Cerpen

Lepas Landas

Cerita tentang menikmati tempo kehidupan

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Aku beranjak dari kursi putar empuk yang selama beberapa jam ini kududuki, bertaruh bahwa bantalan duduk itu kian panas sebab suhu bokongku. Berjalan menuju pintu utama dengan gawai yang terus berdering di tangan. Jangan salahkan aku yang tidak suka komunikasi via suara. Rasa-rasanya itu cukup membuat diriku yang pemalu ini kesulitan.

“Pesanan atas nama Mbak Arum?”

Aku hanya melempar senyum sambil mengulurkan tangan mengambil pesananku pada ojek itu lalu menukarnya dengan beberapa lembar uang. Berkata “Ambil aja kembaliannya, Pak” dan segera aku membalikkan badan masuk ke dalam indekos. Canggung rasanya menunggu tanpa suara sembari melihat si ojek yang terus merogoh-rogoh isi tas pinggangnya guna mencari uang kembalian. 

Kupinggirkan pekerjaanku sejenak, mengambil minum dan kubuka kotak makanan cepat saji yang kemasannya kian melemas akibat basah dari uap makanan yang terlalu panas di dalamnya. Tampilannya tidak pernah berubah sama sekali. Masih sama seperti saat pertama kali aku memakannya di bangku sekolah dasar hingga aku berumur kepala dua. Suapan pertama kunikmati dengan khidmat dan kusesap asinnya makanan itu dengan mata terpejam. Perutku yang terasa panas sejak beberapa jam yang lalu agaknya mulai mendingin semenjak nasi itu turun ke lambung.

Terbuka pejamku dan kulihat pesawat itu mulai turun sedikit demi sedikit ke arah runway. Roda-roda kecil mulai dikeluarkan dari bagian bawah badan pesawat, lepas landas dengan selamat. Suara rengekan anak yang berkisar umur tujuh sampai delapan tahun mengambil perhatianku. Jemari kecilnya yang pendek dan gendut-gendut itu menunjuk-nunjuk chicken strip yang sedang kunikmati dengan terus berteriak. Mau! Mau!.

Sedangkan ibunya tidak ambil pusing dan terus berjalan terbirit-birit menuju gate pesawat paling akhir. Buru-buru ku telan makananku saat kulihat ibu menyuruh kami untuk segera bergegas, mengangkut kardus-kardus mi yang kami jadikan sebagai tempat baju dengan tas jinjing bermotif kotak-kotak warna coklat.

Di tempat ini ramai sekali. Orang-orang berjalan dengan cepat. Tidak luput pula kuperhatikan setiap orang yang mengucap kata maaf karena tidak sengaja menyenggol tubuh orang lain. Suara roda koper yang ditarik pemiliknya menggema di ruangan luas ini, digeret kesana-kemari dengan gesture tidak sabaran.

Kenapa semua orang di sini terlihat buru-buru sekali? Aku bahkan juga mempertanyakan mengapa kami sekeluarga selalu sampai tempat ini lima jam sebelum keberangkatan. Sehingga, saat kami sampai dan tempat ini belum buka, kami sekeluarga akan tidur di emperan bersama orang-orang lain yang melakukan hal serupa. Semua orang di sini terbirit-birit, termasuk keluargaku. Aku ikut terbirit-birit karena Ibu menggandeng tanganku dan berjalan cepat sekali sampai kaki-kaki kecilku tidak mampu mengimbangi langkahnya. Bergulirnya waktu membawa kita masuk ke dalam kabin pesawat dan menunggu saatnya lepas landas. 

Kursi putar empuk kutarik. Kembali kulanjutkan pekerjaan yang sudah aku tunda selama beberapa hari kebelakang karena rasa lelah yang menghampiri. Namun, suara ketukan pintu menginterupsi disertai panggilan keras yang berulang.

“Rum! Rum!” panggil seseorang di balik pintu. Kubuka sekat itu untuk menampilkan wajah temanku beserta pakaian compang-camping lengkap dengan keringat yang mengucur di dahi lebarnya itu.

