Berita Kampus

Problematika Money Politic pada Pesta Demokrasi

Ilustrasi (Sumber : https://tirto.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Dewasa ini politik uang atau yang biasa dikenal dengan istilah money politic sangat marak terjadi. Dari pemberitaan-pemberitaan yang disuguhkan oleh media massa baik cetak maupun elektronik mengabarkan bahwa masyarakat dan para peserta pemilu atau pemilukada melakukan hal tersebut. Jelas ini menjadi problematika tersendiri bagi iklim demokrasi negara bahkan sampai daerah secara spesifik. Asas pemilu tentang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil tak terimplementasikan dengan semestinya dalam pesta demokrasi lima tahunan. 

Cita-cita mulia mendapatkan pemimpin jujur, adil, berwibawa dan amanah menjadi mimpi yang tak pernah terwujud. Bagaimana tidak, setiap rupiah untuk dana membeli suara yang dikeluarkan oleh politisi peserta pemilu dan pilkada pasti sudah ada estimasi untung ruginya. Akhirnya kita biasa menganalogikan mereka seperti pedagang yang hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang telah dikeluarkan. 

Kemudian setelah mereka menduduki kursi jabatan politik pesta demokrasi tersebut, yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana meraih proyek dan upeti dari saudagar-saudagar (pengusaha) yang mereka keluarkan izin usahanya. Proses tender proyek pembangunan tidak lagi efektif karena adanya praktik menyuap para penguasa. Dana yang didapat oleh penguasa tersebut untuk mengembalikan modal pemilu atau pilkada dan untuk digunakan sebagai pemilu/pilkada periode selanjutnya. Akhirnya ini menjadi semacam penyakit kanker yang menjalar dan menggerogoti tubuh negara atau daerah.

Setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya politik uang/money politic dalam pesta demokrasi di Indonesia. Pertama, kurangnya pendidikan politik pada masyarakat; Kedua, kepercayaan masyarakat (public trust); dan ketiga, tingkat kemiskinan di Indonesia.

Pertama, kurangnya pendidikan politik atau bahkan tidak adanya pendidikan politik yang didapat oleh masyarakat akan menyebabkan kurangnya pengetahuan dan motivasi akan pesta demokrasi secara langsung. Kesadaran berpolitik masyarakat perlu diberikan dari berbagai pihak salah satunya adalah partai politik. Pemilu dan pemilukada tidak serta merta membuat masyarakat langsung ikut berpartisipasi, apa lagi tidak sedikit dari rakyat Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan. Hal ini sangat berdampak buruk karena masyarakat tidak tahu penting dan manfaatnya pemilu/pilkada dan mekanismenya secara jelas sesuai aturan perundang-undangan serta dampak yang ditimbulkan apabila pemilu dan pemilukada tersebut tak berjalan sebagaimana mestinya. Saat itulah politisi-politisi yang memiliki integritas rendah, bermain dan menghalalkan segala cara termasuk membeli suara masyarakat dengan sejumlah uang tertentu atau barang tertentu yang masuk dalam kategori money politic

Kedua, kepercayaan publik (public trust) sejalan dengan kurangnya pendidikan politik, problematika partai politik di negeri ini membuat masyarakat mulai  gerah dan mulai menunjukan ketidakpercayaannya  terhadap partai politik. Lunturnya kepercayaan publik (public trust) terhadap partai politik akibat dari kompleksnya permasalahan yang ditimbulkan oleh partai politik baik permasalahan internal partai dan kasus-kasus anggota partai politik seperti korupsi, prostisusi, narkotika dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Akibatnya timbul keputusasaan dan pembiaran terhadap pemilu dan politik oleh masyarakat yang menimbulkan stigma bahwa semua politisi dan semua tokoh sama saja. Akhirnya partisipasi dalam Pemilu dan Pemilukada menjadi rendah atau bahkan baru mau memilih apabila ada yang mau memberi imbalan. 

Ketiga, tingginya angka kemiskinan di Indonesia membuat politik uang (money politic) tumbuh subur di setiap saat pemilu dan pemilukada berlangsung. Tingginya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam skala premier seperti sandang, pangan dan kesehatan yang lebih layak membuat mereka bingung dan berusaha banting tulang untuk memenuhinya. Belum lagi akses masyarakat pada lapangan kerja dan pendidikan yang peluang mendapatkannya sangat kecil. Pemberian sejumlah uang atau barang tertentu sulit untuk ditolak sebagian masyarakat walaupun harus menggadaikan hak suara mereka saat pemilu dan pemilukada berlangsung. 

Berangkat dari hal tersebut upaya penanggulangan secara preventif dan persuasif yaitu, pendidikan politik menjadi penting untuk dilaksanakan. Pendidikan politik adalah salah satu instrumen penting dalam kehidupan demokrasi negara. Berdasarkan  pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mendefinisikan bahwa  pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Selanjutnya pada pasal 34 ayat 1 sampai dengan ayat 4 mengatur tentang pendidikan politik secara materil yang harus dilaksanakan oleh partai politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara dan mendapatkan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diberikan secara proporsional. Dari regulasi tersebut jelas terlihat bahwa kewajiban partai politik bukan hanya mencari suara sebanyak-banyaknya tetapi juga melakukan proses edukasi yang mendalam dan sitematis kepada masyarakat yang kemudian hari akan menjadi pemilih atau konstituennya. 

Untuk mengantisipasi kurangnya pendidikan dari partai politik maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dapat menjadi pusat informasi pendidikan politik seputar pemilu yang dapat dijadikan rujukan oleh semua kalangan masyarakat. Oleh karenanya lembaga ini perlu menyusun grand design untuk aktivitas sosialisasi pendidikan pemilih.

Secara represif, telah diatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima suap politik dalam Pemilu/Pilkada. Berdasarkan Pasal 187A (1) Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan  atau  memberikan uang  atau  materi  lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana  dengan  pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan  denda  paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)  dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. 

Juncto pasal 187A ayat (2) menyatakan bahwa “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Juncto pasal 149 ayat 1 KUHP menyatakan "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah.” Juncto pasal 149 ayat 2 ”Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap”.

Manakala upaya penaggulangan baik secara preventif persuasif maupun secara represif tersebut dapat dilaksanakan, maka akan menjadi jalan menuju demokrasi yang bersih dan menghasilkan pemimpin yang berintegritas. Para pemimpin hasil pesta demokrasi lima tahunan itulah yang kemudian akan membawa nasib negara atau daerah ke arah yang lebih baik atau bisa jadi malah ke arah yang tidak diinginkan. Oleh karenanya hal tersebut menjadi penting untuk diperhatikan oleh semua pihak baik partai politik, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan semua pihak yang terlibat serta masyarakat itu sendiri yang memiliki peran besar dalam menentukan calon pemimpin mereka di era yang akan datang.

Ditulis oleh Muhammad Gatot Subratayuda, Wakil Presiden BEM KM Unmul 2014.



Kolom Komentar

Share this article