SKETSA – Meski telah berdiri sejak 2003, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum (FH) Unmul belum banyak dikenal civitas academica secara luas. Lembaga yang terdiri dari 40 orang konsultan hukum (dosen), 16 advokat dan 24 paralegal—sebutan untuk anggota mahasiswa--- nyatanya telah banyak melibatkan diri dalam beragam kasus baik dalam maupun luar kampus.
Orang-orang yang datang ke LKBH beragam. Mulai dari mahasiswa, masyarakat, hingga birokrat. Berbeda dari LBH-LBH kebanyakan, LKBH memang menjadi wadah pembelajaran mahasiswa FH untuk mampu mempraktikkan keilmuannya secara langsung.
Adi Nurhamidi, salah satu paralegal mengaku senang bisa bergabung dengan LKBH. “Iya, LKBH ini kayak tempat konsultasi psikolog di FISIP. Jadi, bermanfaat juga waktunya. Menerapkan ilmu,” kata mahasiswa angkatan 2015 itu.
Selain itu, sesuai namanya, LKBH juga melayani konsultasi dan pendampingan gratis untuk yang kurang mampu. Untuk mahasiswa, bahkan hanya perlu melampirkan KTM. Adapun, salah satu kasus dari mahasiswa yakni perkara Masterpiece yang juga sempat hangat dan belum menemui ujung hingga kini.
Kendati demikian, ada pula kasus yang berbayar, tergantung dari kasusnya. Anggarannya dialihkan untuk menyelesaikan kasus yang lain. Sebab, pendaftaran perkara itu juga dibarengi dengan membayar pajak yang tidak sedikit yakni berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp1 juta.
“Makanya kalau ke persidangan itu harus siap mental dan finansial. Kami sempat dapat klien korban korupsi yang lebih memilih LKBH dibanding LBH lain karena menurutnya LBH lebih ke profit,” beber Adi.
Lebih lanjut, Adi menyebutkan ada beragam kasus yang tengah ditangani LKBH FH Unmul. Mulai kasus dosen Fahutan yang jadi korban penipuan, hingga kasus tersangka tindak pidana korupsi oleh mantan dekan Fahutan berinisial CDB yang kini sedang berada dalam tahap pelimpahan berkas ke pengadilan. (aml/pil/els)