Branding

Kelas Politik Nasional Himapsos FISIP Unmul, Menilik Tantangan Hak Masyarakat Adat di Tanah IKN

Himapsos selenggarakan kelas politik secara nasional

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Nindi/Sketsa

SKETSA — Dialog mengenai Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali bergema. Kali ini, sivitas akademika Unmul menilik lebih lanjut menyoal tantangan sekaligus strategi politik dalam pengelolaan hak masyarakat adat di tanah IKN.

Kelas politik yang diinisiasi oleh Departemen Kajian Strategis dan Advokasi Himpunan Mahasiswa Pembangunan Sosial (Himapsos) FISIP Unmul ini terselenggara secara nasional pada Sabtu pagi (21/9) lalu.

Dalam sambutannya, Ketua Umum Himapsos FISIP Unmul, Muhammad Nasir menilai isu ini lumayan menarik utamanya bagi masyarakat Kaltim. Menurutnya, pembangunan IKN tak hanya perlu memperhatikan pembangunan fisik namun juga perlu memberi perhatian kepada masyarakat adat terkait.

“Aku berharap kita yang hadir di sini bisa bersama-sama memahami tantangan kita dalam (pembangunan) IKN, tanpa meminggirkan mereka (masyarakat adat),” harap Nasir.

Hadir pula Daryono, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FISIP Unmul dalam acara tersebut. Dirinya mengimbau seluruh peserta yang hadir untuk dapat mengamati secara langsung ke IKN.

“Jangan hanya melihat apa yang ada di media namun juga (sebaiknya) terjun secara langsung,” pesan Daryono saat membuka acara.

Diskusi dimulai oleh Muhammad Arifin, dosen Prodi Pembangunan Sosial FISIP Unmul, yang menyoroti posisi negara terhadap masyarakat adat. Menurutnya, berapapun jumlah masyarakat adat negara tak boleh lepas tangan. 

“Seharusnya, jika pemerintah tidak setengah hati dalam memberikan ruang bagi masyarakat adat, pembahasan RUU terkait hak-hak mereka tidak akan berhenti di tengah jalan. (Padahal) Pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak-hak masyarakat adat,” tutur Arifin.

Lebih lanjut, Arifin menyatakan bahwa hak-hak adat di wilayah IKN, khususnya Paser dan Balik, harus dihormati dan dilindungi, sama seperti masyarakat lainnya. Konsistensi dalam menjaga tradisi di tengah gencarnya pembangunan juga menjadi hal yang krusial.

Dede Wahyudi, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, memperkuat argumen ini dengan menekankan pentingnya pengakuan konstitusional atas hak wilayah masyarakat adat dengan memperhatikan masing-masing karakteristiknya.

“Penting untuk diperhatikan karakteristik masyarakat adat tak bisa disamaratakan, sebab hal ini turut mengacu pada daerah mereka tinggal,” imbuhnya.

Mengenai perampasan ruang hidup misalnya, menurut paparan Dede akses terhadap air bersih saat ini susah didapat oleh masyarakat adat. 

“Hal ini merupakan dampak dari pembangunan Intake dan pelebaran Sungai Sepaku yang dahulu sebagai sumber penghidupan masyarakat,” papar Dede.

Tak ketinggalan, Dede juga turut membahas pemberian Hak Guna Usaha (HGU) bagi investor yang mencapai 190 tahun lamanya. Ia menilai, aturan tersebut bahkan melebihi hukum kolonial.

Menutup sesi diskusi pagi itu, Arifin mengajak mahasiswa yang hadir untuk turut berpartisipasi aktif mengawal pembangunan IKN hingga tuntas. Arifin juga menekankan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab besar untuk menyuarakan isu hak-hak masyarakat adat.

"Mahasiswa harus peka terhadap isu-isu di sekitar mereka dan konsisten dalam memperjuangkan keadilan sosial," kuncinya. (nkh/ xel/mar)



Kolom Komentar

Share this article