Bagian Dua: Panglima Legenda Talawang
Cerpen legenda masyarakat Dayak
- 15 Aug 2022
- Komentar
- 1254 Kali
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
Setelah berkesepakat dengan Feronika, Pune berencana pamit dengan istrinya, Agni. Berurusan dengan Ferdinan sangatlah berisiko, sehingga ia harus memperingatkan istrinya. Anehnya, Pune tidak bisa menemukan Agni. Kain tenun yang dikerjakannya tergeletak begitu saja. Ia mengelilingi rumah memanggil istrinya tapi tidak ada jawaban. Pune sadar ada yang janggal.
"Ia menghilang," Pune melewati Feronika yang duduk di ruang tamu dan berjalan ke halaman depan.
"Apa maksudnya ia menghilang? Siapa?" bingung sembari mengikuti Pune.
"Istriku, Agni. Dia menghilang," kepanikan terpancar pada wajahnya.
Setibanya di halaman rumah, Pune melipat kedua tangannya. Mengatur nafas dan menutup matanya. Feronika sadar yang dilakukan Pune dan mengambil langkah mundur. Angin kencang menyelimuti rumah. Sesaat kemudian tubuh Pune telah mengudara. Pune kemudian membuka mata hitam mengerikan seperti yang digambarkan di koran-koran. Kekaguman bercampur takut terlukis pada wajah Feronika.
Kecepatan angin kian berkurang dan Pune pun kembali berdiri dengan kedua kakinya.
"Agni diculik oleh sekumpulan orang beberapa waktu lalu. Mereka kabur menggunakan Ketinting (perahu mesin) melewati sungai yang terletak di belakang rumah. Mereka menggunakan baju berwarna hijau dengan logo aneh pada punggungnya," jelas Pune berharap Feronika mengetahui sesuatu.
"Baju berwarna hijau dengan logo PBH?" Feronika bernada interogatif.
"Benar sekali, kau tahu sesuatu?" Pune mengharapkan jawaban lebih.
"Pemilik PT. Bura Husada: Ferdinan Bura, merupakan seorang pengidap Protanomali. Ia buta akan warna hijau. Itulah alasan seluruh karyawannya menggunakan seragam berwarna hijau. Kemungkinan yang menculik Agni adalah suruhan Ferdinan."
Pune teringat salah seorang pemburu yang ia habisi semalam menggunakan baju yang sama.
"Kau nampak tahu banyak tentang sang pemilik perusahaan ini,” tutur Pune.
"Sudah sepatutnya begitu," sembari memperlihatkan kartu pers yang menggantung pada lehernya.
Ferdinan sedang mempersiapkan penjualan aset-aset perusahaan di mejanya. Mengingat ia sedang bermain dengan sosok yang dianggap legenda bagi masyarakat. Di sampingnya terdapat komputer kecil yang menampilkan rekaman cctv dan berkedipkan cahaya merah. Rekaman tersebut menampilkan sosok yang telah diprediksi Ferdinan. Jejak berwarna merah dari mayat para pengawalnya mengikuti sosok tersebut. Aroma amis darah terpancar ke seluruh penjuru ruangan. Peralatan pertambangan seperti helm, rompi, rompi pengaman, forklift turut berlumuran darah. Situasi kian mencekam dengan lampu darurat yang turut mewarnai seluruh sisi gedung.
"Dimana atasan mu?" tanya Panglima yang mencengkram pengawal yang berlumuran darah.
"Lantai 8, ruang 14..." ucap pengawal yang berharap nyawanya sebagai imbalan. Panglima lantas menancapkan paruh burung Enggang ke mata petugas itu. Ia pun seketika tewas.
Situasi semakin sunyi. Rintihan para pengawal semakin menghilang dan hanya menyisakan erangan sirene tanda darurat. Ferdinan tidak bergerak dari mejanya dan tetap menatap satu - satunya pintu masuk di hadapannya. Tidak sedikitpun raut Ferdinan memancarkan ketakutan. Kemudian, pintu dibuka paksa oleh Panglima. Ferdinan lantas menyambut kedatangan sosok tersebut.
"Sang legenda, mitos, dan pujaan orang-orang sedang berada di sini. Sungguh sebuah kehormatan dapat menjamu anda, Panglima," Ferdinan berusaha mengacuhkan belasan Mandau yang mengarah padanya.
"Dimana Agni?" tanya Panglima.
"Agni? Oh, maksudnya istri anda? Anggaplah Agni merupakan ganjaran atas perbuatan anda kemarin malam," Kesinisan terpancar pada wajahnya.
"Hewan-hewan itu bukan milikmu, Ferdinan. Mereka terancam punah dan kau memanfaatkan mereka di Pasar Gelap," tegas Panglima.
