiswa terhadap perjuangan buruh perempuan.
“Perempuan mendapatkan penindasan yang lebih (buruk) dikarenakan kondisi biologis yang dimiliki, namun hal tersebutlah yang menjadikan perempuan mendapatkan berbagai bentuk-bentuk penindasan yang ada,” ujar Nilam kepada awak Sketsa pada Sabtu (6/5) lalu.
Ia menilai bahwa hingga kini, buruh perempuan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Harapnya, seluruh audiens yang hadir dalam agenda tersebut dapat mengetahui bahwa terdapat sejumlah buruh perempuan yang masih memperjuangkan haknya hingga saat ini.
“Agar nantinya tidak terjadi diskriminasi, harapan kami atas kehadiran teman-teman pada acara ini adalah untuk mendengarkan perspektif gender, khususnya mengenai adanya penindasan terhadap perempuan,” pungkasnya. (ysn/myy/dre)