Berita Kampus

Polemik RUU Permusikan di Indonesia Panen Kritikan

Polemik RUU Permusikan di Indonesia panen kritikan dan kecaman. (Sumber ilustrasi medcom.id)

SKETSA – Baru-baru ini tanah air kembali dihebohkan dengan terobosan baru para legislatif di akhir ke pengurusannya. Setelah sebelumnya RUU (Rancangan Undang-Undang) PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) mandek di tengah jalan, kini muncul lagi RUU baru yang cukup menuai kontroversi.

RUU baru yang menuai kontroversi dan kecaman ini adalah RUU Permusikan. RUU ini disinyalir akan membantu kehidupan para musisi tanah air dan mendongkrak kualitas musik yang ada di Indonesia. Hal tersebut yang menjadi alasan bagi penggagas RUU Permusikan ini. Namun, rupanya publik berkata lain, terutama dari kalangan musisi kondang di Indonesia. Bahkan, sudah merambat sampai sindir menyindir di media sosial.

Dikutip dari tribunnews.com, penyanyi Rara Sekar turut mengutarakan pendapatnya. Ia berpendapat bahwa ada beberapa ketidakjelasan redaksional dalam beberapa pasal di RUU Permusikan. Tak hanya Rara Sekar, RUU ini juga ternyata telah mendapat 260 penolakan dari kalangan musisi yang tergabung dalam Koalisi Nasional.

Penyebab RUU ini dikritik berbagai pihak juga beragam. Mulai dari pasal karet, RUU ini juga disebut mengancam kesejahteraan musisi, khususnya musisi independent alias berkarya secara mandiri tanpa label yang menaungi. 

Seperti Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Untuk diakui sebagai profesi, pelaku musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi,” menjadi salah satu pasal yang dikritik lantaran hal ini dianggap tidak perlu.

Sehubungan dengan hal ini, Sketsa berkesempatan menyambangi salah satu mahasiswa program studi Etnomusikologi di Unmul. Saat dimintai pendapatnya mengenai RUU ini, Ardy Christian mengutarakan bahwa sebenarnya RUU ini bagus, namun masih perlu direvisi.

“Kalau saya pribadi setuju, hanya saja perlu perbaiki di beberapa bagian,” ungkapnya.

Ardy berpendapat bahwa dalam pasal 32 ayat 1 tersebut perlu mengatur standarisasi para musisi. Ia juga menambahkan bahwa hal ini jelas untuk menciptakan standar yang baik di kalangan musisi agar tidak ada lagi lagu-lagu yang tidak layak berseliweran di ranah permusikan.

“Semuanya lebih kepada meningkatkan kualitas, baik dari sisi individu mau pun dari segi musik yang dihasilkan,” jelas mahasiswa angkatan 2015 ini.

Ia juga mencontohkan musik atau lagu yang tidak semestinya berseliweran karena dianggap tidak memiliki standarisasi seperti lagu Lelaki Kardus yang sempat menghebohkan dunia maya.

Terakhir, ia berharap ke depannya agar RUU Permusikan ini ditinjau kembali, baik dari sisi penggagas maupun dari pihak yang menolak. “Ada baiknya jika hal ini dibaca baik-baik, secara keseluruhan. Ada sisi positifnya apa enggak.” tutupnya.

Suara lain datang dari salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa di FakultasI Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang turut memberikan perhatiannya pada RUU ini. Disambangi di kampus pada (12/02) lalu, Randy Surya Putra selaku Ketua UKM Seni Fasotik mengutarakan kekecewaannya terkait hal ini.

“Jujur, saya agak kurang setuju dengan RUU ini. Karena ada beberapa pasal yang saya anggap kurang memihak musisi-musisi low profile yang tersebar di tanah air,” ujar Randy sore itu.

Ia juga menambahkan bahwa dalam menciptakan sebuah regulasi yang ke depannya akan diterapkan secara massive, perlu adanya survei atau  jajak pendapat apakah hal tersebut memang sangat perlu dibuatkan peraturan atau tidak.

“Cukup disayangkan sebenarnya karena hal ini sepertinya tidak melalui pertimbangan dari orang-orang yang mau diatur tersebut (read musisi),” tambahnya.

Ia juga menyayangkan soal akar mengenai rujukan RUU ini yang dikatakan hanya mengambil dari blogspot saja. “Lagi-lagi disayangkan, sekelas RUU yang akan diterapkan ke banyak orang hanya mengambil referensi berdasarkan blogspot. Kapabilitas RUU ini nanti bisa dipertanyakan,” pungkas Randy. (sut/hlm/els)



Kolom Komentar

Share this article