Bagian Empat: Pembeliant
Ketegangan di hutan rimba
- 23 Nov 2023
- Komentar
- 801 Kali
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Aku mengajak Cornelius beristirahat, menyalakan api unggun, sembari membakar ikan hasil tangkapan Sanja. Cornelius terlihat memegangi kakinya yang kesakitan. Walaupun kami tidak begitu akrab, aku merasa kasihan padanya karena harus menemaniku dalam perjalanan ini. Mungkin inilah pilihan terbaik untuknya alih-alih dimakan peluru para serdadu VOC.
“Cornelius, apa kau melihat bukit itu?” Aku berusaha mencairkan suasana.
Cornelius mengambil kacamatanya, “Ya, bukit yang indah, Taman,” balasan seadanya.
“Di balik bukit itu terdapat hamparan ladang palawija yang dinaungi oleh VOC. Setelah semua ini selesai, aku berencana mengajak Panglima untuk merebut kembali ladang itu,” jelasku.
"Ide yang bagus, Taman,” jawab Cornelius tidak tertarik.
“Bagaimana denganmu? Apa kau punya rencana setelah semua ini selesai?” Aku berusaha akrab dengannya.
“Aku mungkin akan kembali bekerja untuk VOC,” Cornelius santai menjawab.
“Apa kau serius?!” Aku mencoba memastikan.
“Jangan salah paham, Taman. Begini, setelah hidup dengan kalian, aku merasa VOC perlu mengevaluasi kebijakannya. VOC harus membuat kebijakan yang adil bagi penduduk. Sayangnya, itu hanya bisa ditempuh jika aku merubahnya dari dalam,” jelas Cornelius.
Aku membisu mendengar penjelasannya. Di samping niat baiknya, pria yang sedang duduk di hadapanku ini berencana kembali ke VOC. KEMBALI MENJADI MUSUH KAMI.
“Setelah perlakuan mereka terhadapmu, kau ingin kembali bekerja pada mereka?” tanyaku.
“Sanja pernah mengajariku cara membersihkan gigi menggunakan sirih pinang. Sayangnya, butuh berhari-hari untukku dapat terbiasa. Lantas, aku belajar bahwa jika aku membiarkan satu kekurangan menghambatku dalam menggapai sesuatu, aku tidak akan menjadi seperti ini. Aku tidak akan duduk di sini bersamamu. Itulah yang sering kusebut memaafkan diri sendiri.” Cornelius menambah kayu bakar untuk api unggun kami.
Ia melanjutkan, “Terkadang memaafkan bukan berarti melupakan, melainkan membebaskan diri kita dari apapun yang telah kita pikul selama ini. Jika hal itu yang dibutuhkan untuk dapat mengubah VOC dari dalam, aku tidak keberatan. Lagi pula, lihatlah aku. Aku lebih banyak membantu dari balik meja, ketimbang berjalan,” Cornelius tertawa.
Aku belum pernah melihat sisi ini dari Cornelius sebelumnya. Ia kemudian berbaring dan terlelap. Kami bermalam di sana. Pada tengah hari, kami telah sampai di Sungai Mahakam. Kini hanya air sedalam lima belas meter yang membatasi kami dengan pusaka itu. Aku dan Cornelius memandangi sekeliling, mencari apapun yang dapat digunakan untuk mengarungi sungai.
“Tampaknya hanya ada satu cara.” Aku meletakkan mandau dan perlengkapanku. Hubunganku dengan Cornelius tidaklah intens seperti sebelumnya. Aku tidak lagi melihatnya sebagai penyebab kematian Nara. Alih-alih, aku mulai mengerti alasan Nara menyelamatkannya.
“Taman, kau sadar akan kedalaman sungai ini, bukan? Kau akan kelelahan bahkan sebelum menyentuh seperempat sungai ini.” Cornelius melihatku yang tidak bergeming.
“Cornelius, terdapat alasan khusus perihal kecakapanku dalam menangkap ikan.” Aku melompat
ke dalam sungai.
Kebiasaanku dalam mencari ikan menuntutku untuk terlatih dengan wilayah perairan apapun, termasuk sungai. Terlebih lagi, ini musim kemarau. Sungai Mahakam tidaklah sedalam yang diperkirakan Cornelius. Untunglah, mencari pusaka yang terkubur dalam perairan keruh seperti ini tidaklah sesulit yang kuduga. Pusaka itu tertancap di dasar sungai. Aku bergegas mengambilnya dan segera kembali ke permukaan.
Setibanya di permukaan, aku memberikan pusaka itu kepada Cornelius dan ia membantu menyeretku ke tepi sungai. Cornelius terjatuh karena berusaha membawaku. Kami terbaring di tepi sungai. Dadaku naik-turun dengan cepat, berusaha mengambil oksigen sebanyak mungkin. Mataku memerah akibat terlalu lama di dalam air. Tawa haru terlempar dariku dan Cornelius. Dengan pusaka ini, aku dapat menyembuhkan Sanja.
“Berikan pusaka itu padaku, Nak,” kata seseorang di belakang kami.
Suara yang terdengar familiar, namun tidak dapat kukenali. Aku segera bangkit dan menoleh ke balik bahuku. Sang Jenderal. Aku menduga anak buahnya pasti mendengar pembicaraan kami tentang pusaka ini. Rombongan serdadu berdatangan. Aku segera menggapai mandau yang tertaut di pinggangku yang kusadari telah kutanggalkan sebelum melompat ke sungai. Aku memandangi Cornelius yang memegangi pusaka itu. Ia sama terkejutnya denganku. Secara perlahan, aku berusaha menggapai peralatan dan mandau-ku.
