Terimpit Jebakan Pay Later
Dampak Pay Later terhadap perilaku konsumtif masyarakat.
- 25 May 2022
- Komentar
- 1463 Kali
Sumber Gambar: Pexels
SKETSA - Dalam kemajuan teknologi, e-commerce telah mengubah perilaku masyarakat dalam berbelanja dan mendefinisikan kebutuhannya. Dengan menawarkan segala kemudahan, mulai dari kepraktisan karena bisa berbelanja dari rumah, efisiensi waktu dan tenaga, hingga kemudahan dalam transaksi.
Kemudahan belanja online itu semakin terasa semenjak sejumlah marketplace dan aplikasi mengeluarkan fasilitas bayar nanti atau biasa disebut paylater. Dengan iming-iming ”beli sekarang, bayarnya belakangan” memungkinkan seseorang untuk checkout barang, meski sedang tidak punya uang.
Paylater, layaknya sistem kredit, namun menawarkan kemudahan yang lebih dibanding sistem kredit pada lembaga keuangan dengan berbagai syarat dan ketentuan. Paylater justru menawarkan cicilan tanpa perlu menggunakan kartu kredit dan dapat memilih jumlah tagihan hingga jangka waktu pembayaran yang bisa disesuaikan. Bisa dalam waktu sebulan, tiga bulan, enam bulan, atau bahkan setahun.
Semua kemudahan tersebut terintegrasi dalam satu aplikasi dengan satu akun. Proses pembuatan akun paylater pun sangat mudah. Pengguna hanya perlu menyiapkan akun yang memiliki histori transaksi pembelian, lalu mengisi data diri. Mengunggah foto KTP, foto selfie, dan foto selfie dengan KTP. Terakhir, proses verifikasi yang juga memakan waktu sangat singkat.
Setiap e-commerce entah itu marketplace seperti Shopee dan Lazada atau aplikasi jasa seperti Gojek dan Traveloka, mereka memiliki target pasarnya masing-masing. Traveloka paylater misalnya, mereka menargetkan anak muda yang ingin liburan tanpa perlu memikirkan budget yang akan dikeluarkan. Sementara Shopee paylater menargetkan ibu rumah tangga agar tetap bisa berbelanja dari rumah tanpa khawatir kondisi keuangan.
Dengan segala kemudahannya, tanpa disadari paylater justru membuat masyarakat menjadi konsumtif. Tidak berpikir secara rasional dalam berbelanja hingga memikirkan kerugian yang jangka panjang. Itu karena iklan paylater memang dibuat semenarik mungkin.
Prinsip membeli barang sesuai kebutuhan telah berubah menjadi sesuai yang diinginkan. Dengan sikap yang impulsif ini, kita akan terus belanja tanpa harus memikirkan kesulitan membayar. Hal ini memang memudahkan di awal tetapi tentu menyulitkan di akhir. Pengguna paylater kerap merasa mendapatkan barang tanpa harus mengeluarkan uang, padahal sebenarnya itu adalah utang yang akan terus menumpuk.
itu menunjukkan budaya berutang juga telah bergeser. Utang tak lagi menakutkan seperti dahulu sehingga membuat seseorang berpikir berkali-kali sebelum mengajukan kredit. Kini justru menjadi menggiurkan dengan berbagai kemudahan dan tawaran diskon yang fantastis.
Gagal bayar kemudian banyak dialami. Ketika telah jatuh tempo namun belum bisa membayar, maka akan ada peningkatan bunga. Bunga tersebut akan terus naik jika di bulan selanjutnya tetap tidak membayar tagihan. kemudian akan berakhir gali lubang, tutup lubang. Hingga turut berdampak pada tidak teraturnya keuangan pengguna.
Paylater juga berpengaruh pada lingkungan sekitar. Saat pengguna telat membayar tagihan akan menjadi nilai minus bagi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) pengguna. Hal ini kemudian menimbulkan riwayat pembayaran yang buruk hingga membuat seseorang akan kesulitan ketika akan mengajukan kredit kembali.
Menggunakan fasilitas pay later tentu bukan berarti tak boleh dilakukan. Namun, bijak dalam menggunakannya menjadi penting. Berbelanja dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan tentu akan membantu dalam menyadari esensi kebutuhan saat ini dan kesehatan finansial. Jangat terjebak lagi dalam rayuan kemudahan memakai paylater, ya! (snk/khn)