Kampus Minim Fasilitas Belajar 24 Jam, Mahasiswa Mengandalkan Mushola

Kampus Minim Fasilitas Belajar 24 Jam, Mahasiswa Mengandalkan Mushola

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Anastasya Dian Sulistyowati, akrab disapa Tasya, mahasiswi berprestasi jurusan Peternakan dengan konsentrasi Teknologi Hasil Ternak angkatan 2021 ini memiliki cerita inspiratif. Anak sulung perempuan dari dua bersaudara ini berasal dari luar Kalimantan, tepatnya dari Semarang, Jawa Tengah.

Sebagai seorang perantau, hal ini yang menjadi obstacle-nya dalam membangun mimpi. Tidak punya keluarga bahkan kenalan di Samarinda. Ia terbang ke Samarinda hanya membawa tekad. Padahal dalam benaknya, Kalimantan mungkin hanyalah hutan belantara yang akan sangat mustahil bertahan hidup di sana. Kalimantan terasa asing bagi alumni SMA Negeri 1 Unggaran tersebut.

Sempat bersusah payah bisa menjadi seorang mahasiswa, ia gap year selama setahun sebelum kemudian lulus sebagai mahasiswa di Universitas Mulawarman. 

Tasya mengungkapkan bahwa sebagai seorang perantau, ia tidak memiliki teman maupun saudara di Kalimantan. Di dalam pikirnya, Kalimantan banyak hutan seperti babat alas. 

“Apakah aku bisa survive? Rasanya, pertama kali datang kok beda banget. Aku bahkan sempat nangis,” ungkapnya mengingat masa-masa sewaktu pertama kali merantau ke Kalimantan.

Akan tetapi, keputusannya untuk merantau mendapatkan dukungan dari orang tua. Ibunya berpesan bahwa ia sudah memilih dan menentukan jalan, dan Tuhan sudah memberi jalannya. Oleh karena itu, ia diminta untuk bertanggungjawab atas apa yang diberikan oleh Tuhan. Nasehat itu lah yang menjadi pegangannya.

Belum lagi terkait biaya hidup di Kalimantan yang jauh berbeda dengan pulau Jawa. Tasya tentu harus memutar otak untuk memnuhi kebutuhan hidupnya.

“Aku sebagai anak kos harus hemat, mulai dari bensin, kuota, makan,” ungkapnya.

Tasya mengungkap untuk bisa survive, ia harus hidup secara frugal. Meskipun begitu, harapannya, ia hanya ingin tempat yang tenang dan bisa mengakses internet secara gratis untuk belajar.

“Kalau di rumahku di Semarang ada Wifi sentral, sementara di sini harus keluar uang lagi,” keluhnya.

Ia melanjutkan bahwa ia sempat menangis memikirkan bagaimana harus mengontrol hal tersebut. Namun, setelah itu ia berpikir untuk mengontrol apa yang bisa dikontrol. Seperti sakit, lapar, dan mencari penyelesaian masalah lainnya. 

Oleh karena itu, ia benar-benar memanfaatkan fasilitas internet gratis di fakultas. Bahkan, bisa menghabiskan waktu hingga sore di Gedung Agribisnis. Namun, akibat hal itu, ia sempat ditegur oleh satpam fakultas yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh sampai sore di tempat tersebut. 

“Sebenarnya aku cuman mau menyelesaikan tugasku, aku bergantung pada Wifi kampus, tapi kampus tidak menyediakan itu,” bebernya. 

Pada saat itu, kebetulan ia dihampiri oleh penjaga kebersihan fakultas yang mengajaknya untuk menggunakan Mushola. Di sana selain mendapat fasilitas internet, ia juga mendapatkan tempat indoor yang nyaman dan membuatnya bisa lebih fokus mengerjakan tugas kuliah dan mengeksplor banyak materi.

Tasya baru mengetahui kalau dia, sebagai seorang non-muslim, boleh menggunakan mushola. Sejak saat itu, ia menggunakan mushola untuk belajar. Bahkan, adek kelasnya yang kerap membantunya juga kerap menggunakan mushola untuk tempat belajar hingga sore. Di mushola, Tasya memaksimalkan wakrtunya untuk belajar dan mempelajari kembali apa yang ada di kelas. Ia baru kembali ke asrama pukul 21.30 Wita.

Tasya mengaku mendapat ketenangan saat belajar di mushola, meskipun terkadang ada peristiwa mistis yang ia alami. Bahkan, satpam kerap mencoba menakuti Tasya dengan mengatakan ada sosok anak kecil di sana setelah melihat Tasya di Mushola hingga malam. Namun, Tasya hanya menjawab bahwa ia tidak akan diganggu karena ia tengah menuntut ilmu dan Tuhan bersamanya.

“Pernah saat membuat laporan praktikum, tiba-tiba ada yang tertawa tetapi tidak ada orang.” Tasya menceritakan pengalamannya. Namun, hal tersebut tidak meruntuhkan semangatnya. 

Selama berkuliah dan menjadi perantau di Samarinda, tentu Tasya membutuhkan kendaraan untuk memudahkan aktivitasnya. Ia mengungkapkan baru mendapat kendaraan di semester tiga. Itu pun milik seseorang yang sudah seperti saudaranya karena motornya sudah tidak lagi digunakan.

