Cerpen

Negeri Dongeng Impian Alana

Ilustrasi negeri yang diimpikan Alana.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber gambar: Wikipedia.com

Alana, seorang gadis kecil yang mungil. Ia lahir di pedalaman Kalimantan lima tahun yang lalu. Ayahnya seorang pekebun dan pencari rotan. Mereka hidup dari hutan Kalimantan yang kaya. Hasil hutan itu mampu menghidupi satu keluarga dan membeli buku dongeng untuk Alana.  Hidup di tengah paru-paru dunia membuat Alana tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Kulitnya bersih, tidak berkawan dengan debu dan asap kendaraan seperti yang kebanyakan dialami oleh anak-anak yang hidup di kota. Setiap hari ibu memandikannya di danau yang airnya mengalir jernih. Di danau itu, warga pedalaman Kalimantan juga hidup sebagai nelayan. Setiap hari mereka pergi merengge atau memasang jala ikan untuk kemudian hasil tangkapannya itu dijual ke tengkulak.

Setiap malam sebelum tidur, ibu selalu menceritakan satu dongeng untuk Alana. Alana senang sekali mendengarkan cerita putri dari negeri dongeng. Ia selalu membayangkan dirinya kelak akan menjelma menjadi putri cantik itu. Dijemput pangeran berkuda putih, duduk berdua di bawah pohon rindang di tepi danau atau bermain di taman bunga sambil mengejar kupu-kupu. Setiap mendengarkan cerita, Alana selalu bilang, “Ibu, Alana ingin jadi putri.” Dan ia selalu terlelap sebelum sempat mendengar jawaban ibunya. Malam itu hujan turun menambah sejuk udara pedalaman itu. Mengantar siapapun ke dalam tidur yang lelap.

Malam berlalu, kicau burung menjadi alarm yang membangunkan Alana dari tidur panjangnya. Alana keluar dari bilik mencari ibunya. Ia menemukan ibunya sedang duduk bersama ayah menyeduh kopi di beranda rumah. Alana menghampiri mereka. Alana merentangkan tangan, menghirup udara dalam-dalam sambil memejamkan mata. Hujan semalam meninggalkan basah pada daun-daun di sepanjang jalan, membuat udara pagi menjadi lembab menyejukkan. Alana menari-nari riang sambil bernyanyi. Ayah dan ibunya tertawa kecil melihatnya. Dalam hati mereka berdoa, semoga kelak gadis kecil mereka tumbuh dengan baik. Sehat dan berbahagia.

Matahari mulai tampak, menembus celah dedaunan dan berhasil  menyentuh wajah mungil Alana. Beberapa menit setelah kopi di cangkirnya tanggal, ayah pamit berangkat ke hutan. Hari itu tujuan ayah tidak jauh, hanya beberapa puluh meter dari belakang rumah. Beberapa hari terakhir di hutan desa sebelah memang terjadi penebangan pohon secara besar-besaran. Jadi ayah tidak bisa lagi mencari rotan di tanah paman Rudi karena katanya pohon-pohon milik paman juga ikut dibabat. Hingga rotan-rotan di sana pun akan disingkirkan. Sepertinya paman telah menjual tanahnya. Menurut pengakuan warga yang ikut menyaksikan, lahan itu nanti akan dijadikan perusahaan kelapa sawit. Banyak warga yang senang mendengar kabar tersebut sebab jika perusahaan kelapa sawit didirikan, lowongan kerja akan segera dibuka dan mereka bisa mendapatkan pekerjaan baru serta  mendapat upah yang banyak.

Beberapa bulan kemudian, dengan cepat profesi petani sawit mewabah di desa itu. Semua orang ramai-ramai menebang pohon dan mengubah tanahnya menjadi lahan kelapa sawit. Hanya tersisa beberapa orang saja yang masih menekuni pekerjaan berkebun dan mencari rotan. Termasuk ayah Alana. Semakin hari, udara di desa makin berubah. Orang-orang mulai mengeluh kepanasan saat siang hari. Tidak lagi adem seperti dulu.  Satwa liar pun kehilangan tempat tinggalnya sehingga orangutan mulai sering masuk ke pemukiman warga dan merusak tanaman di kebun. Tidak hanya itu, jarak tanam kebun dan letak perusahaan kelapa sawit yang tidak jauh dari danau juga memberi efek yang buruk pada habitat ikan yang ada di danau tersebut. Seperti pencemaran limbah pabrik dan pestisida. Hal ini juga menyebabkan danau tidak lagi jernih dan sehat seperti dulu. Orang-orang jadi enggan mandi di sana karena takut kulitnya nanti gatal-gatal.