Panglima dan Ferdinan hanya berjarak satu meter.
"Bolehkah aku memanggilmu Pune? Kau tau kenapa hewan-hewan itu terancam punah, Pune? Mereka dikalahkan oleh alam. Parahnya lagi, pemerintah tidak memedulikan keberadaan mereka. Mereka bisa mendapatkan tempat yang aman, makanan yang layak, jika mereka dimiliki oleh orang-orang kaya, Pune. Pasar Gelaplah yang dapat menyelamatkan hewan-hewan itu," tegas Ferdinan.
Mandau sang Panglima mengelilingi Ferdinan seolah menunggu persetujuan.
"Ingatlah, Panglima. Kalau aku mati, Agni tidak akan pernah kau temukan. Kau tahukan betapa mudahnya kami dalam menghilangkan seseorang?" Ferdinan mengulur waktu.
Untuk pertama kalinya, Panglima mengambil langkah mundur.
"Hewan-hewan itu akan mati di tangan mu, Ferdinan. Kau tidak berhak memutuskan hidup mereka," ucap Panglima.
"Kau ingin berbicara soal hidup dan mati? Lihatlah, Pune. Jejak darah selalu mengikuti kemanapun kau pergi. Setidaknya, jejak yang kutinggalkan bukanlah darah manusia," Ferdinan menunjuk ke arah pintu masuk yang berlumuran darah.
Keraguan terpancar pada wajah Panglima. Ia tahu yang dikatakan Ferdinan benar. Ia memandang kedua tangannya dan tragedi yang menimpa desanya kembali teringat. Ferdinan memanfaatkan kerapuhan Panglima. Secara tiba-tiba, sebuah perisai terbang menyerang Panglima. Beruntung, Panglima berhasil menghindarinya. Panglima kembali siaga dan perisai itu melayang ke genggaman pemiliknya, Ferdinan.
"Perisai itu, dimana kau mendapatkannya?" tegas Panglima melihat lawannya.
"Sekarang kita seimbang, Panglima." ucap Ferdinan dengan matanya yang memerah.
Pertarungan tidak terelakkan. Kemampuan Ferdinan berangsur dari manusia biasa menjadi setara dengan seorang Panglima akibat perisai itu. Kekuatan, kekebalan, dan kelincahan keduanya setara. Panglima yang terlatih selama 10 tahun turut kewalahan melawan Ferdinan.
"Apa yang terjadi?" Panglima bingung Mandaunya tidak melayang seperti biasanya.
"Perisai ini mampu menetralisir senjata apapun, dasar bodoh," Ferdinan diiringi tawa sarkastik.
Ferdinan berlari ke arah Panglima yang nampak kebingungan. Ia mengayunkan Talawang dan mendarat tepat pada pelipis Panglima. Paruh Burung Enggang yang tertaut pada kening Panglima terlepas. Serangan demi serangan terus dilemparkan Ferdinan. Untuk seseorang yang bekerja di belakang meja, Ferdinan bertarung dengan cukup hebat. Panglima berusaha menghindari serangan sebisanya. Tetapi, bahkan sang Panglima tahu ia bukanlah saingan untuk Perisai Talawang.
"Kau tahu, seharusnya aku merayakan ulang tahun ayahku hari ini," Ferdinan dengan keringat dan darah mengalir dari kepalanya.
"-tapi kau membunuhnya!" Ferdinan melayangkan pukulan keras pada dagu Panglima.
"-sepuluh tahun yang lalu!" lanjut Ferdinan.
Panglima tersadar para penebang liar yang dahulu dihabisinya merupakan karyawan Bura Husada.
"Ayahmu meluluhlantahkan kampung dan keluargaku, keparat! Bersyukurlah aku tidak mengincarmu juga!" balas Panglima yang setengah tak sadarkan diri.
Ferdinan mengambil kain Ulap Doyo pada pinggangnya dan mengikat leher Panglima.
"Ayahku selalu bilang, pada masa - masa sulit, kita selalu memiliki dua pilihan. Membalaskan dendam atau memaafkan. Kau tahu? Aku bukanlah orang yang pemaaf.” ucap Ferdinan dengan terus mengeratkan ikatan leher Panglima.
Kesadaran mulai meninggalkan Panglima. Pandangannya menghitam. Ia terjatuh pingsan kehabisan udara. Untuk pertama kalinya, Panglima kalah. Sesaat hendak menghabisi nyawa Panglima, terdengar bunyi sirene polisi. Ferdinan-pun kabur meninggalkan Panglima.
Bersambung.
Ditulis oleh F. Sandro Asshary, mahasiswa Sastra Inggris FIB 2018