“Janganlah mengambil keputusan bodoh, inlander.” Jenderal mengacungkan flintlock padaku.
Tangan kanan Jenderal, Bosch, menyipitkan matanya, “Hei, bukankah itu Cornelius? YA, ITU DIA. DIA ADALAH SI PINCANG YANG PERNAH MERACUNI KITA!” Provokasinya disambut meriah oleh para serdadu.
Mereka mengacungkan senjata ke arah Cornelius. Ia menunduk agar tidak dikenali. Pusaka masih berada dalam genggamannya.
“Nak, berikan tongkat itu. Kemudian, kita akan melupakan perbuatanmu di masa lalu.” Jenderal mengulurkan tangannya, berjalan mendekati Cornelius.
“Cornelius, jika pusaka itu sampai ke tangannya, tidak akan ada lagi aku. Tidak akan ada Panglima. Tidak akan ada lagi Sanja. Seluruh pulau ini akan lenyap,” jawabku dengan flintlock yang tepat di tepi keningku.
Cornelius mendekap pusaka itu. Sang Jenderal berusaha mendekatinya, “Cornelius, itu namamu, bukan? Begini, Cornelius. Jika kau berikan tongkat itu, aku akan mengangkatmu sebagai Wakil Jenderal. Bagaimana menurutmu, Nak?”
Bosch mengerutkan dahi mendengar tawaran Jenderal. Mengingat apa yang dicita-citakan Cornelius, aku menyadari tawaranku tidak sebanding dengan yang diberikan Jenderal.
“INGATLAH PERLAKUAN PARA SERDADU INI PADAMU, CORNELIUS! INGATLAH APA YANG TELAH MEREKA RENGGUT DARIKU DAN SANJA. INGATLAH APA YANG TELAH MEREKA PERBUAT PADA NARA, CORNELIUS!” jelasku.
“Cornelius, apa kau tahu jika ketersediaan prajurit kian merosot beberapa tahun terakhir? Hal itu dikarenakan saudara-saudara kita di Belanda sedang terkena wabah kolera, Nak. Sayangnya, ilmu pengetahuan kita yang sangat terbatas belum mampu menemukan solusinya. Cornelius, saudara-saudara kita di Belanda hanya dapat sembuh dan kembali ke pelukan keluarga mereka jika wabah ini lenyap, Nak. Tongkat itulah yang dapat menyelamatkan mereka,” jelas sang Jenderal.
Keraguan terpancar pada wajah Cornelius. “Cornelius, dengarkan aku. Aku minta maaf karena telah mengacuhkanmu selama ini. Aku minta maaf karena telah menyalahkanmu atas kepergian Nara. Aku mungkin tidak dapat menjanjikan kemewahan padamu, tetapi aku meyakini satu hal. PUSAKA ITU DAPAT MENYEMBUHKAN APAPUN. APAPUN.” Aku berharap Cornelius mengerti maksudku.
Cornelius mengangguk. Jenderal mengambil kesempatan untuk merebut pusaka itu. Sesaat sebelum Jenderal mendapatkannya, Cornelius menancapkannya. Gelombang kejut pusaka itu merobohkan kami. Debu berterbangan. Pandangan kami tersamar. Setelah beberapa saat, kami melihat Cornelius. Ia berdiri dengan kedua kaki yang sehat. Aku tersenyum sementara para serdadu berusaha mencerna hal yang baru terjadi.
“Pusaka ini memang benar adanya,” Cornelius terkejut.
Tawa haru terlukis di balik janggutnya. Matanya berkaca-kaca. Ia berdiri tegap dan tampak lebih tinggi dengan kaki barunya. Itulah yang kuingat sebelum dirinya termakan peluru panas oleh Jenderal. Dentuman flintlock memekakkan telingaku. Senyum di wajah Cornelius memudar. Ia tersungkur di hadapan kami. Bahuku bak ditimpa gunung, Jenderal melepaskanku dan aku merangkak menghampirinya.
“Sudah kuperingatkan. Janganlah mengambil tindakan bodoh,” Jenderal meniup asap flintlock-nya.
Tanpa kusadari, Pusaka Pembeliant telah berada di tangan Jenderal. Aku tidak memperdulikannya dan menghampiri Cornelius. Aku membalikkannya, menekan luka tembakannya.
“Cornelius, lihat aku! Semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya perlu bertahan sebentar dan semuanya akan baik-baik saja.”
Aku berbohong. Sulit membohongi dokter kawakan sepertinya. Ia menyadari kekuatan magis pun tidak mampu memperbaiki kondisinya. Batuknya disertai darah.
“Tidak apa-apa, Taman. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Terima kasih, karena untuk sesaat, aku sempat merasakan menjadi normal,” Cornelius memegangi tanganku.
“Kau akan baik-baik saja, Cornelius. Kau akan memperbaiki VOC dari dalam, ingat? Kau akan menyediakan sistem yang adil untuk Sanja dan seluruh penduduk, ingat? Bertahanlah, Cornelius.” Air mataku berjatuhan di dadanya.
Genggamannya melemah. Mata birunya semakin terbenam.
“Aku minta maaf soal Nara.” Cornelius tampak menyesal.
“Itu bukan salahmu, Cornelius. Itu bukan salahmu,” aku terisak.
Cornelius melepaskan genggamannya. Dadanya tidak lagi naik-turun. Matanya yang biru kini tertutup.
“BANGUN, CORNELIUS! KAU SUDAH BERJANJI AKAN MEMPERBAIKI VOC, CORNELIUS. KAU SUDAH BERJANJI!” wajahku bersandar di dadanya.
Bersambung…
Cerpen ditulis oleh F. Sandro Asshary, alumni Sastra Inggris, FIB 2018