Sumber Gambar: Google
SKETSA – Wacana Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengenai hukuman mati bagi koruptor masih terus menuai polemik hingga saat ini. Sejak pernyataan tersebut dikeluarkan, banyak pihak yang turut menyampaikan tanggapan mereka. Mulai dari Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang.
Dilansir dari tempo.co, pimpinan KPK itu menolak usulan Presiden Jokowi. Ia beranggapan bahwa pola hukuman mati jutsru sudah ditinggalkan oleh negara yang indeks korupsinya jauh di atas Indonesia. Saut juga menambahkan bahwa pengentasan korupsi seharusnya dimulai dari hal mendasar dalam kehidupan agar mampu mengubah sudut pandang masyarakat. Seperti menangkap supir yang menyuap supir lain.
Lantas, bagaimana hukum memandang hukuman mati bagi tikus-tikus berdasi ini? Sketsa kemudian berkesempatan untuk menemui salah satu dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini.
“Hukuman mati itu sebenarnya tidak diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana untuk hukuman mati koruptor itu ada, namun dalam UU tersebut hanya diatur sebagai pemberatan,” terangnya.
Orin melanjutkan bahwa hukuman mati sejatinya bisa saja diterapkan, namun tidak bisa diterapkan di semua kasus.
“UU itu sendiri mengatur beberapa pembatasan, jadi kalau ini hendak diterapkan, batasan-batasan tadilah yang harus diperjelas,” jelasnya.
Melanjutkan pernyataannya, Orin berpendapat bahwa hal ini bisa saja diterapkan. Namun butuh kajian dan riset mendalam dari seluruh aspek. Mulai dari penegasan aparat penegak hukum itu sendiri, perbaikan di sistem tatanan kelembagaan masyarakat, hingga bagaimana menimbulkan efek jera bagi para pelaku koruptor itu sendiri.
Orin juga menambahkan bahwa tren pemidanaan hukum yang sekarang inilah yang butuh dikritisi.
“Penjatuhan hukuman di peradilan ada yang 7 tahun, namun karena ada pengajuan kasasi, masa hukumannya bisa saja jadi berkurang,” tambahnya.
Ketimbang wacana hukuman mati yang baru saja dilayangkan ini, Orin menilai bahwa perbaikan tatanan kelembagaan masyarakat jauh lebih urgent.
“Persoalan sekarang ialah bagaimana menciptakan konsistensi bagi pemidanaan koruptor itu sendiri,” tutup Orin.
Penolakan hukuman mati koruptor juga datang dari mahasiswa FIB Unmul Yudha Arisandi. Menurutnya, pernyataan dari Presiden tersebut hanya sekadar formalitas belaka. Ia juga mengatakan pemerintah seharusnya menentukan seberapa besar dampak yang ditimbulkan koruptor sehingga bisa dijatuhi hukuman mati.
Selain itu, Yudha mengatakan yang paling penting adalah bagaimana menjerat tersangka korupsi yang terkesan kebal hukum karena terlibat kasus besar, namun tidak diusut pihak berwajib.
"Seperti itu tanggapan saya, sekalipun dilakukan hukuman mati para pelaku masih leluasa melakukan korupsi dikarenakan adanya urusan campur tangan pemerintah dan pelaku," tandasnya. (sut/pil/ann)