Pembeliant: Bagian Pertama
Kisah Pembeliant di zaman kolonial
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
(Disarankan untuk membaca cerpen sebelum ini, karena saling berkaitan. Baca: Panglima: Legenda Talawang)
Berdasarkan adaptasi dari legenda masyarakat Dayak.
Aku menarik-ulur bambu itu, seolah hidupku bergantung padanya. Ketegangan terlukis di wajah Sanja. Khawatir sesuatu selain ikan telah terjerat di ujung kail itu. Matanya menari mengikuti kelok air yang mendatangi kami. Sesaat ketika aku berhasil menarik bambunya, kayu tua tergantung di hadapan kami. Bajuku yang berwarna biru langit berubah menjadi biru tua setelah terkena air. Rambutku turut mengkilap terkena air sungai. Sanja menertawakanku.
“Aku kira ayah lihai dalam memancing,” Sanja menertawaiku.
Tentu saja aku ahli dalam memancing. Aku sengaja tidak menggunakan umpan apapun agar ia lebih banyak mendapat ikan. Aku ingin menghiburnya.
“Mungkin ikan-ikan sudah tertidur,” tawaku diterpa matahari sore.
Sanja turut tertawa, “Tidak perlu khawatir, Yah. Aku mendapat cukup banyak ikan. Itu akan cukup untuk beberapa hari.”
Ia menunjuk anjat (tas rotan) yang dipenuhi hasil tangkapannya.
Sanja mewarisi hal-hal baik dari mendiang ibunya, Nara. Aku pernah memergokinya menimba sumur untuk membantu anjing liar yang kehausan. Padahal, saat itu kampung kami sedang dilanda kemarau panjang hingga sulit mendapatkan air. Pancing Sanja bergerak lagi. Ia mendapatkan ikan yang lebih besar kali ini. Sanja memeluk ikan itu agar berhenti meronta. Baju coklatnya basah. Matahari mulai tenggelam.
“Ayo kita pulang,” kataku.
Sanja mengangguk dan mulai mengemasi barang kami.
“Pulanglah dan bawa hasil tangkapanmu, biar ayah yang mengemas peralatan kita.”
Aku mengemas dan tak lupa menghapus jejak keberadaan kami. Akan sangat berbahaya jika VOC menyadari keberadaan kami di sini. Sanja berjalan menjauhiku sembari memikul anjat-nya. Sebelum menyibak semak belukar di hadapannya, aku memanggilnya.
Sanja menoleh dari sisi bahunya, “Iya, yah?” sembari menunggu jawaban dariku.
Aku ingin mengatakan betapa aku bangga padanya. Bagaimana ia telah mengadopsi hal-hal terbaik dari aku dan ibunya. Aku sangat ingin memeluknya dan berjanji padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa aku akan selalu ada untuknya. Alih-alih aku justru mengatakan, “Ayah ingin lomba memancing lagi kapan-kapan.” Aku adalah ayah yang buruk.
Dengan lembut ia menjawab, “Tentu saja, ayah.” Ia kemudian berjalan dan ditelan rimbun hutan Gesaliq.
Setelah berkemas, aku bergegas menyusulnya tetapi ia menghilang tanpa jejak. Aku mencari sembari meneriakkan namanya.
“Sanja!” ujarku dari atas pohon tampui, namun tidak menemukkan tanda dari putra semata wayangku itu. Jantungku berdegup kencang seraya menelusuri jejaknya. Aku mengamati sekelilingku dengan cepat berusaha melacak keberadaanya. Setelah kematian ibunya, aku tidak bisa membayangkan jika harus kehilangannya juga. Sudah setengah jam berlalu, aku khawatir bila ia bertemu dengan para serdadu VOC. Lantas, aku meminta bantuan kepada Panglima.
“Ceritakan sekali lagi, Taman. Mengapa kau mengajak Sanja bermain di hutan setelah aku memerintahkan seluruh penduduk untuk bersembunyi?” Panglima menghela nafas panjang.
“Kau benar. Aku minta maaf, tapi, Sanja sedang melalui masa-masa yang sulit semenjak kematian ibunya. Aku hanya ingin menghiburnya,” jawabku.
Nanjan, atau dikenal sebagai Panglima, terbesit untuk menjawab, namun, tidak diindahkannya. Sebelum meninggal di tangan serdadu VOC, istriku Nara sekaligus adiknya Nanjan, memintanya untuk menjagaku dan Sanja. Tak lepas, kematian Nara-lah yang menjadi pemantik bagi Nanjan sehingga mendapat kekuatan Panglima kala itu. Bak sebuah benteng, Nanjan selalu menutup diri di balik sosok Panglima. Aku bahkan tidak ingat terakhir kali melihat wujud asli adik iparku itu.
Panglima menutup mata, menarik napas panjang, dan membusungkan dadanya. Sekejap, kakinya telah berjarak lima meter di atas tanah. Hembusan angin memaksaku menjauhinya. Dedaunan kering berlalu-lalang mengelilinginya. Aku melihat beberapa hewan menghentikan aktivitasnya untuk melihat sosok yang melayang itu.