Tasya sendiri memiliki beberapa prestasi, diantaranya Juara 3 Nasional Lomba Karya Tulis Ilmiah (KTI) di UNS Solo dan Juara 2 Nasional Lomba KTI di Unmul. Menurut Tasya, kita harus coba menggali potensi dan berusaha untuk mengetahui bahwa kita juga bisa bersaing dengan mahasiswa dari kampus-kampus di Jawa.

“Karena opportunity nggak ada yang tau, siapa tau Tuhan memberikan pintu itu untuk kita bisa lebih sukses,” lanjutnya.

Tasya juga sempat mengikuti program MBKM Kedaireka selama tiga bulan di Desa Bangun Rejo, sehingga ia bisa konversi sebanyak 30 SKS untuk dua semester.

Tasya tidak pernah berhenti mencoba hal baru. Ia juga sempat mendaftarkan diri untuk IISMA di semester 6 atau 7. Namun, dalam percobaan tersebut dirinya mengalami kegagalan. Tasya pun melanjutkan bahwa ia sudah berdamai dan ia merasa harus legowo pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

“Seenggaknya aku bisa mengetahui jawabannya, iya atau tidak. Kalau kita nggak coba, jawabannya cuma tidak. Tapi kalo kita terus mencoba jawabannya mungkin bisa tidak, tapi kita bisa banyak belajar dari kegagalan. Ini (Kegagalan) buat tempat aku bertumbuh, maka lebih baik memang harus terus mencoba”.

Tasya selalu mencoba peruntungan, ia kemudian mendaftar intern di salah satu perusahaan bergengsi. Ia mendaftar Charoen Pokphand Best Student Appreciation (CPBSA). CPBSA dari perusahaan propan yang induknya di Thailand bergerak di bidang pakan unggas. Seleksi untuk bisa diterima memiliki 4 tahap: upload video, tes potensi akademik, wawancara, dan LGD (Leaderless Group Discussion).

Pertama kali upload Tasya merasa takut, namun ia beruntung karena memiliki sahabat. Sofyna Alfiya dan Aisyah Jofaturrahma selalu mendukung Tasya dalam berprestasi, “Coba dulu, Sya! Yang penting kamu udah buat video,” kata sahabat-sahabatnya Tasya.

Tasya segera mengunggah video untuk mendatarkan diri di CPBSA. Ia berhasil upload di jam 5 sore dengan batas terakhir upload di jam 11 malam. Kemudian, lanjut tes potensi akademik dan lolos. Ia lanjut tes wawancara 101 langsung dengan HRDnya. Tes wawancara pun ia lulus.

Lanjut ia tes LGD, ia merasa agak takut. Namun, hal-hal tersebut tidak membuatnya berputus asa. Pun sebenarnya ia pernah gagal, tetapi pengalaman gagalnya yang akan menjadi modal hingga ia bisa sampai pada fase itu. Saat ia masih sekolah dulu, Tasya pernah mengikuti komunitas AIESEC dan ada tes FGD. Walau konsep FGD dan LGD berbeda, tapi dengan pengalaman itu ia masih punya pengalaman saat FGD dulu.

“LGD ini agak tricky, aku dulu ikut komunitas AIESEC dulu aku daftar ada tes FGD. Ini kan sekarang LGD dan aku dikelompokkan sama anak UNAIR dan UNAND.”

Dengan mental yang kuat, setelah selesai LGD, keesokan harinya ia dihubungi oleh HRD dan dinyatakan lolos seleksi. 

“Aku disuruh persiapan untuk ke Jakarta dan lanjut ke Thailand.”

Tak luput juga kalimat motivasi dari Tasya yang memandang kegagalan sebagai ketapel. 

“Jika kita ingin ambil manga yang lebih jauh berarti Tarik ketapelnya lebih jauh. Karena hadiahnya bakal lebih nikmat, kegagalan is my bestie. Aku akan selalu berikan yang terbaik, karena aku nggak tahu pintu mana yang akan dibukakan.”

Tasya berhasil membuktikan bahwa dengan kerja keras dan segala pengorbanan waktunya untuk terus belajar adalah kunci kesuksesan. 

Biarpun fasilitas kampus tidak memadai. Namun, Tasya selalu menemukan jalan dan tempat di mana ia tumbuh. Meski itu adalah tempat yang tidak disangka menjadi tempatnya ia mengembangkan dirinya, yaitu di Mushola kampus.

Walau ia merupakan seorang Nasrani, tapi mushola adalah satu-satunya tempat yang aman dan nyaman untuk ia belajar. Jika ia pergi ke kafe, sudah tentu akan membuang banyak biaya, jika di asrama atau tempat tinggal teman, barangkali ia sulit mendapat suasana yang bisa membuatnya fokus.

Mushola adalah tempat yang tidak banyak orang tahu dan ia gunakan secara maksimal. Tasya menceritakan pandangan orang terhadapnya. Banyak yang menerima ia di Mushola, tetapi tidak sedikit juga yang meresahkan dengan sindiran-sindiran seperti “ayo join, ayo login”.

