Teror Menyerang, Teknokra: Kami Tak Gentar
Intervensi dan teror yang dialami UKPM Teknokra Unila.
Sumber Gambar: Istimewa
SKETSA - Isu rasial telah menjadi masalah yang pelik selama bertahun-tahun. Atas kasus yang menimpa George Floyd, seorang warga kulit hitam Amerika yang mengalami kekerasan rasial oleh oknum aparat pada Mei silam, tagar #PapuanLivesMatter naik sebagai peringatan akan besarnya rasisme terhadap warga Papua di Indonesia.
Intimidasi yang terjadi kepada asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019, pemblokiran akses internet di wilayah Papua dan Papua Barat hingga kasus 7 tahanan politik (tapol) Papua yang kini dituntut dengan tuduhan makar hanyalah segelintir cerita dalam sejarah kelam rasisme di tanah air.
Baca: https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/papuanlivesmatter-ferry-butuh-solidaritas-mahasiswa-indonesia/baca
Atas dasar tersebut, Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) membuka ruang diskusi yang bertajuk 'Diskriminasi Rasial terhadap Papua'. Dikutip dari teknokra.com, Chairul Rahman Arif selaku Pemimpin Umum (Pemum) UKPM Teknokra memaparkan bahwa diskusi ini dilatarbelakangi atas isu-isu rasial di Indonesia terutama yang terkait dengan Papua.
"Harapannya bagi yang mengikuti diskusi ini minimal memiliki pandangan bagaimana sebenarnya orang Papua itu, apakah stereotip yang berkembang selama ini benar atau tidaknya," ujar Chairul, Rabu (10/6).
Teror dan Intervensi
Diskusi yang telah berlangsung pada Kamis (11/6) lalu di kanal YouTube UKPM Teknokra rupanya didahului dengan berbagai aksi teror serta intimidasi. Pertama kali dialami oleh Chairul yang menerima 8 kali panggilan lewat gawainnya saat sedang makan bersama Hendry Sihaloho (Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung dan Dian Wahyu Kusuma (Sekretaris AJI Bandar Lampung). Menurut pengakuan sang penelepon, ia adalah alumni dari Unila.
Kemudian, dirinya dihubungi oleh Wakil Rektor Kemahasiswaan dan Alumni Unila, Yulianto untuk segera menghadap. Atas panggilan ini, Chairul dan Yesi Sarika selaku editor Teknokra pergi dan melakukan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, Yulianto menyampaikan untuk menunda diskusi tersebut karena dirinya mengaku dihubungi oleh pihak Badan Intelejen Nasional (BIN). Ia juga menyarankan mereka untuk menambah narsumber dalam diskusi.
Awak Teknokra kemudian berdiskusi atas hasil dari pertemuan tersebut, dan memutuskan untuk tetap menjalankan diskusi dengan narasumber yang ada. Hal ini dilakukan atas pertimbangan serta masukan serta arahan terkait pelaksanaan diskusi. Terdapat pula diskusi lanjutan dengan akademisi dan lainnya untuk mempertimbangkan saran dari Yulianto dan dewan pembina. Sementara itu, Chairul masih terus mendapatkan intimidasi lewat telepon untuk menghentikan diskusi.
Tak berhenti pada Chairul, teror juga menyerang Mitha Setiani Asih, Pemimpin Redaksi Teknokra. Diawali ketika Mitha mendapatkam pesan kode One-Time Password (OTP) alias kode verifikasi dari salah satu aplikasi ojek daring. Tak berselang lama, akun WhatsApp miliknya menerima telepon dan chat dari banyak driver ojek daring.
Driver menanyakan pesanan yang dipesan oleh akun ojek daring Mitha. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan pemesanan. Kesulitan semakin terasa saat beberapa driver telah datang dan mengantarkan makanan. Semakin runyam sebab ia tak dapat membatalkan pesanan yang telah masuk proses pengantaran dan antaran makanan yang terus datang. Alhasil, Mitha kemudian menghubungi Call Center ojek daring untuk membekukan akunnya.
Atas kejadian ini, seluruh awak Teknokra mengamankan diri di suatu rumah yang aman sembari membawa barang-barang yang penting dari sekretariat. Meski begitu, intervensi masih menyambangi ponsel Chairul. Ia terus mendapatkan pesan berupa kata-kata ancaman dan tuduhan provokasi, bahkan dikirimi data-data identitas lengkap milik Chairul dan orang tuanya beserta foto yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Tak luput, akun-akun media sosial Teknokra mulai diretas. Ada pula intervensi salah sasaran yang menyasar akun Instagram Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teknokrat TV, bukan Teknokra Unila. Selanjutnya, akun media sosial Mitha serta alumni Teknokra Khorik Istiana juga mengalami peretasan. Beruntungnya, akun-akun resmi milik Teknokra dapat diambil alih dan diamankan kembali.
