Pesan Melati Putih
Sebuah cerpen dari Grifaldo Frizky Wibowo, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia 2015, FIB.(Sumber ilustrasi: https://goo.gl/images/xwWK5T)
Gelap mulai menyelimuti malam dengan beberapa potongan awan hitam. Di sudut kamar aku memandang lurus ke sebuah jendela persegi, mengantarkan angin untuk bersapa sejenak dengan tubuhku. Aku menggigil, di tandai dengan bulu-bulu halus berdiri di sekujur kulitku. Waktu kini telah menunjukan seperempat malam, tapi aku masih menatap haus ke arah jendela. Aku bertanya pada diriku “Siapa dia?”.
Kini aku takut, aku sangat takut. Aku berdiri dan langsung menutup jendela dengan rasa takut. Aku membenamkan diriku kedalam selimut berharap bisa bersembunyi di dalamnya. Hingga beberapa saat aku pun tertidur melenyapkan rasa takutku untuk sementara.
Lantunan adzan subuh membangunkanku. Aku berdiri dan merapikan tempat tidurku. Setelah rapi, aku membuka jendela lalu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersuci. aku mengambil mukenah yang tergantung di kamar dan melakukan shalat. Mulai ku sebut namaNya lalu sedikit berdialog denganNya.
Tok, tok, tok. (Suara ketukan pintu)
“Sayang, kamu sudah bangun?”
“Iya ayah, aku sudah bangun.”
Setelah ku bukakan pintu, ayah memelukku dan mencium kepalaku. Hal rutin yang selalu di lakukannya ketika ia harus berangkat ke luar kota. Suatu hal yang tidak bisa aku terima. Membuatku sedih setiap aku harus sendirian. Tetapi perasaan itu selalu ku sembunyikan agar ayah tidak mencemaskanku ketika ia harus pergi untuk bekerja.
“Ayah akan pergi selama dua hari, apa kamu tidak apa-apa?”
“Tidak ayah, aku tidak apa-apa, aku bisa jaga diri.”
“Syukurlah kalau begitu ayah bisa berkerja dengan tenang.”
Pagi ini ada perkuliahan di kampus, aku harus segera bergegas dan bersiap-siap. Aku berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Samarinda. Kali ini ayah mengantarku berangkat kuliah, di dalam mobil ayah bertanya banyak tentang hari-hariku di perkuliahan, aku hanya sesekali menjawab dan mengisyaratkan sesuatu padanya. Sesampainya, aku turun dan berpamitan padanya.
“Ayah hati-hati?”
“Iya, kamu jaga diri baik-baik selama ayah pergi!”
Aku hanya mengangguk dan mulai menutup pintu. Dengan perlahan aku berjalan masuk melewati gerbang kampus. Belum saja mobil ayah menghilang, terdengar suara sahutan dari seorang perempuan.
“Kinan?”
Aku menoleh, Tetapi tidak ada siapa pun ku dapat dalam pandanganku. Kali ini dia datang lagi. Suara yang selalu memanggilku. Suara yang membuatku takut. Suara yang membawa pesan yang tidak ku pahami. Karena perkuliahan segera dimulai. Aku mengalihkan semua rasa takutku. Aku melangkah di antar hembusan angin yang mendorong tubuhku.
Pagi ini Pak Mardoko menitip pesan tentang keterlambatannya. Sedikit membuatku bisa beristirahat sejenak. Aku duduk tepat di bawah jendela. Sengaja ku buat wajahku beradu dengan hangatnya mentari pagi. Burung-burung menari berpasang-pasangan. Sepertinya mereka ingin menghiburku. Iya, hari ini aku sedikit kesepian. Karena kesekian kalinya ayah harus pergi ke luar kota.
Ayah memang sering pergi meninggalkanku. Mungkin karena faktor pekerjaannya yang berpindah-pindah. terkadang dia meninggalkanku selama tiga hari, empat hari, bahkan pernah sangat lama yang membuatku malas menghitungnya. Aku tidak mungkin mengeluh tentang pekerjaannya. Karena aku tau, dia melakukan itu agar kami tidak satu hari pun merasakan perut kosong. Ayah adalah sosok penyayang. Dulu, saat ketika aku belum mengerti arti tentang hidup, dia selalu menjawab rasa penasaranku akan sesuatu. Hingga aku menjadi seseorang yang dewasa. yang harus menjadi pribadi yang mandiri.
"Kinan?"
Tiba-tiba suara itu berdengung di telingaku.
