Beban Ganda Mahasiswa Pengguna Rokok Elektrik, Antara Bahaya Laten Kesehatan hingga Sulitnya Atur Finansial

Beban Ganda Mahasiswa Pengguna Rokok Elektrik, Antara Bahaya Laten Kesehatan hingga Sulitnya Atur Finansial

Sumber Gambar: Sangga/Sketsa

SKETSA — Sore itu di pelataran sebuah kafe di Samarinda, Dimas (bukan nama sebenarnya) berjalan menuju sebuah meja sembari membawa vape (salah satu jenis rokok elektrik) kesayangannya. Benda seukuran genggaman tangan dengan nuansa magenta pink itu kerap terlihat membersamai Dimas di berbagai kesempatan.

Usai mendudukkan diri dengan nyaman, kepulan asap terlihat menyembur dari celah labiumnya. Sorot mata Dimas menerawang ke langit-langit kafe sambil menyusuri kembali momen enam tahun silam. Saat itu, kakak sepupunya baru pulang dari sebuah pameran yang ada di Kota Bontang.

“Cobain Dim,” ujar kakak sepupu Dimas setelah merogoh sesuatu dari dalam saku celananya.

“Enggak ah,” tolak Dimas seketika.

Rupanya, benda yang ditawarkan kakak sepupunya adalah Evod—salah satu rokok elektrik yang bentuknya mirip bolpoin. Rasa penasaran Dimas yang saat itu menjalani tahun ketiga di sekolah menengah pertama kian membuncah. Terlebih sensasi yang ditawarkan setelah mencoba alat tersebut cukup menggiurkan.

“Tapi, kok enak, rasa buah. Aku kepo dong. Terus dingin, kan, aku cium aromanya dingin soalnya nyelekit di hidungku. Terus aku coba, wah, enak,” kisah Dimas saat ditemui awak Sketsa Minggu (5/2) lalu.

Kegiatan nge-vape kerap dilakukannya saat di luar rumah. Apalagi, kondisinya yang masih berada di bawah umur kala itu tak memungkinkannya untuk leluasa menggunakan rokok elektrik di tempat tertentu. 

“Dulu sembunyi-sembunyi, aku ketahuan (nge-vape) itu kuliah. Di luar nge-vape, kalau nongkrong doang, tapi kalau di rumah enggak. Pas kuliah aku baru mulai di rumah, di kamar.”

Sampai saat ini, berbagai jenis rokok elektrik juga telah ia rasakan. Dimas bukan seorang yang enggan meliterasi dirinya, jurnal-jurnal yang mengupas tuntas benda anyar tersebut juga turut ia baca. Menyoal dampak kesehatan yang menyertai, ia mengaku mengetahuinya dengan baik. Meski begitu, adiksi nikotin yang terlanjur menjerat tubuhnya sulit membuatnya berhenti.

“Terus dari situ aku mikir, tuh. Kayaknya kurang, kurang nampol gitu. Karena yang bikin candu itu bukan likuidnya tapi nikotinnya. Aku juga baru tahu belakangan ternyata nikotin juga bisa bikin diabetes.”

Menyoal pengeluaran, Dimas yang saat ini merantau dari kota asalnya untuk berkuliah di Unmul menyebut menghabiskan total Rp450.000 hingga Rp600.000 per bulan guna memenuhi keinginannya menggunakan rokok elektrik.

“Kalau likuid aku biasa sebulan, hitunglah tiga botol, kalau tiga botol itu sekitar 450 ribu. Ganti kawat, aku per tiga minggu itu sampai 65 ribu, lah. Sekarang dijual itu rata-rata sampai 75 ribu. Kalau kapas itu sekitar 65 ribu,” ujar Dimas.


Okta (bukan nama sebenarnya) juga berekesempatan membagikan kisahnya bersama awak Sketsa pada Selasa (17/1). Salah satu mahasiswa Unmul yang sedang menempuh semester akhir ini mengaku belakangan sedang fokus menyelesaikan skripsi.

Sebagai seorang perokok aktif, kondisi Okta yang merantau untuk berkuliah juga tak jauh berbeda dengan Dimas. Tiap bulannya, uang yang ia terima dari keluarga mesti ia sisihkan untuk membayar biaya indekos, makan sehari-hari, transportasi, hingga rokok elektrik.

