Hiburan

Melihat Female Gaze dalam Industri Perfilman

Female gaze sebagai konsep feminisme dalam diskursus perfilman.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Tirto.id

SKETSA – Ketika sebuah film ditayangkan, ada cara pandang yang dibangun oleh sineas untuk menarik perhatian penonton ke dalam kisah yang ditampilkan. Adapun penggambaran laki-laki dan perempuan dalam persepsi visual memunculkan pandangan atau tatapan yang berbeda (menurut buku Ways of Seeing karya John Berger, 1972). Beberapa waktu yang lalu, film berjudul Selesai (2021) menjadi perbincangan hangat atas narasi male gaze yang dibawanya. Jika istilah ini asing untukmu, mari kita mengenalnya terlebih dahulu.

Laura Mulvey, akademisi film dari University of London dalam esainya yang bertajuk Visual Pleasure and Narrative Cinema pada 1975 menjelaskan terkait male gaze. Istilah itu merupakan cara pandang laki-laki yang mengobjektifikasi perempuan melalui lensa kamera dan membentuk narasi karakternya bagi audiens laki-laki.

Ia turut menambahkan, perempuan kerap kali digambarkan sebagai objek pasif sebagai voyeurisme (dorongan untuk mencari kepuasan seksual dengan diam-diam melihat objek atau aktivitas seksual) dan scopophilia (kepuasan seksual dengan melihat objek-objek erotis) dalam budaya populer, khususnya dalam industri perfilman. Lantas, bagaimana dengan cara pandang perempuan?

Atas beragam diskusi dari esai tersebut, munculah female gaze sebagai konsep feminisme dalam diskursus perfilman. Dilansir dari magdalene.co, makna ini sering kali tereduksi untuk mengobjektifikasi laki-laki seperti pemahaman male gaze pada perempuan dan tak sepenuhnya merepresentasikan cara memaknai sesuatu yang ditargetkan untuk perempuan.

Padahal, female gaze menawarkan cara pandang dunia melalui kacamata yang lebih luas dengan kekhasan perempuan. Melalui Oxford Reference, female gaze sebetulnya fokus pada cara perempuan melihat lingkungannya tanpa memandang perbedaan gender juga jenis kelamin. Ini berkaitan dengan kepemilikan identitas, konstruksi gender, objektivitas dan subjektivitas. Tentunya, menargetkan perempuan sebagai audiens.

Bagaimana dengan konsepnya? Pada artikel The Daily Star yang ditulis oleh Nashrah Haque, setidaknya terdapat tiga konsep yang menjadi kunci penggambaran female gaze dalam sebuah film. Pertama ialah cara kamera menangkap perasaan yang tergambar dalam sebuah gerakan. Kemudian, perempuan dijadikan objek yang ‘dipandang’ dan dapat membalas kembali pandangan tersebut karena berperan sebagai pemain aktif. Terakhir, menyampaikan kepada penonton bagaimana perasaannya yang telah dipahami.

Beberapa film turut menggunakan female gaze untuk menyampaikan kisah dengan sudut pandang yang lebih indah dan beragam. Misalnya dalam Little Woman (2020) yang disutradarai oleh Greta Gerwig. Ada sentuhan feminis yang memperlihatkan keragaman pengalaman serta perempuan yang dapat mengambil keputusannya sendiri. Tokoh Jo (diperankan Saoirse Ronan) merupakan perempuan independen yang memiliki impian besar. Meski tak ingin memiliki relasi romantis, ia tetap merasakan kesepian.

Sementara tokoh Meg (diperankan Emma Watson) menyatakan jika menikah dan berkeluarga adalah pilihan yang dapat diambil tanpa paksaan siapapun. Ada pula Amy (diperankan Florence Pugh) yang menunjukkan kenyataan patriarkal pada kita: kalau mau menyambung hidup dengan nyaman, maka harus menikahi laki-laki yang kaya. Beragam, bukan?

Jadi, sudah jelas jika female gaze memiliki peranan penting dalam industri perfilman. Ini berperan dalam pemberdayaan perempuan serta kesetaraan gender. Dengan begitu, female gaze bertindak sebagai reminder jika perempuan maupun laki-laki bukan media untuk memproyeksi fantasi seseorang serta tidak membenarkan tindakan seksualitas dan objektifikasi pada laki-laki. (len/fzn)

Rekomendasi Film dengan Female Gaze:

- Ladybird (2017)

- House of Hummingbird (2018)

- Kim Ji-young: Born 1982 (2019)



Kolom Komentar

Share this article