Aku terkejut dan menoleh ke luar jendela. Aku melihat sosok perempuan, memanggilku dengan tatapan yang seakan ingin mengajak untuk berbicara.
“Kinan?”
Sambil melambaikan tangan mengisyaratkan aku untuk menemuinya.
“Siapa dia?” tanyaku dalam hati.
Aku berdiri meninggalkan kursi menuju tempatnya berada. Dengan langkah perlahan dan pandangan masih ke arah luar jendela, aku melihatnya tersenyum ke arahku. Aku sedikit takut, tapi rasa takut itu tenggelam oleh rasa penasaranku. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Siapa dia, siapa sosok perempuan ini. Apakah dia yang selalu menggangguku. Apakah dia yang selalu memanggilku tanpa ada wujud yang hadir dalam penglihatanku. Aku harus segera menemuinya, untuk menanyakan maksud dan tujuannya. Aku bergegas mendatanginya.
“Maaf, ada apa memanggilku?”
Dia hanya tersenyum.
“Kamu siapa? Apa kita pernah saling mengenal?”
Dia masih saja tersenyum.
“Apakah kamu yang selalu memanggilku?”
Dia tetap saja tersenyum.
Aku heran kenapa perempuan ini tidak menjawab satu pun pertanyaanku terhadapnya. Sekali lagi aku memperhatikan wajahnya. Memperhatikan detail bentuk tubuhnya. Aku seperti mengenal sosok perempuan ini. Tapi, siapa dia. Ciri khas senyumnya mengingatkanku akan sesuatu yang pernah aku temui sebelumnya. Apakah dia teman masa kecil ku. tapi, kenapa tidak sedikit pun aku mengingatnya. Sosoknya membuat aku semakin penasaran, ttentang siapa dia sebenarnya. Aku bertanya kembali kepadanya.
“Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Dia masih saja diam dan tersenyum.
“Jika tidak ada yang ingin kamu sampaikan, aku akan pergi.”
Kemudian aku berbalik badan dan melangkah meninggalkannya. Beberapa langkah aku berjalan. Dia menyahutiku.
“Aku, aku adalah Melati Putih!” sahutnya kepadaku.
Aku berbalik badan dan menoleh kepadanya. Tapi aku tidak menemukan lagi sosok yang tadi berdiri di belakangku. Mataku berlomba-lomba mencari keberadaannya. Kemana dia pergi. kenapa cepat sekali dia menghilang. Siapa dia, siapa Melati Putih itu. Aku heran dan aku sangat bingung. Aku bertanya-tanya sendiri, siapa dia sebenarnya.
***
Tok, tok, tok. Suara ketukan pintu tiba-tiba membangunkanku.
Aku terkejut, tentang apa yang telah aku lewati hanyalah sebuah mimpi. Aku bangun dan bertanya tentang mimpi yang barusan saja ku alami. Ternyata rasa takut ini membawaku jauh hingga ke dalam mimpi. Aku melihat kearah jam di dinding yang menunjukan waktu pukul 6 pagi. Aku pun bangkit untuk membukakan pintu kamar.
“Sayang, lekas mandi! Ayah sudah menyiapkan sarapan di dapur.”
“Iya, ayah.”
Berbeda jauh dengan mimpiku. Ternyata hari ini ayah tidak meninggalkanku. Aku cukup senang. Bergegas aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, aku langsung menuju ruang makan. Selesainya menghabiskan sarapan. Aku dan ayah bersantai menyaksikan berita pagi.
“kamu begadang yah semalam! sampai kesiangan seperti ini.” tanyanya.
“Iya ayah, hanya mengerjakan sedikit tugas kuliah.”
“Lain kali tugasnya langsung di kerjakan! Jangan menunggu waktu malam.”
“Iya, yah.”
“Karena ini hari minggu. Ayah akan menemanimu seharian.”
Akupun cukup senang mendengarnya
“Oh iya, yah, apa ayah pernah mendengar Melati Putih?”
“Dimana kamu mendapat nama itu!” ayah langsung terkejut.
“Semalam aku bermimpi bertemu dengannya,” jawabku.
Dangan tersenyum ayah menjawab,
“Sepertinya dia merindukanmu sayang. Itu panggilan yang ayah berikan buat ibumu.”
Aku terkejut dan saat itu juga aku menangis di pelukan ayah. Menangis tentang ibu yang melahirkanku, mengorbankan nyawanya demi diriku. Semoga ibu bahagia di sana
Terima kasih ibu.
Ditulis oleh Grifaldo Frizky Wibowo, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia 2015, FIB.