Hari Besar

Hari Puisi Nasional: Stigma Puisi di Kalangan Anak Muda Indonesia

Stigma Puisi di Kalangan Anak Muda Indonesia

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Canva

SKETSA - Berdasarkan keputusan UNESCO, Hari Puisi Sedunia dirayakan pada 21 Maret setiap tahunnya. Sedangkan untuk beberapa negara Eropa memilih hari puisinya jatuh setiap 15 Oktober. Tanggal tersebut dipilih sebab merupakan hari lahir dari seorang penyair terkenal pada masa Romawi, Virgil.

Tak jauh berbeda, di Indonesia sendiri Hari Puisi Nasional diperingati setiap tahunnya pada 28 April. Dengan tujuan mengenang kepergian penyair lokal legendaris, Chairil Anwar. Puisi-puisi yang ditulis oleh sosoknya ini dianggap memiliki pengaruh luar biasa pada angkatan '45.

Sebelum membahas lebih jauh, sudah tahukah kamu apa itu puisi? Puisi merupakan suatu karya sastra tertulis yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti irama, rima, baris, dan bait. Biasanya seorang penyair yang ingin menyampaikan pesan melalui puisi akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Keunikan sebuah puisi memang terletak pada bahasa yang indah dan sifatnya yang imajinatif.

Meski begitu, masih banyak anak muda yang memandang puisi dan ragam sastra yang lain sebagai suatu hal yang hanya cocok dinikmati oleh "orang baperan" atau "yang suka galau" saja. Sejatinya puisi bukanlah sebatas kata-kata indah yang dirangkai menjadi sebuah kalimat dalam bait. Lebih dari itu, sebenarnya puisi bisa menjadi salah satu wadah yang tepat bagi seseorang untuk mengungkapkan perasaan dan emosi berkaitan dengan kesehariannya, kontemplasi, sampai respons atas isu-isu terkini.

Dikutip dari laman berdikaribook.red yang ditulis oleh M. Dihlyz Yasir. Dirinya mencontohkan realita yang terjadi tentang stigma tersebut. “Ketika seseorang nongkrong di kafe dengan buku puisi di tangannya, terlebih lagi jika seseorang itu adalah laki-laki berambut gondrong yang juga kebetulan seorang perokok aktif. Maka suara spontan yang muncul dari sekitarnya adalah: "Bacaanmu kok puisi, sih, lagi galau ya?’", atau "wajahnya sangar kok bacaannya puisi?", atau respons terparah yang biasa diberikan oleh si penanya setelah mengetahui bahwa seseorang yang ditanya itu membaca buku puisi, hanya sekedar: "oh," lalu ditutup dengan raut wajah yang seolah-olah menganggap puisi itu tak lebih dari sekadar kumpulan kata-kata indah yang hanya cocok dikonsumsi laki-laki baperan."

Beralih ke negara Inggris, ternyata minat generasi milenial terhadap karya sastra puisi meningkat. Penjualan buku puisi mencatatkan rekor tertingginya pada 2018. Data dari Nielsen BookScan menunjukkan penjualan tumbuh lebih dari 12% dari tahun sebelumnya. Dimana 1,3 juta volume buku puisi telah terjual selama 2018. Lonjakan penjualan buku puisi ini disinyalir karena adanya pergolakan dari konflik politik. Sehingga puisi dijadikan alat untuk memahami berbagai fenomena tersebut sekaligus sebagai alternatif memahami dunia secara lebih luas.

Melihat hadirnya pandangan negatif terhadap puisi yang terjadi di tengah muda-mudi Indonesia, bisa saja muncul dikarenakan oleh ketidakpahaman mereka terhadap cerita panjang puisi dan kekuatannya. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut agar sastra di Indonesia bisa lebih berkembang.

Menghadapi stigma terhadap puisi dapat diminimalisir dengan mengonsumsi beragam bacaan. Dengan begitu, kita jadi memahami bahwa puisi tak sekadar bacaan sendu di kala hati tak menentu. Namun, lebih dari itu. Siap berpuisi hari ini? (nkh/rst)



Kolom Komentar

Share this article