Reuni Keluarga
Reuni keluarga dan keseruannya
Sumber Gambar: Pexels
Siang itu, Mbah Kakung berulang tahun yang ke-81 tahun. Semua keluarga besar diminta berkumpul untuk merayakan ulang tahun mbah kakung yang sebenarnya cukup sederhana. Hanya ada satu kue ulang tahun yang terbuat dari kue lapis Surabaya tanpa lilin. Mbah Kakung suka sekali sate meskipun kolesterolnya sudah cukup tinggi. Tapi, tidak ada salahnya jika sesekali menuruti kemauannya, apalagi di hari spesialnya. Jadi, pada hari itu, anak-anak dan cucu Mbah Kakung berkumpul di dalam rumah sembari mengobrol dan menyantap sate ayam.
Julia duduk di pojok ruangan bersama dengan sepupu lainnya. Sebagai salah satu cucu terakhir, ia lebih banyak berdiam diri sambil menyimak percakapan sepupunya yang berusia jauh lebih tua darinya. Sesekali ia menggigit tusuk sate yang masih tersisa di piringnya. Waktu berjalan begitu lambat sehingga ia bisa merasakan terpaan matahari tepat di wajahnya.
“Julia udah kelas berapa?”
Gadis berusia enam belas tahun itu mendongak ketika salah satu sepupunya, Farah—yang sepuluh tahun lebih tua—bertanya kepadanya.
“Baru naik kelas 3 SMA, Mbak,” jawabnya sopan.
Percakapan berlangsung seperti biasa. Julia beberapa kali ikut menimpali obrolan sepupu-sepupunya meskipun ia menjadi pihak yang lebih banyak menyimak. Keluarga Mbah Kakung dan Mbah Putri cukup besar. Mereka memiliki sembilan orang anak dengan total cucu sebanyak 24 orang. Namun, karena masing-masing kepala keluarga tinggal di kota-kota yang berbeda di seantero Pulau Jawa, susah sekali mempersatukan mereka. Hanya di momen-momen tertentu seperti Hari Raya Lebaran dan ulang tahun Mbah Kakung yang kerap dijadikan ajang reuni keluarga.
Waktu tengah menunjukkan pukul tiga sore ketika sebuah mobil Pajero putih memasuki halaman rumah Mbah Kakung. Hampir semua orang berdiri dari tempat duduknya masing-masing untuk menyambut tamu yang baru datang. Julia tidak bergerak, dia hanya bertopang dagu dan menoleh penasaran. Iris gelapnya gagal mendapati sosok tamu akibat punggung-punggung jangkung yang menghalangi arah pandangnya. Meskipun ia belum melihat secara langsung, ia sudah tahu persis siapa yang datang. Sepasang suami istri dengan kain batik yang senada baru saja melangkah keluar dari mobil Pajero tersebut, disusul dua orang putra-putrinya yang sedari tadi duduk di kursi belakang.
“Sudah kayak artis aja, ya,” celetuk Karina, kakak sepupu yang paling dekat dengan Julia.
“Ya, namanya orang sibuk, Mbak. Ajaib banget kalo mereka bisa datang.”
Julia dan Karina berbisik-bisik, sesekali tertawa kecil saat membahas sosok tamu spesial di hari itu. Tapi, obrolan mereka terputus kala Bude Lina menyuruh mereka berdua untuk ikut menyambut di ruang tamu. Keduanya bergegas meninggalkan meja makan dan bergabung dengan yang lain. Julia berdiri di barisan paling akhir, menunggu giliran untuk bersalaman dengan tamu yang baru datang tersebut.
Tamu tersebut tak lain adalah Pakde Sardono. Ia merupakan anak laki-laki tertua Mbah Kakung. Dari semua anak-anak Mbah Kakung, Pakde Sardono adalah yang tersukses. Ia memiliki beberapa perusahaan di bidang ekspedisi dan saat ini menetap di Kota Jakarta. Ia dan istri pertamanya memiliki tiga orang anak dan yang paling tua saat ini sedang menetap di Belanda. Jadi, ia saat ini hanya datang bersama istri pertama dan dua anaknya, Bara dan Sekar. Ya, Pakde Sardono melakukan poligami dua tahun yang lalu.
