Berita Kampus

Sindikat Lebah Berpikir Rembuk Membahas Hoax

Pada Selasa (14/2) malam, di pelataran kampus Fakultas Ilmu Budaya, kelompok diskusi yang menamakan diri mereka Sindikat Lebah Berpikir (SLB) ikut membahas hoax. (Foto: Jati Dwi J.)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Maraknya kabar palsu atau hoax belakangan menjadi sorotan pemerintah. Beragam upaya melawan hoax pun mulai diserukan. Baru-baru ini Dewan Pers dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional menerbitkan media terverifikasi dengan disertai barcode. Yang apabila dipindai menggunakan ponsel pintar akan terhubung dengan database Dewan Pers.

"Melalui pendataan atau verifikasi media ini, dengan sendirinya akan terlihat mana produk jurnalistik yang dihasilkan oleh perusahaan pers yang profesional, mana yang tengah berproses atau berupaya memenuhi standar profesional, dan mana yang belum memenuhi standar profesional," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam rilis edaran Dewan Pers.

Kerisauan akan hoax ini memancing diskusi di banyak tempat. Pada Selasa (14/2) malam, di pelataran kampus Fakultas Ilmu Budaya, kelompok diskusi yang menamakan diri mereka Sindikat Lebah Berpikir (SLB) ikut membahas hoax. Diskusi dimulai melalui tulisan bertajuk "Hoax dan Budaya Literasi" yang dimuat di Kaltim Post (17/1), ditulis oleh Syamsul Rijal, Ketua Prodi Sastra Indonesia.

Pertama-tama Rijal sebagai pemantik diskusi menerangkan isi tulisannya, mulai dari asal-usul hoax hingga upaya melawan hoax. Ia melihat fenomena hoax ini bukan hanya soal berita bohong, melainkan ada kepentingan dari sekelompok orang tertentu. Salah satu upaya meredamnya pun adalah dengan meningkatkan budaya literasi seperti membaca dan menulis.

Salah satu peserta diskusi Awang Eria Erlisatria memaparkan betapa hoax itu rentan sekali untuk timbul. Ia mencontohkannya dari pemberitaan media hoax yang dicomot dari Bloomberg. Hoax itu beredar dengan narasi yang menyebut Presiden RI, Joko Widodo sebagai pemimpin terbaik se-Asia dan Australia. Sementara dalam pemberitaan Bloomberg itu, Joko Widodo hanya termasuk satu di antara sekian pemimpin yang menghadapi situasi buruk di negaranya.

"Jadi bukan yang terbaik," ulang Awang.

Suasana semalam cukup dingin, ditemani gorengan sebagai cemilan dan bahasan diskusi jadi sajian tersendiri. Tauhid Hira, peserta diskusi yang lain, mengatakan ada peran besar buzzer dalam maraknya hoax. Para buzzer ini muncul dengan amunisi pengikut media sosial yang berjumlah ribuan. Sehingga membuat daya jangkau tiap hoax bisa tersebar luas.

"Hoax itu bisa dinilai keberhasilannya dari berapa kali dia di share atau di retweet," ucapnya.

Kembali ke Rijal, ia menilai selain membaca dan menulis guna menumbuhkan budaya literasi, dari diskusi pun mestinya perlu dipupuk dan terus dilakukan.

"Makanya, dari kami karya-karya yang layak diskusi itu, yang memang sudah dimuat di media," tambahnya.

Sekitar pukul 22.00 Wita, diskusi mengenai hoax ini pun mulai disudahi. Rijal mengatakan, diskusi SLB terbuka untuk umum.

Karena sudah setahun belakang ini setiap dua minggu atau seminggu sekali, SLB berkumpul dan berdiskusi. Mereka mendiskusikan tulisan-tulisan yang terbit di media. Entah itu berupa catatan, cerpen ataupun puisi. Belakangan malah ingin membahas cerpen-cerpen yang ditulis oleh cerpenis ternama.

Di luar dari kakunya perkuliahan, hadirnya diskusi semacam SLB dapat dijadikan pencerahan bagi mahasiswa.

"Kita tidak terlalu membatasi bahasannya. Jadi bisa melebar ke mana saja, karena kalau dibatasi kan apa bedanya sama kuliah. Jadi silakan beropini. Diharapkan dari itu, muncul ide baru lagi. Tulis lagi," pungkasnya. (jdj/wal)



Kolom Komentar

Share this article