Panglima: Legenda Talawang
Legenda masyarakat Dayak
- 30 Jul 2022
- Komentar
- 1491 Kali
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
(Disarankan untuk membaca cerpen sebelum ini, karena saling berkaitan. Baca: Panglima)
Berdasarkan adaptasi dari legenda masyarakat Dayak.
Pada suatu malam di daerah Gunung Punai, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Nampak perkemahan para pemburu liar. Sebagian dari mereka nampak terlelap, bermain judi, hingga menjadi santapan nyamuk sembari duduk mengelilingi api unggun. Senjata laras panjang tertaut pada bahu, dan parang pada pinggang mereka. Tepat pada ujung perkemahan terlihat beberapa hewan tawanan seperti Burung Enggang, Macan Dahan, dan Bekantan yang dikurung karena memiliki nilau jual tinggi di Pasar Gelap.
Salah seorang pemburu yang bertugas menjaga malam itu mendapati bunyi pada semak di depannya.
“Huss, pergilah,” dugaannya itu musang.
Tapi itu bukanlah musang atau hewan liar. Ia pikir mungkin ini waktu yang tepat untuk memanggil teman-teman pemburu yang lain jika saja ia tidak takut dimarahi lagi karena telah membiarkan Beruang Madu kabur minggu lalu. Ia berjalan mendekati semak itu dengan ditemani dengusan hewan-hewan buruan disekitarnya. Selangkah demi selangkah, dengan senapan mengarah ke depan, menyisakan jarak satu meter dengan semak tersebut.
Ia menyibak semak tersebut dan nampaklah seekor kelinci dengan wajah kebingungan yang menatap ke arahnya. Ia menghela nafas lega. Kendati, ia kembali khawatir karena mendengar langkah kaki di belakanganya. Ia menoleh perlahan. Nampaklah seorang pria bermata hitam dengan paruh Burung Enggang pada kening-nya, dan belasan Mandau melayang pada sekeliling tubuhnya. Kalah cepat, sosok tersebut berhasil merebut senapan pemburu itu sebelum sempat mengeluarkan suara. Kebingungan dan ketakutan tergambar pada wajah pemburu itu. Ia termundur beberapa langkah.
“Aku dulu memiliki sahabat seperti dia,” sosok menakutkan tersebut menatap ke arah Burung Enggang yang ditawan dan siap dijual.
“-tapi ia mati karena orang-orang seperti kalian.” tambahnya.
Ketakutan semakin terpancar pada wajah si pemburu. Sesaat ia ingin berteriak, suaranya mendadak hilang. Ia jatuh berlutut sembari memegang lehernya yang mengeluarkan darah. Ia tidak menyadari Mandau yang melesat melalui lehernya beberapa detik lalu mengakibatkannya tersungkur.
Sosok tersebut membebaskan hewan-hewan tawanan dan mengepung para pemburu. Situasi berbalik, para pemburulah yang kali ini menjadi buruan. Dengan aba-abanya, sosok tersebut bersanding dengan para hewan dan membabi buta para pemburu. Pertumpahan darah tidak terelakkan, bagi para pemburu tentunya. Macan Dahan yang menyerang dari atas pohon, Burung Enggang mematuki mata para pemburu dengan serunya. Erangan para bekantan yang merebut senapan para pemburu. Teriakan yang memekakkan di tengah dinginnya malam merupakan hiburan tersendiri bagi sosok mengerikan tersebut. Kekalahan bagi para pemburu telah di depan mata.
Salah seorang pemburu yang terbakar oleh api unggun berlarian ke sana ke mari. Hal ini mengingatkan sosok menakutkan tadi akan kejadian yang menimpa keluarganya. Pembantaian keluarganya terus menghantui sosok tersebut bahkan setelah 10 tahun lamanya. Setelah memastikan kemenangan mereka, sosok itupun pulang dan para hewan tawanan kembali ke habitatnya.
Seorang pria terbangun dari tidurnya. Ia mendapati istrinya sedang menenun Ulap Doyo di belakang rumah. Lantas, pria itu memutuskan untuk mengacuhkan mimpi buruk yang terus menerornya sepanjang malam dan pergi memotong kayu di halaman rumahnya. Rumah itu indah, terbuat dari kayu ulin dengan ukiran pada keempat pilarnya dan ditemani dua buah patung, beserta paruh Burung Enggang di atas pintu untuk mengenang sahabat lamanya. Tiba-tiba, ia didatangi oleh seorang perempuan yang tidak dikenalinya.
“Saya kesini mencari Pune,” sembari memperlihatkan kartu Pers yang melingkar di lehernya.
Pria itu menaruh kapaknya dan menghela nafas, “Kita bicara di dalam saja”
Setelah mereka berdua duduk, perempuan itu memperlihatkan sepotong berita koran lokal,
‘TANGKAPAN IKAN TIDAK MEMUASKAN, WARGA KAMPUNG KEAY DIBANTU ‘PRIA BERCAHAYA.’ Pune memalingkan wajahnya menolak fakta di hadapannya.
“Itu anda, bukan?” perempuan itu berusaha memastikan sesuatu yang sudah diketahuinya.
“Kita hidup pada masa dimana sulit untuk membedakan keaslian sebuah berita.” Pune menuang segelas teh untuk perempuan itu.