Putri bungsu Pakde Sardono, Sekar adalah satu-satunya yang seumuran dengan Julia. Mereka sama-sama berusia enam belas tahun dan saat ini masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Julia memandang Sekar lekat-lekat, sepupunya itu terlihat sangat cantik dengan potongan baju sabrina yang melekat sempurna di kulit putihnya. Rambutnya yang panjang masih tertata rapi, seakan-akan dia tidak baru saja melakukan perjalanan sejauh 500 kilometer. Julia tanpa sadar terpukau dengan kehadiran sepupunya tersebut.
“Aura orang kaya memang beda, ya”, gumamnya dalam hati.
Acara kembali dilanjutkan dengan semarak. Beberapa kue dan makanan yang disimpan pun satu persatu dikeluarkan. Julia sampai kaget saat mengetahui beberapa makanan yang disimpan hanya untuk kedatangan keluarga Pakde Sardono. Rasanya sambutan ini malah jauh lebih meriah daripada perayaan hari jadi Mbah Kakung tadi siang.
“Julia, ya?”
Suara lembut itu mencuri perhatian Julia. Ia seketika menoleh dan mendapati Sekar tersenyum lebar ke arahnya. Ia membalasnya dengan senyum lebar yang sama, tapi lebih canggung.
“Eh… Hai, halo!”
Julia dan Sekar tidak begitu dekat. Jarak adalah faktor utamanya. Dalam setahun, bisa dihitung jari seberapa sering mereka bertemu. Julia juga merasa kalau dirinya tidak selevel dengan Sekar yang hidup serba berkecukupan di ibukota. Meskipun masih satu keluarga, nasib dan kehidupan mereka sangat berbeda jauh. Ayah Julia hanya pedagang biasa yang menjual berbagai kerajinan keramik di Kota Solo.
Keduanya mengobrol cukup lama, dan tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing. Sekar sangat ramah dan friendly. Mereka berbicara tentang masa depan dan cita-cita mereka masing-masing. Tanpa mereka sadari, jam sudah menunjuk pukul enam sore, dan keluarga Pakde Sardono harus kembali ke Jakarta malam itu juga. Julia memeluk Sekar erat-erat sebelum mengantarnya kembali ke mobilnya. Mereka berjanji untuk saling kontak. Sekar bahkan menghadiahkannya gelang permata dari Bali.
Matahari sore terbenam seiring dengan menghilangnya mobil Pakde Sardono.
***
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Julia bangkit dari kasur dan menuju dapur untuk segelas air. Langkahnya terhenti sesaat suara beberapa ibu-ibu terdengar dari dapur. Julia mengintip ke dalam dan mendapati bude-budenya dan ibunya sendiri sedang membahas sesuatu.
“Mereka makin sombong ya. Satu hari pun gak mau menginap di sini.”
“Coba lihat istrinya. Gayanya makin sok. Pantes aja dipoligami.”
“Duh, istrinya pelit banget! Saya mau pinjem uang sama Mas Dono gak diizinin sama istrinya. Padahal, mereka bisa liburan kemana-mana.”
“Anak-anaknya juga pada hedon, tuh, kelakuannya.”
“Mbak, anakmu kalo udah lulus kuliah langsung aja kirim ke perusahaannya Mas Dono, pasti langsung keterima.”
Julia mengerutkan dahinya. Perasaannya mulai campur aduk. Bukankah mereka sebelumnya terlihat begitu antusias dan bahagia melihat kedatangan keluarga Pakde Sardono? Lantas mengapa mereka kini malah bergunjing seakan-akan memiliki musuh yang sama?
Julia mengurungkan niatnya untuk ke dapur dan memilih kembali ke kamarnya. Perbincangan tersebut seharusnya tidak ia dengar. Kini ia hanya bisa berbaring di ranjang dengan perasaan tidak enak. Sakit hati dan bersalah. Ia tidak menyangka akan melihat sosok asli keluarganya sendiri.
Malam itu terasa lebih panjang dan hampa.
Cerpen ditulis oleh Nazmiah Nur Fadilla, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2021.