“Dia berada di dekat perkebunan VOC. Tak sadarkan diri. Pergilah, aku akan mengawasi dari jauh,” suara Panglima terdengar menggema.
Aku bergegas menghampiri Sanja dengan kondisi yang persis seperti yang telah dijabarkan Panglima. Untunglah, tubuhnya tertutupi kerindangan ladang jagung milik VOC. Ketika jarakku hanya beberapa meter darinya, seseorang menyergapku. Aku tidak dapat melihat wajahnya, tetapi sebilah pisau diletakan tepat beberapa senti di depan kerongkonganku. Menungguku melakukan kecerobohan. Aku mengurungkan niat untuk mengambil mandau di pinggangku. Dari aroma hingga posturnya yang jangkung, aku menduga ia merupakan serdadu VOC. Mereka semua memiliki karakteristik yang sama: rambut dan kulit yang putih, aroma tembakau dan minuman keras yang menyengat, dan logat aneh yang mereka lemparkan.
“Jenderal, ada seorang inlander (pribumi) di sini,” ucap serdadu jangkung itu.
Sesaat kemudian, serdadu lain yang lebih berumur menampakkan diri di hadapan kami. Medali yang tertaut pada saku bajunya menegaskan jabatannya. Kemungkinan Sang Jenderal yang dimaksud. Perutnya besar bak labu kuning. Napasnya berat menandakan akan segera pensiun. Janggutnya yang putih menutupi beberapa kancing bajunya. Tak lupa, pistol Flintlock tertaut di kedua sisi pinggangnya. Untunglah, ia sepertinya tidak menyadari tubuh Sanja terbaring di belakangnya.
“Lihatlah, siapa ini.” Jenderal itu mendekatiku.
“Apa yang kau lakukan sendirian di sini, inlander? Bukankah ada lahan yang harus kau tanami?” logatnya membingungkanku.
Cultuurstelsel (tanam paksa) baru diterapkan kala itu. Aku dan seluruh penduduk kampung, di bawah naungan Panglima, memilih untuk hidup nomaden supaya terhindar dari pihak kompeni. Dengan sigap, aku menginjak kaki serdadu yang menyanderaku. Kepalan Sang Jenderal langsung mendarat di wajahku. Usahaku gagal. Sang Jenderal tampak murka. Dengan kaki yang kesakitan, serdadu yang lebih muda kembali memegangiku.
“Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Orang asing sepertimu tidak mungkin hidup dan berkeliaran sendiri. Sekarang, beritahu aku, inlander. DI MANA PERKEMAHAN KALIAN?” Napas Jenderal terpancar aroma alkohol.
Aku tidak bergeming. Fokusku adalah menolong Sanja sehingga kegelisahanku disadari Jenderal. Ia mengikuti arah mataku dan akhirnya menyadari Sanja yang tak sadarkan diri di belakangnya. Aku benci senyum sinis di wajah serdadu tua ini.
“Bagaimana jika aku bertanya pada anak itu.” Jenderal mendekati Sanja.
“SEDIKIT SAJA KAU MENYETUHNYA, AKU AKAN...” ancamku.
Jenderal berjongkok di sebelah Sanja. Tidak mengindahkan ancamanku. Ketika ia hendak membangunkan Sanja, serdadu muda yang menyanderaku tersungkur. Aku terkejut. Begitu pula Sang Jenderal. Wajahnya memerah. Ia menuduhku menumbangkan serdadunya dan bergegas menghampiriku. Aku melihat peluru Sumpit bersarang pada leher serdadu muda itu. Peluru Sumpit Panglima. Ketika aku mendongkak, ujung Flintlock Jenderal telah berada di depanku. Mataku terbelalak sebelum tertutup. Kedua lenganku gemetar melindungi kepalaku. Tembakan dilepaskan. Tak terjadi apapun. Mataku terbuka dan menyadari Panglima telah berdiri membelakangiku. Ia hanya berdiri, melipat kedua lengannya, dan menatap Jenderal.
“Kau. Legenda itu. Legenda itu benar adanya.” Jenderal tidak berkedip.
Keringat membanjiri kening Jenderal. Kakinya bergetar hebat. Napasnya terdengar berat. Detak jantungnya dapat terdengar hingga puluhan meter. Jenderal jatuh pingsan. Panglima kemudian mengikat mereka.
“Kenapa lama sekali?” Aku memegangi leherku yang hampir tersayat.
“Aku harus melawan serdadu di tempat lain,” Panglima mengikat serdadu itu pada pohon besar.
Aku bergegas membangunkan Sanja. Tubuhnya terasa panas. Napasnya sangat lambat. Bibirnya seputih kapas. Aku melihat tangannya terkepal memegangi sesuatu. Ketika aku membukanya, aku menemukan buah tarap. Buah langka yang aku dan Panglima sadari sangat berbahaya. Aku memeriksa mulut Sanja, berharap kekhawatiran kami salah. Sayangnya, dugaan kami benar.
Bersambung…
Cerpen ditulis oleh F. Sandro Asshary, Alumni Prodi Sastra Inggris, FIB 2018