Menurut Tasya, jika terlalu sering, itu membuatnya tidak nyaman. Tak jarang ia juga membalas sindiran-sindiran tersebut. Padahal menurutnya, seharusnya setiap orang bisa menghargai perbedaan, seharusnya setiap orang punya kesempatan yang sama. 

Dengan Tasya seorang minoritas, ia selalu berusaha damai walau ada rasa kurang nyaman jika memang harus belajar di mushola. Walau demikian, tidak semua mahasiswa punya cara yang menjengkelkan untuknya yang nasrani.

“Temanku anak KAMMI, dia selalu ingatin aku doa setiap jam 12. Aku diterima di mushola, tapi beberapa oknum itu bikin jengkel,” keluh Tasya.

Tasya selalu meng-counter hal-hal yang terjadi jika ada yang mempertanyakan keberadaannya. Seoang mahasiswi nasrani dan sudah tentu tidak menggunakan jilbab selalu berada di ruang mushola. Jika ia berhadapan dengan orang yang mempertanyakan keberadaannya, ia selalu ada jawaban.

Terkadang Tasya berdoa, “Tuhan tolong sembuhkan dia, agar dia memahami beragam agama, nanti kalo misal ia ke Thailand dia bakal juga ngerasa menjadi minoritas. Semoga dia akan merasakan apa yang aku rasakan ini”.

Ketidaknyamanan ini seharusnya memiliki solusi. Ada hal yang kurang di area kampus. Tasya adalah salah satu mahasiswa yang berprestasi dengan memanfaatkan fasilitas kampus. Ia memanfaatkan public space yang sebenarnya adalah mushola. Dari cerita Tasya kita mengetahui, bahwa prestasi mahasiswa berbanding lurus dengan fasilitas kampus.

Bayangkan jika ada fasilitas yang benar-benar bisa digunakan secara umum dan jangka penggunaannya bisa sampai malam. Akan ada banyak mahasiswa yang seperti Tasya ini akan lebih berkembang. Akan lebih memiliki peluang juga untuk berprestasi.

Sebenarnya kita butuh fasilitas student lounge, sebenarnya kita butuh ruangan itu, sangat dibutuhkan. Bahkan perpustakaan Unmul sekarang tutup jam 4 yang sebelumnya bisa tutup sampai jam 10 malam.

Menurut Tasya, seharusnya terdapat fasilitas indoor yang memfasilitasi mahasiswa hingga 24 jam. Ia bahkan mengaku iri dengan mahasiswa dari kampus lain seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Diponegoro (Undip). 

“Mereka itu bisa seharian sampai malam di kampus dan punya pola belajar yang kuat. Mereka bisa ganti-gantian ngebahas soal. Aku ingin sekali bisa merasakan nikmatnya belajar seperti itu,” ungkap Tasya.

Tasya juga menilai lebih baik di mushola hingga malam karena kalau di kampus vibes belajar itu akan lebih terasa ketimbang harus di kos. 

Tak luput Tasya juga mengeluhkan minimnya stop kontak di lorong kampus, hingga Wifi yang kurang memadai. 

Dari ceritanya Tasya kita mengetahui, bahwa kampus Unmul sangat memerlukan sebuah fasilitas agar mahasiswa bisa lebih fokus belajar. Peluang hadirnya public spacestudent lounge di Fakultas Pertanian sangat memungkinkan. 

Adanya gedung dekanat dan TU yang baru akan sangat berpeluang gedung lama bisa dijadikan tempat mahasiswa untuk belajar, mengerjakan tugas bersama.

Tasya menambahkan prestasi lainnya yang ia dapatkan, yakni pendanaan dari Program Indofood Riset Nugraha yang diberikan oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. 

Dari program tersebut total ada 80 penerima manfaat, dan ia satu-satunya mahasiswa dari Unmul yang mendapatkan pendanaan dari program tersebut.

Dari mushola ia banyak belajar, namun keadaan sekarang sudah berubah karena portal sudah ditutup setengah tujuh malam.

Tasya kembali membahas soal bagaimana perasaan dan nikmatnya belajar di Mushola, ia menjelaskan keberadaan tempat seperti itu harus bisa lebih luas lagi.

“Sebenarnya enggak ada yang ditakuti di Mushola, ada lelaki hidung belang, enggak ada sebenarnya. Tempat itu paling aman karena selalu ada security.”

Terakhir, Tasya memberikan pesannya, pesan itu untuk Faperta yang seandainya ada mahasiswa berprestasi, fakultas hanya numpang nama. 

“Tolong Faperta bisa lebih mengapresiasi, minimal dapat sertifikat penghargaan gitu,” lanjut Tasya. 

Menurutnya, ia sudah turut membanggakan fakultas dan universitas. Namun, hanya mendapat apresiasi dari dosen peternakan. 

“Semoga adik-adik tingkat bisa lebih diperhatikan lagi,” tutupnya. 

Artikel ini merupakan hasil liputan kontributor Aqwam Naufal Fadhlullah, mahasiswa Program Studi Agribisnis, Faperta 2020.