“Ini ya buku yang kamu mau, maaf lama. Aku sekalian titip tas di sini, nanti aku ambil lagi. Duluan ya! Udah ditungguin sama rekan untuk diskusi!” Sosok itu menghilang bahkan sebelum aku membuka mulut. Ia temanku dari indekos sebelah, namun suka sekali menumpang kemari. Ia bilang indekos yang ia tempati itu semakin ke sini semakin bermasalah saja. Kalau kata dia, itu indekos red flag

Ibu kosnya gemar meminjam uang, air yang selalu mati, sampai penghuni yang rusuhnya seperti berada di kendang kera, katanya. Kesehariannya diisi dengan agenda yang super padat, beraktivitas dari pagi hari sampai malam hari. Kadang pula diselipi agenda pergi ke rumah sakit bersamaku akibat dia yang jarang memasukkan makanan ke perutnya. “Aku tuh enggak sempet makan, Rum!” alibinya.

Kembali aku daratkan bokongku ke depan pekerjaan yang belum selesai aku garap. Baru tertulis dua sampai tiga kalimat, namun sudah cukup membuat diriku termenung. Kuputar kembali ingatan masa kecilku mengenai dunia orang dewasa yang serba terburu-buru. Namun, aku pun masih membingungkan keterburu-buruan itu meski aku telah memasuki kepala dua yang kata orang-orang merupakan gerbang awal menuju kedewasaan. 

Di usia yang kepala dua ini aku sedikit berbeda dengan orang-orang itu. Aku tidak terburu-buru. Pertanda bagus, kah? Atau sebaliknya? Yang pasti selama kehidupan yang aku jalani, aku tidak pernah berlari tercepot-cepot seperti orang-orang pada umumnya. Aku cukup menikmati tempo hidupku yang sekarang. Bukankah akan lebih baik jika kita berjalan dengan perlahan sembari melihat-lihat hal di sekitar kita yang terkadang luput dari pandangan orang-orang yang serba terburu-buru itu?

Teman jidat lebar dengan baju compang-camping yang beberapa waktu lalu menggedor pintu indekosku melabeli diriku sebagai siput. Karena, hidupku yang tidak memiliki perubahan secara signifikan akibat dari kelambatanku memacu kehidupan. Ia bilang aku masih segini-gini saja. Irit bicara, pemalu, lambat mengerjakan sesuatu, hanya mendekam dalam kamar dan sedikit narsis.

Berbanding terbalik dengan dirinya yang memiliki agenda a sampai z walau berakhir opname di rumah sakit beberapa malam. Apakah hal-hal seperti itu dianggap sebagai perjuangan? Atau penyiksaan diri? Apakah itu artinya aku tidak berjuang selama ini? namun jika masalah menyiksa diri, aku nomor satu. Gemar sekali aku menyiksa kepala melalui pikiran-pikiran dengan angan hampa yang terus menghitam pekat. 

Berbicara mengenai pikiran, aku selalu menebak bagaimana cara berpikir orang-orang yang serba laju tersebut dalam melihat dunia. Kata mereka dunia semakin tua. Kata mereka dunia cepat sekali berputar. Barangkali dunia cepat berputar adalah faktor dari penghuninya yang serba cepat pula? Apakah itu artinya jika kita hidup dengan tidak terburu-buru akan memanjangkan usia dunia beserta bumi? 

Tidak ada yang tahu. Yang kutahu hanyalah ternyata kecepatanku dalam memacu kehidupan merupakan sebuah pelengkap dari mereka yang serba cepat. Tanpa adanya orang-orang sepertiku, mereka tidak akan mungkin bisa mengetahui cepat lambatnya seseorang dalam memacu hidup. 

Dari duduk di bangku sekolah dasar sampai kepala dua ini, kegiatan favoritku jika sedang bepergian menggunakan transportasi udara adalah saat menunggu di ruang tunggu bandara, untuk melihat pesawat yang lalu lalang. Rasa-rasanya hidup ini seperti burung besi di bandara yang memiliki pace runway tersendiri.

Saat ingin take off mereka akan bergerak perlahan untuk ancang-ancang melaju terbang ke udara. Sebaliknya jika ingin landing mereka akan bergerak cepat kemudian turun ke bawah dengan perlahan. Bukankah kehidupan seperti itu? ada masa di mana kita melaju dan melambat, pada akhirnya semua itu bukan tergantung pada temponya, melainkan pada waktunya.

Dan pada akhirnya semua itu hanyalah angan hampa menghitam pekat dalam kepala yang menenangkan diriku yang terbelakang ini.

Cerpen ini ditulis oleh Andini Oktaviandari, mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia FIB Unmul 2022



Kolom Komentar

Share this article