Sekitar pukul dua siang, ayah Alana pulang ke rumah dengan wajah lesu. Ia membawa kembali rotan-rotannya yang tadinya ingin dijual.

“Yah, kenapa rotannya dibawa pulang kembali?” tanya ibu Alana.

“Ayah ndak jadi mau jual, bu. Harga rotan di pasar sekarang lagi anjlok-anjloknya.”

Oalah, jadi gimana yah?”

“Sabar ya bu. Semoga harganya segera membaik.”

Satu minggu berlalu, harga rotan tidak kunjung membaik. Hasil kebun pun tak seberapa. Sementara kebutuhan hidup terus mendesak. Ayah Alana terus mencari cara bagaimana agar rotan-rotannya bisa terjual dengan harga yang setidaknya tidak terlalu rendah. Tetapi nahas, ia tidak menemukan cara apapun. Ikan-ikan di danau pun sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menyambung hidup. Jalan satu-satunya yang bisa ia ambil adalah melamar menjadi karyawan di perusahaan sawit. Ia mendapat posisi rendah dengan gaji tak seberapa.

Agustus tiba. Bulan yang telah jauh-jauh diprediksi sebagai puncak musim panas. Benar, sepanjang Agustus tidak sekali pun hujan turun menyapa dedaunan. Bahkan sampai pertengahan September, kemarau masih tetap bertahan. Orang-orang mulai mengeluh kekeringan. Panas dan kekurangan air bersih. Hingga pada suatu malam, petaka kemarau akhirnya tiba. Hutan gambut terbakar. Warga kelimpungan mencari air dan berusaha memadamkan api. Tetapi, kekeringan membuat api menjalar begitu cepat, hingga warga kehabisan cara untuk memadamkannya. Mereka akhirnya memilih pulang dan menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Mereka semua meninggalkan rumahnya dengan doa, semoga segalanya baik-baik saja.

Alana yang masih tertidur pulas pelan-pelan digendong oleh ayahnya dan dibawa keluar dari rumah. Sementara ibunya menenteng barang-barang berharga yang bisa ia bawa. Mereka terus berjalan menjauh dari hutan. Hingga akhirnya mereka tiba di perbatasan yang memisahkan jalanan kota menuju pedalaman. Sudah cukup jauh dari tempat kebakaran. Setidaknya mereka bisa berlindung di sana sampai bala bantuan datang memadamkan api. Namun, sampai berhari-hari mereka di tempat pengungsian, tidak ada satu pun tanda-tanda serius bahwa kebakaran akan segera ditangani. Sementara api terus menjalar dan asap mengepul ke mana-mana. Semua orang mulai merasa sesak akibat kabut asap yang makin menjadi. Seorang warga berangkat ke kota meminta bala bantuan. Tetapi Bapak pemerintah katanya sedang liburan jadi belum bisa diganggu. Akhirnya ia pulang dengan perasaan kecewa.

Alana, gadis kecil yang mungil. Setiap saat ia mengeluhkan asap yang sudah sejak kemarin menggerogoti paru-parunya. Dadanya sesak. Ibu dan ayahnya terus menempelkan kain basah ke wajahnya untuk menghalau asap. Tetapi setelah berhari-hari, cara itu mulai tidak berguna. Alana mulai lemah dan sulit berbicara. 

“Ibu,  ayo kita pindah ke negeri dongeng”, ucapnya dengan napas tersengal. 

Ibunya mengangguk sambil berupaya menyembunyikan air matanya

Ibu, Alana ingin jadi putri,” ucapnya lagi. 

“Iya nak. Alana cepat besar ya nak,” jawab ibunya. Tetapi Alana telah kembali terlebih dahulu terlelap sebelum sempat mendengar jawaban ibunya. Ia terlelap lama sekali. Ibu dan ayah mendekapnya. Menyadari bahwa anaknya telah tiada membuat mereka menangis sejadi-jadinya.

Ditulis oleh Hijrana,  mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, 2018.




Kolom Komentar

Share this article