Budaya

Menapaki Peninggalan Bersejarah Pasca-Jajahan Jepang di IKN Nusantara

Kisah awak Sketsa yang menelusuri keberadaan meriam bersejarah peninggalan Jepang di Kecamatan Penajam.

Sumber Gambar: Fauzan/Sketsa

SKETSA – Kurang lebih dua jam berkendara dari Kota Samarinda menuju pelabuhan Kariangau, Kota Balikpapan. Dilanjut menggunakan transportasi air, feri, awak Sketsa mengunjungi meriam bersejarah peninggalan tentara Jepang di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), lokasi yang ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara (IKN) baru bernama Nusantara.

Deburan ombak dan birunya air laut menemani perjalanan Sketsa untuk menggali lebih jauh moncong pertahanan bersejarah pasca perang dulu kala. Sekitar satu jam lamanya, feri tersebut berjalan perlahan dengan dikelilingi kapal-kapal tongkang yang mengangkut batu bara.

Setibanya di pelabuhan Penajam, tak langsung disuguhkan meriam legendaris tersebut. Perjalanan selama sepuluh menit menggunakan kendaraan bermotor akhirnya mengantarkan awak Sketsa sampai di Jalan Kapao RT 6 Kelurahan Gunung Seteleng, Kecamatan Penajam, lokasi meriam Jepang berada.

Meriam koloni Jepang itu berhadapan langsung dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 016 Penajam. Warna hijau khas seragam Tentara Negara Indonesia (TNI) menutupi sekujur tubuh meriam itu. Ikut menandakan peninggalan legendaris itu bukan lagi milik Jepang—melainkan aset TNI.

Meski bersejarah, ketika berpijak ke sana suasana sepi dan sunyi menemani langkah Sketsa untuk menelusur meriam tersebut. Tampak, lumpang itu jarang dikunjungi dan mungkin banyak yang tak tahu kisah di baliknya. Hal itu sebab, tak ada tulisan apapun yang dapat menjelaskan asal-usul meriam itu bertengger di sana.

Rasa penasaran Sketsa menjadi-jadi untuk mengetahui lebih dalam mengenai sulalah dari rentaka besar itu. Tak jauh dari pandangan mata, terlihat sosok pria misterius berdiri mengenakan kaus berwarna abu-abu. Dengan potongan rambut cepak, pria itu tersenyum ke arah awak media ini.

Rupanya pria tadi bernama Romansyah, ahli waris tanah sekaligus Juru Pelihara (Jupel) dari meriam peninggalan masa perang. Secara eksklusif, ia dengan senang hati membagikan pengetahuannya soal tomong raksasa itu.

Meriam tersebut, ujar Romansyah, dibangun oleh pekerja romusa saat itu dengan cara mengangkat dan meletakkannya di tempat tersebut. Berdasarkan ceritanya, senjata tua itu dulunya dipergunakan sebagai alat pertahanan pada masa perang dunia kedua.

Ia juga mengisahkan bahwa meriam tersebut setiap tahunnya dilakukan perawatan oleh TNI di Kodim Penajam, peran masyarakat sekitar juga untuk melestarikan peninggalan tua itu sangat besar.

“Termasuk orang karang taruna ikut juga merawat. Setiap tahunnya pasti ada mereka,” ungkap Romansyah.

Sketsa juga menanyakan terkait bagaimana jika meriam itu dipindah ke museum oleh pemerintah dengan alasan perawatan, namun Romansyah tegas mengatakan bahwa masyarakat masih mampu merawatnya.

“Itu (meriam) kemarin mau diangkat dan dipindah sama Kodim, karena sudah beberapa (meriam lain) diangkat. Namun yang ini, mau diangkat tidak dibolehkan sama bapak saya. Kalau itu diangkat, apa namanya Gunung Seteleng?” tuturnya.

Menurut pengakuannya, masih banyak masyarakat yang mengunjungi bedil pekatu tersebut untuk mengetahui sejarahnya. Kerap kali anak sekolah mengunjungi dan tidak perlu izin untuk mengakses tempat itu karena terbuka untuk umum.

Menyoal peran pemerintah terhadap perhatiannya kepada meriam tersebut, pada Jumat (18/3) Sketsa menghubungi Kepala Seksi Cagar Budaya dan Tenaga Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) PPU, Budi Setyo.

Meski Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur telah melakukan inventarisasi dan pendokumentasian tinggalan sejarah ini pada April 2018 lalu. Namun, hingga saat ini meriam tersebut belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal itu lantaran banyak hal yang perlu diperhatikan di antaranya data dan dokumen, alokasi anggaran pemerintah daerah, hingga sumber daya manusianya.

Pria yang memiliki kecintaan terhadap budaya itu juga berucap, jika kunci dari penetapan benda diduga cagar budaya menjadi cagar budaya adalah Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Sementara itu, di PPU sendiri baru memiliki dua orang ahli cagar budaya bersertifikasi. Jumlah tersebut disiasatinya masih belum mencukupi untuk memenuhi syarat TACB.

Keterbatasan pemeliharaan peninggalan tersebut rupanya tak menghalangi pihaknya untuk melaksanakan sosialisasi cagar budaya kepada masyarakat setempat dan pemangku kepentingan secara kontinu dan berkala. Bahkan, Disbudpar PPU kerap kali mengadakan lomba kebudayaan sebagai upaya untuk menumbuhkan kecintaan akan benda cagar budaya.

Ditanya mengenai pemindahan meriam tersebut agar lebih tertata, ia mengaku pemerintah tak berencana untuk memindahkan demi menjaga keabsahan nilai sejarahnya.

“Beberapa alasan yang mendasari hal ini di antaranya adalah rekam sejarah bukan hanya dibuktikan dengan adanya benda tinggalan namun juga lokasi kejadian. Hal ini (jika dipindah) justru akan dapat menghilangkan sejarah bangsa.”

Demi memberi ruang terhadap masyarakat agar dapat mengelola peninggalan bersejarah tersebut, Budi berupaya untuk membentuk kelompok masyarakat peduli cagar budaya. Menurutnya, langkah itu salah satu upaya yang dapat didahulukan untuk menumbuhkan pemahaman dan kepedulian situs tersebut. 

Mengakhiri percakapan, Budi berharap tempat tersebut dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata sejarah dengan pembangunan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pemerintah namun tetap dikelola oleh masyarakat sekitar dan memberi manfaat pada semua aspek bidang termasuk ekonomi dan pendidikan. (fzn/nkh)



Kolom Komentar

Share this article