“Aku pertama kali beli (alatnya) habis Rp1.800.000. Nominal segitu tapi untuk semuanya, ya. Kalau untuk kayak gininya aja itu 550 ribu. Jadi ini harus diganti tiap bulan. Koil 40 ribu, likuid 120 ribu,” ucap Okta mengawali perbincangan sore itu.

Sebutnya, uang yang ia terima secara rutin tiap bulan tak hanya berasal dari kedua orang tuanya. Sering kali kakak kandung Okta juga ikut membantunya secara finansial selama berkuliah. 

“Pekerjaan orang tua (bapak) guru SD dan ibu mengurus rumah tangga. Kan aku enggak cuma dikasih sama orang tuaku, kakakku ngasih juga.”

Menengok kembali lembaran lampau saat kali pertama ia merokok, Okta mengaku mengawalinya dari sebatang rokok konvensional semasa SMA. Meski tak setiap hari, dirinya tak pernah absen untuk mengisap rokok saat berkumpul dengan teman-temannya.

Awal tahun 2022 disebutnya sebagai masa-masa dirinya aktif merokok. Tak hanya rokok konvensional, kali ini rokok elektrik pun juga mulai ia jamah. Alasannya tak muluk-muluk, penasaran dan punya uang jajan lebih dibanding semasa sekolah jadi salah satu pemantiknya.

Fase tersebut ternyata tak berlangsung lama. Sebab, tak bisa dimungkiri menjadi pengguna dua jenis rokok di waktu yang bersamaan cukup memberatkan pengeluarannya sebagai seorang mahasiswa perantau.

“Kadang-kadang berhenti nge-vape, ngerokok, tapi sekarang enggak. Sekarang sudah berhenti merokok, kalau rokok konvensional, ya,” jelasnya.

Beban Kesehatan yang Dipikul Bersamaan dengan Beban Finansial

Beban ganda seperti bahaya laten yang mengintai kesehatan hingga hilangnya kesempatan merencanakan masa depan finansial yang terarah tak luput disadari keduanya sebagai perokok aktif. 

Namun, lagi-lagi kandungan nikotin pada likuid rokok elektrik yang terlanjur menimbulkan adiksi membuat para perokok sulit berhenti dari rutinitas tersebut.

Hal ini pula yang dikonfirmasi oleh Feni Fitriani Taufik, seorang Dokter Spesialis Paru-paru saat diwawancarai awak Sketsa Selasa (14/2) lalu. Imbuhnya, berbagai macam kandungan berbahaya yang ada di rokok konvensional juga ditemukan dalam rokok elektrik. Nikotin dan bahan karsinogenik penyebab kanker misalnya.

“Karena di rokok elektronik itu ada nikotin juga. Nah, nikotin itulah yang kemudian menyebabkan adiksi sehingga orangnya butuh rokok terus-menerus untuk mendapatkan efek yang nyaman dari nikotin tadi.”

Menyikapi asumsi yang beredar di masyarakat tentang rokok elektrik sebagai pintu menghentikan kecanduan rokok konvensional, Feni tegas menolak. Baginya, asumsi tersebut merupakan buah dari teknik marketing yang dilakukan produsen rokok elektrik.

Lebih lanjut Feni menyebut, bahaya laten terkait kesehatan yang paling mungkin terjadi pada para pengguna rokok elektrik adalah Electronic Vape Associate Long Injury (EVALI). EVALI sendiri merupakan sebuah kondisi medis yang serius di mana paru-paru seseorang menjadi rusak akibat zat yang terkandung dalam rokok elektrik dan produk vaping.

“Tahun 2019 (pertama kali teridentifikasi) pernah terjadi kasus EVALI. Nah, ini kasusnya terjadi kerusakan yang luas pada paru-paru anak muda yang memakai rokok elektronik. Jadi, parunya kalau dilihat nanti munculnya kayak paru-paru Covid,” terang Feni.

Tejasari Assad, Perencana Keuangan di Tatadana Consulting ini pun turut berikan pandangannya dari aspek finansial. Menurutnya ketika seseorang telah memiliki penghasilan, maka akan lebih baik jika ia mulai mengelola keuangannya.

Menyoal dana darurat, idealnya seseorang perlu menyiapkan tiga kali pengeluaran bulanan sebagai targetnya. Proses mengumpulkan dana tersebut pun mesti disesuaikan dari kemampuan masing-masing individu.

