Berita Kampus

Pentingnya Kesehatan Mental untuk Milenial

Ilustrasi (Sumber: merdeka.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Seseorang dapat dikatakan sehat, apabila punya kondisi fisik dan mental yang baik. Pada kenyataannya, orang-orang lebih cenderung peduli terhadap kesehatan fisik ketimbang kesehatan mental. Padahal keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain dan harus seimbang. Di era milenial, penyakit mental lebih mudah dialami, namun kerap dianggap remeh. 

Ada banyak faktor yang menyebabkan terganggunya kesehatan mental, yang paling besar adalah faktor lingkungan. Misalkan, orang tua yang mengalami depresi, kemungkinan besar anaknya juga akan depresi, baik secara keturunan maupun lingkungan.

“Faktor dari lingkungan itu lebih besar karena walau keturunan memengaruhi, tapi dia melihat orang tuanya depresi,” ucap Elda Trialisa Putri, dosen Psikologi Unmul.

Saat ini merebaknya isu kesehatan mental, sangat dipegaruhi oleh kemajuan informasi. Seperti halnya saat seseorang melakukan kesalahan, komentar membanjiri media sosialnya. Tak jarang komentar negatif hingga hujatan pun diterima dan dapat berakibat stres.

Hal ini sering terjadi pada anak muda. Banyak persoalan yang menjadi akar munculnya depresi. Mulai dari persoalan kuliah, tugas yang menumpuk, tindakan bully yang diterima, hingga tekanan dari sosial media. Jika hal ini sudah terjadi, mereka akan mulai menarik diri dari lingkungan, tidak ingin bersosialisasi lagi, dan mudah menyerah bahkan putus asa. Bahkan parahnya, mereka dapat melakukan hal-hal nekat seperti melukai dirinya hingga bunuh diri.

Diakatakan Elda, kesehatan mental ini perlu disosialisasikan secara luas, tidak hanya pada anak muda, tetapi semua orang. Menurutnya, hal tersebut dilakukan agar lingkungan bisa mendukung dan merangsang orang-orang untuk saling peka terhadap keadaan sekitarnya.

“Perbanyaklah sosialisasi secara tatap muka, kurangilah penggunaan handphone untuk menghindari terjadinya cyberbullying. Sampaikan perasaan langsung kepada yang bersangkutan, tetapi gunakan bahasa dan intonasi yang benar,” tutupnya.

Rio, bukan nama sebenarnya, merupakan salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul yang pernah alami gangguan mental. Dia pun membagikan sedikit kisahnya dalam menghadapi gangguan mental yang sempat hampir buat dirinya kacau, dia pun berhasil bangkit.

Menurutnya gangguan mental merupakan penyakit yang perlu mendapatkan perawatan baik dari diri sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Sempat melalui masa-masa sulit terhadap kondisi mental diakui Rio cukup berat. Ia sempat bingung ingin berbuat apa. Bahkan dia takut untuk membagikan hal ini kepada orang lain, sangkanya banyak yang tidak akan menerima kondisinya.

“Berat sih, jujur. Tidak tahu harus ngapain, tidak ada orang-orang yang bisa diandalkan. Kalau mau cerita ke keluarga juga rasanya enggak masuk akal,” ucap mahasiswa angkatan 2017 itu.

Gangguan mental yang dialami Rio awalnya hanya depresi biasa, namun berujung pada mental breakdown. Bahkan kondisi mental yang tidak siap dan datangnya berbagai masalah ikut memicu timbulnya tindakan nekat. Seperti keinginan untuk bunuh diri yang diawali dengan menyayat tangan dan tubuh. “Pokoknya, lebih baik aku mati lah daripada nyusahin orang,” jawabnya singkat.

Tidak ingin larut dalam kondisi tersebut, dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog. Namun Rio juga mencoba lakukan penyembuhan atas inisiatifnya sendiri, seperti meditasi. Menurutnya meditasi bisa membuat keadaannya jauh lebih baik dibandingkan setahun yang lalu.

Terakhir, Rio berpesan untuk para pengidap gangguan mental lainnya agar mau melawan penyakit tersebut. Harus ada keinginan dari diri sendiri, selain itu terbuka pada orang sekitar juga dapat membantu meringankan masalah. Setidaknya harus ada kegiatan yang bisa membuat diri menjadi bahagia.

“Pertahankanlah apa yang sudah membuatmu lebih baik, jangan terlalu dipikirkan, walaupun itu agak susah sebenarnya,” tukasnya. (syl/rth/mer/wil)



Kolom Komentar

Share this article