Berita Kampus

Tentang Buruh Oleh Buruh

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 tingkat provinsi Kaltim berdemo di Taman Samarendah untuk memperingati Hari Buruh Sedunia. (Foto: M. Fernanda)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Sekitar pukul 09.00 Wita Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 tingkat provinsi Kaltim berdemo di Taman Samarendah untuk memperingati Hari Buruh Sedunia atau dikenal May Day. Di bawah terik matahari mereka berorasi, tak peduli panas dan jumlah massa yang tak begitu banyak.

Saat aksi tadi SBSI 1992 memakai atribut warna hijau menyala. Mereka menyuarakan tuntutan pada pemerintah sama persis dengan yang tertera di spanduk yang mereka pasang, yaitu untuk menegakkan kinerja aparatur Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker), menegakkan hukum ketenagakerjaan, memberikan upah pegawai honorer sesuai UMP Provinsi, menghapuskan “kerja paksa” di perkebunan dan mencopot pejabat yang dirasa tidak memiliki kompetensi.

Ketua Dewan Perwakilan Cabang SBSI 1992 Kabupaten Kutai Kartanegara yang juga menjabat Ketua Bidang Hukum dan HAM di SBSI 1992 Provinsi, Nana Sukarna mengatakan setiap orang yang bekerja dan diupah dapat disebut sebagai buruh. Ia tak setuju atas rezim Orde Baru yang memisah istilah menjadi “pekerja” dan “buruh”.

“Pada zaman Soekarno dulu itu tidak ada istilah pekerja, yang ada itu istilah buruh. Dinas pun yang ada bukan Dinas Ketenagakerjaan, tapi Dinas Perburuhan. Sejak zaman Soeharto baru istilah itu dipisah menjadi pekerja dan buruh. Jadi buruh bukan pekerja kasar saja seperti yang ada di benak orang-orang, setiap orang yang dibayar untuk bekerja adalah buruh, bahkan bupati saja buruh, PNS juga adalah buruh, kenapa dibeda-bedakan?” katanya.

Nana berkisah ia pernah menjadi buruh di perusahaan migas sejak tahun 1980-an, namun berhenti pada 2004 dan memilih bergabung untuk membela kepentingan kaum buruh yang hingga hari ini, menurutnya, jauh dari kata sejahtera.

“Hari buruh ini dulu hanya diperingati oleh internasional dan belum dinasionalkan, setelah serikat buruh berdemo di Jakarta hingga banyak korban barulah kini kami bisa menikmati hasilnya, yaitu kemerdekaan bagi buruh,”ujarnya.

Pada masa Orde Baru perjuangan buruh acap kali dijegal oleh elit pemerintah. Buruh kerap dipinggirkan, bahkan buruh yang bergabung pada serikat buruh dianggap gila dan dituduh komunis. “Dulu, siapa yang menjadi anggota serikat buruh itu orang gila, dimusuhi pemerintah, tentara dan polisi. Dianggap komunis kita. Makanya banyak korban,” imbuhnya.

Ia merasa hari-hari ini serikat buruh masih juga dimusuhi, bedanya dengan cara yang sedikit lebih halus. Pemerintah tampak tak menyukai perlawanan buruh, oleh karena itu pemerintah mencoba mengadakan kegiatan-kegiatan untuk “memanjakan” kaum buruh agar dapat tetap “tenang”. “Seperti yang kamu lihat di Gor, itu acara untuk buruh juga. Mereka dimanjakan, dikasih makanan enak, mungkin pulangnya dikasih uang,” sindirnya.

Selayaknya buruh memang harus bersatu, sebab jika tidak maka perbudakan di bumi Indonesia tidak akan berakhir. “Buruh harus bersatu agar perbudakan di Indonesia segera usai. Kita harus menuntut pemerintah merevisi peraturan ketenagakerjaan dan mencopot pejabat yang tidak layak di dinas tenaga kerja,” katanya.

Aksi buruh dari SBSI 1992 berakhir ketika menjelang zuhur. Pada pengaharapannya, ia mewanti kepada elemen mahasiswa untuk tetap memperjuangkan hak-hak buruh, karena buruh mayoritas tidak berlatarbelakang pendidikan yang baik sehingga dibutuhkan kaum intelektual untuk memperjuangkan mereka.

“Saya tahu kok perjuangan kalian, mahasiswa dalam membela kami, teruskan!” pungkasnya. (fer/wal)



Kolom Komentar

Share this article