Cerpen

Ephemeral

Di bawah kehangatan langit jingga

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pexels

Langit telah berwarna jingga. Jalur pejalan kaki di taman sudah tidak terlihat satu pun insan yang berjalan selain dirinya. Sore akan berganti malam, tapi Angkasa tak kunjung membawa dirinya pulang. Pandangannya tertuju pada tanah, sementara dirinya berjalan hingga menuju satu bangku yang spesifik. Menghadap ke jajaran pepohonan cemara lilin yang rindang dengan satu lampu jalan yang menerangi di sisi kiri.

Kakinya terhenti ketika merasakan seseorang yang tengah mengamatinya. Saat netra hitamnya menatap ke depan, ditemuinya sosok perempuan bergaun putih yang duduk di bangku tujuannya dengan sebuah buku di pangkuannya, sepasang mata yang teduh itu mengamatinya sejak tadi. Bibir merah muda itu membentuk senyum ramah pada Angkasa.

Tak ada balasan senyuman, Angkasa langsung duduk tepat di samping si perempuan. Punggungnya disandarkan pada bangku taman, kemudian ia menghela napas berat. “Lama menunggu, Maya?”

Perempuan yang dipanggil Maya itu menggelengkan kepala dengan pelan, “Tidak juga.” 

Maya menutup buku bersampul merah di pangkuannya, kemudian seluruh perhatiannya diarahkan ke Angkasa.

“Jadi, bagaimana harimu?”

Maya, perempuan sebaya yang menjadi tempat Angkasa mencurahkan segala keluh kesahnya. Hanya setengah bulan pertemuan mereka, tapi keduanya seperti sahabat lama. 

“Dokter bilang, selama tidak stres berlebihan, penyakitku tidak akan kambuh terlalu sering. Kalau merasa berat, aku mengambil absen dan tinggal di rumah saja, karena itu kesehatanku mulai membaik. Tapi, tetap saja, dokter terus memaksaku untuk meminum obat.” Suaranya melemah ketika menyebut kata obat. Angkasa merasa sentimen dengan hal apapun yang berkaitan dengan rumah sakit sejak diagnosis pertamanya.

Emosi negatif perlahan menguasai pikirannya. Tak pernah ia berharap untuk menghilang seberat ini selama hidupnya. Semuanya karena sebuah diagnosis dari rumah sakit yang sampai di mejanya tiga minggu yang lalu. Angkasa sakit, dan sakitnya bukan main-main. Selamanya akan menghantui hidupnya yang sudah tak baik sejak kehilangan ibunya tiga tahun silam.

“Tapi kau harus meminum obat untuk sembuh, bukan?”

Angkasa menggeleng, “Pada akhirnya aku tetap menderita dengan penyakit ini. Minum obat atau tidak, semuanya sama saja.”

“Meskipun begitu, kau tetap perlu meminumnya. Meskipun peluang sembuhnya kecil, kau harus bertahan hidup. Kau tidak mungkin terus-terusan menyiksa diri seperti itu, Angkasa.”

“Kau mulai bicara seperti dokter, Maya.”

“Padahal, kau mengerti semuanya dari lubuk hati terdalam.”

Pemuda itu terdiam. Ia benci mengakuinya, tetapi Maya benar. Angkasa tidak bisa terus menerus menahan rasa sakitnya sendiri. Obat yang diberikan untuk menekan penyakitnya ada agar Angkasa dapat menjalani hari-harinya tanpa gangguan. 

Hanya saja, Angkasa takut. Serangan menyakitkan yang datang setelah efek obat yang memudar membuatnya cemas luar biasa. Ia tidak ingin merasakannya, hingga akhirnya menolak obat yang diberikan demi kesehatannya. 

“Meskipun pertemuan kita baru dua minggu, tapi aku sangat mengerti dirimu. Kau benci penyakitmu dan berkeinginan untuk sembuh, tetapi kau lebih membenci efek yang datang saat obat itu pudar, karenanya kau tidak meminum obat-obatan itu. Di saat yang bersamaan, kau pun tersiksa dengan penyakitmu ketika tidak menggunakan obat,” ucap Maya seakan mengintip isi hati Angkasa.

Lagi-lagi, perempuan itu benar. Angkasa lelah dengan semua rasa pedih yang diciptakan oleh penyakitnya, tapi ia takut dengan apa yang terjadi setelah meminum obat. Angkasa tertekan dengan segala perasaan yang berbentrokan satu sama lain. Otaknya diributkan dengan dua pemikiran berbeda. Semakin hari, wajahnya tak ada bedanya dengan ikan mati. 