“Misalnya, saya mau 4,5 juta buat dana darurat, saya ngumpulinnya seratus ribu aja boleh enggak? Boleh, tapi lama jadinya. Empat tahun, kan, baru selesai. Namun, kalau memang maunya segitu, gapapa, yang penting mulai dulu,” terangnya saat berbincang di Zoom Meetings Rabu (8/2) pagi itu.

Pemetaan pengeluaran keuangan individu tutur Teja dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok. Masing-masing di antaranya ialah pengeluaran rutin, pembayaran cicilan utang, pengeluaran untuk menabung maupun investasi, dan terakhir pengeluaran pribadi.

Keperluan membayar biaya bulanan indekos, makan sehari-hari, kuota akses internet, listrik, hingga bensin misalnya merupakan sedikit contoh dari banyaknya pengeluaran rutin yang mesti disisihkan masing-masing individu tiap bulannya. 

Sedangkan pengeluaran pribadi merupakan dana yang dapat disisihkan tetapi tidak menjadi prioritas. Pasalnya, dana tersebut bertujuan memberikan efek kepuasan pada diri sendiri, misalnya dalam kasus kali ini ialah gaya hidup merokok. Besaran dana yang disisihkan idealnya berkisar lima belas hingga dua puluh persen dari total anggaran secara menyeluruh.

“Rokok itu masuk ke bagian (pengeluaran pribadi) itu ya, yang sebenarnya budget-nya enggak boleh lebih dari 20% penghasilan atau dari budget pengeluaran kita. Misal, pengeluaran ada dua juta nih, harusnya pengeluaran pribadinya enggak boleh lebih dari empat ratus ribu.”


Visualisasi di atas diperoleh melalui kalkulasi mandiri dan hasil wawancara bersama Tejasari Assad, Perencana Keuangan di Tatadana Consulting

Masih Relevankah PP Nomor 109 Tahun 2012?

Di Indonesia, aturan terkait rokok tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Lebih dari satu dekade sejak kebijakan ini diberlakukan. Tak bisa dimungkiri, industri rokok terus alami perkembangan yang cukup signifikan. Berbagai jenis rokok elektrik yang bermunculan jadi buktinya.

Guna menilik lebih lanjut implementasi regulasi tersebut, awak Sketsa kemudian melawat ke Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unmul untuk berbincang dengan Rina Tri Agustini, seorang dosen yang memiliki fokus pada bidang promosi kesehatan.

Menurut Rina, regulasi yang kini berlaku masih berada di zona abu-abu. Sebab secara tekstual, dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 tak disebutkan secara gamblang bahwa rokok elektrik jadi salah satu produk turunan tembakau yang wajib dikendalikan.

“Iya, jadi (regulasi tersebut) masih di dalam zona yang rentan diputarbalikkan dalam pengimplementasiannya,” bebernya saat ditemui langsung pada Selasa (31/1) lalu.

“Nah, itu mungkin juga salah satu yang mendasari pabrik rokok ataupun rokok elektrik untuk terus berinovasi gitu, ya. Karena mumpung belum ada nih, aturan yang jelas tentang rokok elektrik jadi terus saja dikembangakan,” tambahnya.

Sebelum berakhir, setidaknya Rina menyoroti lima hal yang perlu dikaji lebih lanjut untuk menciptakan kebijakan yang ideal. Pertama, penjualan rokok baik konvensional dan elektrik harus lebih diperketat bagi anak-anak di bawah umur. 

Kedua, label peringatan kesehatan dari kemasan penjualan perlu dievaluasi berkala. Ketiga, perlindungan asap atau pengimplementasian wilayah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) wajib dibenahi kembali. 

Keempat, perlu adanya tindak preventif yang diwujudkan dalam penyediaan pelayanan kesehatan berupa konseling berhenti merokok di bawah naungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2TM). Terakhir, biaya cukai perlu ditinjau kembali menjadi setidaknya 2/3 dari harga rokok.

“Biaya cukai pokok itu sendiri, update data yang saya tahu, sih, terakhir itu masih di bawah 60 persen gitu. Padahal semestinya, sih, kalau standarnya itu 2/3 dari harga rokok. Namun, yang masih berlaku di kita kalau tidak salah hanya mencapai 57 persen. Itu mestinya masih bisa ditingkatkan, tuh, ke atas enam puluh persen,” kunci Rina.


Liputan ini ditulis oleh Nindiani Kharimah, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2020. Artikel ini menjadi bagian dari program Fellowship Liputan Pers Mahasiswa dalam Menyoroti Lemahnya Regulasi Penjualan Rokok Elektrik yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Prohealth Media.