Event

Diskusi 3 HMJ FEB, Bahas Nawacita Ketiga Jokowi-JK di Kaltim-Kaltara

3 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) menggelar diskusi tahunan. (Foto: istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA Pembangunan infrastruktur di daerah kawasan 3T (Terdepan, Terluar, Terbelakang), dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang tertuang dalam Nawacita ketiga. Kawasan 3T adalah wajah depan Indonesia yang harus diperbaiki dan didorong kemajuannya, sebagai perwujudan bahwa negara hadir dan melindungi segenap warga.

Hal ini yang menjadi dasar 3 Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) menggelar diskusi tahunan, dengan mengangkat tema “Optimalisasi Pembangunan Infrastruktur di Kawasan 3T” pada Jumat (13/10). Diskusi dilaksanakan di gedung Dekanat lantai 3 FEB dan peserta yang hadir didominasi dari anggota HMJ.

Acara dimulai pada pukul 13.30 Wita diawali dengan sambutan ketua HMJ Ilmu Ekonomi, Manajemen, dan Akuntansi. Diskusi yang diselenggarakan mendekati akhir kepengurusan 3 HMJ FEB ini juga dihadiri oleh Muhammad Awaluddin sebagai narasumber dan pemantik.

Awaluddin mengawali pembahasan terkait kawasan 3T di Kalimantan Timur, terkhusus di wilayah perbatasan antara lain Malinau dan Sebatik. Adanya kawasan 3T tadi merupakan bentuk kegagalan pemerintah, di mana pemerintah telah membuat Produk Domestik Regional Bruto  (PDRB) pembangunan. PDRB terkait dengan pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi menggambarkan komponen pendapatan, pengelolaan, dan produktivitas.

Pembangunan kawasan 3T di daerah pedesaan terbagi menjadi pembangunan fisik dan non fisik. Pembangunan fisik meliputi fasilitas jalan, pasar, dll. Sedangkan pembangunan non fisik meliputi lembaga, kebijakan, dan konsep pemerintahan.

Pada level lokal permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada di kawasan 3T tadi adalah keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya harga barang  dan jasa, keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan publik (infrastruktur), rendahnya kualitas SDM pada umumnya, dan penyebaran penduduk yang tidak merata. 

Kondisi kawasan 3T saat ini umumnya belum mendapat perhatian secara proporsional. Hal ini dapat dilihat dengan kurangnya sarana prasarana yang tersedia di kawasan tersebut. Awal mengatakan contoh studi kasus kegagalan pengelolaan oleh pemerintah adalah Freeport yang mana sumber daya alamnya hampir seluruhnya dikuasai oleh pihak asing.

Pada sesi open mind, ketua umum HMJ Ilmu Ekonomi, Nikita Ibrahim, memaparkan optimalisasi pembangunan infrastruktur kawasan 3T di Kaltim berarti membahas beberapa hasil yang dicapai. Pada rancangan pembangunan tahun 2017 terdapat sasaran output antara lain sektor jalan, sektor sumber daya air, sektor perumahan, dan sektor cipta karya. Sasaran output tersebut dapat dijadikan kajian dan tolok ukur pembangunan kawasan 3T. Ia juga menilai perbaikan infrastruktur tidak hanya sekedar "perbaikan jalan”, namun juga pada sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan yang dinilai masih kurang.

Sedangkan dari Indra Mahardika, ketua umum HMJ Manajemen, memaparkan keterkaitan kekayaan Indonesia yang melimpah dengan pemerataan infrastruktur di Kaltim-Kaltara. Dia berpendapat pemerintah sekarang tidak terlihat upaya untuk merealisasikannya. Berfokus di wilayah Samarinda, infrastruktur yang masih dibangun hingga kini masih mangkrak. 

Selain itu, di Kaltim masih banyak terjadi ketimpangan sosial dari segi sumber daya manusia, ekonomi, maupun sarana-prasarana. Indra menambahkan bagaimana masalah pemerataan pembangunan sosial di Kaltim-Kaltara, khususnya di daerah perbatasan dan pesisir yang didominasi oleh perikanan. Bahkan, peningkatan perekonomiannya dominan berasal dari Malaysia.

Menariknya, Awal meminta kepada para peserta yang berasal dari daerah 3T menceritakan bagaimana keadaan ekonomi dan pembangunan di kampung halaman mereka. Usman, salah satu audience yang berasal dari Sebatik kemudian memaparkan perbandingan infrastruktur antara di Sebatik dengan Samarinda yang bagaikan langit dan bumi.

Usman mengungkapkan warga di Sebatik sering meminta infrastruktur skala besar yang tak kunjung memberi hasil, namun di sisi lain pihak pemerintah juga mempertimbangkan akses jalan yang sulit dicapai. Selain itu, ia juga menanyakan bagaimana solusi rancangan DOB (Daerah Otonom Baru) di Sebatik yang masih ditinjau ulang.

Sofiyanti Ardi Niyingsih selaku ketua umum HMJ Akuntansi mengungkapkan tema optimalisasi diskusi diambil supaya tidak ada diskriminasi. Karena tema ini dapat dilihat dari sudut pandang manajemen, akuntansi, dan ilmu ekonomi. 

“Dan kenapa kita ambil masalah ini, sudah jelas dari program Nawacitanya Pak Jokowi ternyata masih belum tersentuh di beberapa kawasan. Ada solusi dari optimalisasi ini yaitu pembangunan berdiri sendiri, di mana kita bisa memanfaatkan dari bidang pariwisatanya maupun dalam hal penggunaan SDA-nya,” tuturnya.

Sofi berharap solusi dan masukan dari diskusi ini bisa membuka wawasan bagi mahasiswa agar bisa peka dan dapat membantu dari kawasan perbatasan tersebut. (bip/cin/wal)



Kolom Komentar

Share this article