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba untuk menenangkan diri dengan mengatur napas. Angkasa dapat merasakan sentuhan tangan Maya di atas bahunya, seperti memberikan ketenangan melalui perantara dari tangannya. Dua pasang mata akhirnya bertemu. 

“Karena aku paling paham dengan semua ceritamu, aku juga paling tahu kau butuh obat agar bisa sembuh. Meskipun sifatnya sementara, tapi, lebih baik daripada tidak sama sekali.” Maya kemudian mengucap dengan suara halus yang sekilas mengingatkannya pada sang ibu ketika menasihatinya waktu kecil. Kerinduan sekilas mengisi hatinya.

"Lebih baik daripada tidak sama sekali, ya…"

Tangannya meraba kantong celana yang sedikit timbul, alasan utama kenapa Angkasa menemui Maya ada di sana.

Keraguannya membuncah. Semakin lama dipikir, semakin tidak yakin dirinya. Mata tertutup rapat ketika pikiran-pikiran yang berkontradiksi kembali ribut dalam kepalanya. 

Namanya kemudian dipanggil Maya. Sentuhan di atas pundaknya berusaha menguatkan Angkasa. Pemuda itu menelan ludah, bagaimana pun ia tidak bisa merepotkan Maya yang sudah mendukungnya selama ini.  Angkasa mau tidak mau, suka tidak suka, harus menghadapi ketakutannya.

Ia kemudian menggali isi kantongnya, beberapa bungkus obat pil dan tablet yang menjadi dosisnya hari ini. Kecemasannya meningkat ketika melihat rupa obat yang akan mengurangi gejala penyakitnya. 

"Aku… sudah berjanji kemarin untuk meminumnya, tapi…", batin Angkasa. Ia kemudian menatap mata Maya, mengais keyakinan untuk menegak obat-obatan itu.

Maya yang menyadarinya lantas merangkul tubuh kaku Angkasa, “Tidak perlu takut, Angkasa. Kau sudah memantapkan hatimu untuk hal ini, bukan?”

“Sejujurnya, ada hal yang lebih kutakutkan dibanding meminum benda ini.”

“Apa itu, Angkasa?”

“Kau.”

Netra birunya membulat terperangah. Angkasa melirik ke arah lain, tidak ingin bertemu dengan ekspresi Maya yang kebingungan.

“Setelah aku meminum obat, mungkin penyakitku tidak akan kambuh untuk sementara, tapi kau…”

Butuh tiga detik untuk Maya memahami semuanya, sampai akhinya perempuan itu tertawa kecil. Rangkulannya kepada Angkasa makin erat, “Angkasa, kau tidak perlu cemaskan aku. Sebelum kau katakan tapi, obat-obatan itu tidak akan membuatku lenyap begitu saja. Aku memang akan pergi, tapi tidak pernah kukatakan akan meninggalkanmu selamanya.”

“Angkasa, aku menginginkanmu sembuh lebih dari siapa pun, bahkan lebih dari dirimu sendiri,” lanjut Maya. 

Kalimat Maya yang terakhir agaknya menusuk tepat di hati Angkasa. Sosok yang baru saja ditemuinya dua minggu terakhir ini lebih menginginkannya untuk sembuh yang bahkan dirinya sendiri mulai menyerah pada keadaan.

Sekali lagi, Angkasa saling bertukar pandang pada perempuan yang telah membagi kehangatannya. Netra kelamnya lalu beralih ke obat-obat golongan antipsikotik yang telah dipaksakan dokternya untuk dikonsumsi. Angkasa membuka kemasannya, jeda sesaat sebelum ia menelan obatnya.

Di tengah Angkasa menelan obat, Maya berbisik pada pemuda itu, “Sampai nanti, Angkasa. Kita akan bertemu lagi.”

Angkasa menutup matanya, kembali menyandarkan tubuhnya di bangku taman. Kepalanya mendongak ke langit. Saat ia merasakan zat-zat kimia itu mulai bereaksi di tubuhnya, Angkasa tak kuasa menahan air mata yang sudah tekumpul di ujung mata. Hatinya mendadak terasa kosong, kehilangan hangat yang disukainya.

Maya tak dapat ditemukan setelah itu. Meninggalkan Angkasa yang sejak tadi sendiri. Kembali terkunci dalam ruang imaji Angkasa, hadir ketika rasa sakit itu kembali mengetuk pintu kehidupannya.

Cerpen ditulis oleh Anisa Dwi Lestari, mahasiswi prodi Sastra Indonesia, FIB 2022.




Kolom Komentar

Share this article