Pernyataan Sikap
Menanggapi teror dan intimidasi yang menimpa awak Teknokra karena penyelenggaraan diskusi daring tersebut, mereka kemudian merilis pernyataan sikap melalui akun Instagram @teknokraunila. Ini merupakan bentuk solidaritas lembaga pers yang kemudian disampaikan dalam 5 poin.
Pertama, Teknokra tetap melaksanakan diskusi daring sesuai dengan yang telah direncanakan, terlepas dari rentetan telepon dari orang yang mengaku alumni Unila serta imbauan pihak rektorat Unila agar menunda kegiatan tersebut.
Kedua, mereka mengecam segala macam tindakan intimidasi yang diarahkan terhadap penyelenggara dan narasumber untuk menggagalkan diskusi daring. Pada poin ketiga, Teknokra mengajak semua pihak agar kebebasan berpendapat dan berekspresi bisa dihormati tanpa harus melakukan aksi teror, ancaman dan peretasan.
Poin keempat, mendesak polisi agar mengusut tuntas kasus teror dan peretasan yang dialami jurnalis Teknokra. Hal ini juga disampaikan dalam pernyataan sikap Koalisi Pembela Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Lampung. Di mana Teknokra, AJI Bandar Lampung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, LBH Pers Lampung, dan Aliansi Pers Mahasiswa Lampung bergabung ketika melaporkan kasus tersebut ke Polda Lampung.
Terakhir, mereka menyorot tugas dan kewajiban negara agar dapat menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negaranya.
Pelaksanaan Diskusi
Kala diskusi berlangsung pada Kamis (11/6) lalu pukul 19.00 WIB di kanal YouTube milik Teknokra, Mitha mengaku bahwa nomor ponsel miliknya terus dihubungi oleh nomor tidak dikenal dari berbagai server luar negeri. Ini tentu mengganggunya sebab ia adalah moderator pada diskusi ini. Setelah mencoba berbagai cara, ia akhirnya memilih untuk mematikan jaringan dan mengalihkannya ke mode pesawat.
"Di diskusi itu juga, WhatsApp ibu saya juga keretas. Ia (sang peneror) juga nelepon menggunakan akun WhatsApp ibu saya tapi nggak saya angkat karena pikir saya itu ibu saya sendiri. Terus siangnya baru ibu saya ngabarin kalau Whatsapp-nya nggak bisa dibuka," ungkap Mitha kepada Sketsa (13/6).
Terkait segala teror atas ruang diskusi yang telah dibuka oleh Teknokra, menurutnya tak ada yang salah ketika membahas soal rasisme yang dialami Papua. Baginya, membahas isu rasial terhadap Papua bukan berarti mendukung gerakan separatis Papua Merdeka sebab itu merupakan dua narasi yang berbeda dan tidak dapat disamakan.
"Ketika kita menutup mata soal rasisme, sampai kapan pun kita melegalkan rasisme itu sendiri terjadi di Papua dan akhirnya masyarakat Papua merasa tersisihkan dan gerakan separatis Papua itu makin menjadi-jadi," sebutnya.
Ia juga berpendapat apabila masyarakat mengakui Indonesia secara utuh, maka sudah seharusnya menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia dan memiliki hak kewarganegaraan. "Untuk apa kita tertutup ataupun berusaha membungkam ruang pendapat dari masyarakat Papua sendiri?" lanjutnya.
Untuk lembaga pers lainnya yang ingin mengadakan kegiatan serupa, ia berpesan agar tetap berani dan mempersiapkan ruang diskusi yang memadai dan melakukan pengamatan yang cukup terkait isu seperti ini.
"Kalau takut sebelum diskusi, mungkin bisa sharing ke teman-teman yang udah pernah ngadain diskusi. Apa aja yang bakal dialami, terus bagaimana cara mengatasinya. Berani aja gitu, yang penting ada perhitungan. Misalnya kayak saya (yang) kebetulan dekat sama anggota AJI. Jadi kalau ada apa-apa bisa (minta) bantuan ke anggota AJI," tutupnya.
Meski belum bisa bernapas lega, Mitha mengaku bahwa hingga kini mereka tidak lagi mendapatkan intervensi maupun ancaman-ancaman. (len/cin/pil/sut/wil)