Berita Kampus

Polemik Panas Pilpres 2019 Sasar Kaum Milenial

Budiman, seorang pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Pertarungan pemilihan presiden tahun 2019 di Indonesia sejak diumumkan pada (10/08) lalu kian memanas, munculnya hashtag #2019GantiPresiden hingga adegan pelukan kedua calon presiden Jokowi-Prabowo adalah beberapa dari sederet isu-isu yang ramai diperbincangkan media saat ini.

Di lain sisi, pertarungan pilpres 2019 juga akan menjadi pertarungan sengit wakil presiden, artinya wakil presiden masing-masing calon diharapkan mampu meningkatkan elektabilitas dari calon presiden tersebut.

Budiman, salah seorang pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik turut menanggapi isu polemik pilpres 2019. Menurutnya, ketika Jokowi memilih K.H Ma’ruf Amin untuk menjadi wakilnya, bukan tanpa alasan Jokowi pasti memiliki sebuah strategi yang ingin dicapai.

"Yang ingin ditempuh pasti apa? Ya.. kemenangan,” ungkapnya.

Berangkat dari isu soal sentimen anti-Islam yang negatif, bagi Jokowi memilih Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin dinilai mampu meredam isu tersebut. 

Jokowi memilih Ma’ruf Amin merupakan langkah taktis atau by design dari politik yang ada. “Maksudnya by design ini rata-rata cawapres dari partai itu sama aja memelihara anak macan, artinya apa? Apabila yang dipilih Airlangga Hartarto, Ketua Partai Golkar, kalau yang dipilih Romahumrmuziy, Ketua P3, kalau yang dipilih adalah Muhaimin Iskandar Ketua PKB, mereka-mereka ini kan masih muda.”  

Sementara Jokowi yang dianggap lebih berpotensi menang, otomatis di tahun 2019 yang menjadi wakil presiden adalah yang menjadi presiden 2024. Budiman menambahkan, “Kalau yang dipilih yang muda kan beresiko, kalau yang dipilih dari partai kan beresiko, jadi kalau Mahfud MD terlempar di detik-detik terakhir wajar. Karena pertarungan 2019 adalah pertarungan 2024. Siapa yang menjadi wakil presiden itu yang bisa menjadi presiden 2024.”

“Nah, kalau K.H Makruf Amin yang dipilih sudah tua, kemungkinan pertarungan 2024 menjadi presiden sangat-sangat tipis. Partai-partai yang dipimpin oleh orang-orang muda ini berpeluang menjadi presiden 2024. Start-nya akan dari 0 nantinya,” bebernya kepada awak Sketsa.

Lain lagi dengan Prabowo, Budiman melihat Ketua Partai Gerindra tersebut pada Pilpres 2014 Prabowo-Sandiaga Uno yang dijual adalah isu-isu agama. “Yang menjadi persoalan Prabowo 2014 berkompetisi pasti ia mengeluarkan banyak uang untuk kampanye.”

Jika memaksakan memilih ulama sebagai calon wakil presiden atau memilih yang tingkat elektabilitasnya tinggi untuk dicalonkan seperti Ustad Abdul Somad maka pikiran yang rasional dan realistis adalah mencari orang yang mampu setidaknya membiayai kampanye Prabowo dan berpeluang untuk menang dengan membuat jargon-jargon baru atau strategi-strategi baru.

“Karena sekarang yang ia pilih ada pengusaha, uangnya ada, isi tasnya banyak, mampu membiayai kampanyenya sendiri. Nah, tinggal bagaimana taktiknya untuk menarik simpati.”

Menurut kacamata Budiman, pilpres zaman sekarang sasaran pemilihnya adalah kaum milineal. Karena sasarannya yang merupakan pemilih pemula, kuncinya sekarang adalah membranding diri para kandidat, bagaimana menyusun strategi.

"Salah satu strategi Prabowo-Sandiaga Uno adalah jargonnya ulama, jargonnya agama. Maka agar dia tidak ketinggalan, Sandiaga tiba-tiba menjadi santri milineal, pengusaha yang berhati agamawan. Itukan sebenarnya branding,” tutupnya. (mrf/arr/els)



Kolom Komentar

Share this article