“Bagaimana dengan ini, ‘MERUGIKAN WARGA, PEMILIK PERUSAHAAN SAWIT DITEROR PRIA BER-MANDAU TERBANG’” perempuan itu memberikan berita lain.
“atau ini, ‘MACAN DAHAN SEMAKIN DIBURU, MASYARAKAT: AKAN SAMPAI KE TELINGA PANGLIMA’” Pune tidak nyaman dengan ‘serangan’ dari perempuan itu.
“Itu bukan aku.” bohong Pune.
“Saya masih punya bukti lain, jika anda tidak keberatan.”
Berita terakhir dan yang paling ditakutkan Pune, ‘MEMPERINGATI 10 TAHUN PEMBATAIAN PARA PENEBANG HUTAN, POLISI: KAMI MASIH MENGUMPULKAN BUKTI’ perempuan itu memberikan berita terakhir.
Pune bangkit dari kursinya dan membelakangi perempuan itu, “Aku sudah berubah, itu bukan aku,” mimpi buruk kembali menghantui pandangannya.
“Memotong kayu sepanjang hari bukanlah kedok yang meyakinkan, Pak Pune,” Perempuan itu memandang ke halaman rumah.
“Apa yang anda inginkan?” tanya Pune.
“Apa ia tahu?” Perempuan itu memandang foto istri sang tuan rumah.
“Tidak, dan akan tetap seperti itu!” Kedua mata Pune berubah menghitam yang menegaskan identitas sosok menakutkan di dalamnya.
Perempuan itu berusaha menutupi rasa takutnya.
Pune menyadarinya dan menghela nafas. Matanya kembali normal. “Apa yang anda inginkan?” Pune berusaha bersabar.
“Anda pernah mendengar tentang PT. Bura Husada?” mengeluarkan bukti lain ke hadapan Pune.
“Perusahaan sawit dan batu bara terbesar di Kalimantan. Mereka yang memonopoli pertambangan selama beberapa tahun terakhir, bukan?” tanya Pune.
“Benar. Sayangnya, aktivitas mereka yang begitu masif dianggap merugikan masyarakat. Jalan umum yang rusak akibat dilalui alat berat, lahan warga terendam banjir, hingga nyawa yang melayang karena bekas galian tambang yang mereka tinggalkan. Banyak aktivis yang memprotes kegiatan mereka kemudian menghilang secara misterius.”
“Bukankah, anda seorang jurnalis, kenapa tidak anda yang membongkar keburukan mereka?” tanya Pune.
Keputusasaan tampak pada wajah perempuan itu. “Karena mereka turut menguasai media. Tidak kah anda melihat bagaimana media menggambarkan perusahaan ini? Lagipula, menurut anda apa yang bakal terjadi jika saya sendiri melawan perusahaan sebesar itu?” jelasnya.
Pune terdiam sejenak. “Kita mulai dari mana?” Ia menyetujui.
Perempuan itu menunjukkan foto yang tampak asing bagi Pune. “Sang pemilik perusahaan, Ferdinan Edwin Bura. Jatuhkan pemiliknya, jatuhkan perusahaannya.”
“Baiklah, nona Feronika. Ini seharusnya tidak akan lama,” mata Pune kembali menjadi hitam menyala.
“Bagaimana anda bisa tahu? Saya bahkan belum memberitahu nama saya.” jawab perempuan itu.
“Menjadi seorang Panglima memberikan saya berbagai macam ‘bakat,’” tutupnya.
Pria flamboyan sedang menerima telepon dari belakang meja kerja mewahnya yang berwana putih. Terdapat televisi raksasa yang menyiarkan berita lokal terletak di belakangnya. Ia mengenakan dasi hitam, rompi, dan kain ulap doyo pada pinggangnya untuk mengindikasi ‘keberpihakannya’ kepada masyarakat lokal. Pria yang sedang menerima telepon itu kemudian didatangi oleh pengawalnya.
“Maaf, Tuan Ferdinan…” pengawal itu mengganggunya.
Ferdinan mengangkat jari telunjuknya. Pengawal itu terdiam.
“Tentu saja, pak. Kami punya Macan Dahan yang baru berusia dua bulan hingga yang sudah dewasa. Anda tidak perlu khawatir perihal transportasi dan pihak berwajib, atau mungkin bapak juga tertarik dengan Burung Enggang? Bisa turut kami siapkan,” keramahan Ferdinan terdengar palsu.
Proses jual beli berakhir memuaskan. Ia menutup teleponnya.
“Apa?” Ferdinan melihat ke arah pengawalnya.
“Nona Feronika kembali membuat pergerakkan, Tuan,” petugas itu menunduk dan menghindari kontak mata dengan bosnya. Ia menampilkan rekaman antara Feronika dan Pune.
“Bersekutu dengan kriminal adalah pilihan yang buruk, Feronika.” Ferdinan menonton rekaman itu dengan seksama.
“Maaf Tuan, tapi kenapa tidak kita laporkan saja kepada pihak berwajib? Bukankah kita memiliki banyak bukti terkait perbuatan pria itu?” Pengawal menunjuk Pune dalam rekaman tersebut.
“Penjara terlalu ramah untuknya. Dia harus menderita,” Ferdinan memandang Perisai Talawang yang tergantung di ruang kerjanya.
Bersambung
Ditulis oleh F. Sandro Asshary, mahasiswa Sastra Inggris FIB 2018