Event

Politik Luar Negeri Era Jokowi

Program Studi Hubungan Internasional (HI) bekerja sama dengan BPPK pada Rabu (24/5) kemarin menggelar Kuliah Umum “Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI di Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo” di Aula Serbaguna Lantai 4 Rektorat Unmul.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak selesai pada proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pasca itu, Indonesia masih harus menyusun tiang-tiang pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya adalah pengakuan kedaulatan dari negara lain.

Pada posisi pasca kemerdekaan, Indonesia tidak lagi menggunakan cara-cara konfrontasi, melainkan diplomasi. Sejarah mencatat kepentingan nasional Indonesia dilakukan melalui jalan perundingan dan diplomasi. Perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen, hingga konferensi Meja Bundar adalah kesuksesan Indonesia dalam diplomasi untuk mendapatkan kedaulatan yang seutuhnya.

Indonesia hingga saat ini masih menggunakan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang dicetuskan Mohammad Hatta. “Bebas dan aktif dapat diartiakan bergerak sesuai kepentingan nasional Indonesia bukan pro ke negara-negara tertentu,” papar Bambang Susanto, Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI.

Materi tersebut disampaikan Bambang dalam Kuliah Umum “Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI di Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo” yang digelar Program Studi Hubungan Internasional (HI) bekerja sama dengan  BPPK pada Rabu (24/5) kemarin di Aula Serbaguna Lantai 4 Rektorat Unmul.

Bambang menambahkan, arah kebijakan luar negeri di era Jokowi adalah mendorong ekonomi domestik melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), revolusi karakter bangsa, diplomasi yang membumi dan mengacu pada kepentingan rakyat. Jokowi juga mengadopsi prinsip Trisakti yang dicetuskan Soekarno. Yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Karena semangat dan substansinya dinilai masih relevan untuk diterapkan saat ini.

“Karena kita memasuki pasar ASEAN, sumber daya manusianya harus kompetitif. Saya harap dunia akademisi, baik dosennya, mahasiswanya, dapat memahami kebijakan politik luar negeri kita dan mendukung arah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat indonesia melalui diplomasi,” harapnya.

Ditemui pasca acara, Bambang memberikan apresiasi kepada mahasiswa Unmul yang memberikan pertanyaan seputar isu hangat di dunia internasional. “Saya kira sangat bagus, terlihat dari kualitas pertanyaan yang merupakan hal baru dan isu hangat. Banyak yang mau bertanya. Logikanya mereka ingin banyak tahu, saya pikir saya salut dan bangga ya” ujarnya pada Sketsa.

Acara-acara semacam ini memang lazim digelar sejumlah prodi sebagai penambahan materi luar kelas namun sesuai kajian keilmuan. (krv/arr/ninis/aml)



Kolom Komentar

Share this article