Berita Kampus

Penganiyaan Jurnalis Masih Terjadi, Potret Pers Indonesia Masih Gamang

Kasus kekerasan pada jurnalis.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @ajikotasamarinda

SKETSA - Kasus kekerasan pada jurnalis kembali terjadi di Indonesia. Wartawan Tempo bernama Nurhadi mendapatkan tindakan represif saat sedang melakukan investigasi dugaan kasus suap pajak oleh Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Kala itu, ia sedang memotret acara resepsi pernikahan anak Angin yang berlangsung di Surabaya, Sabtu (27/3).

Seketika, Nurhadi langsung ditarik oleh dua orang tidak dikenal. Meski ia telah memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo, oknum tersebut merebut ponsel miliknya dengan cepat. Dilanjutkan dengan memiting leher Nurhardi. Kejadian tidak berhenti sampai di situ. Ia dibawa menuju Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dirinya kembali mendapat kekerasan dengan dicekik, ditampar serta disekap selama dua jam. Pelaku kembali bertambah sekitar 10 hingga 15 orang.

Kasus Nurhadi adalah satu dari sekian banyak potret kekerasan yang menimpa jurnalis. Tindakan main hakim menjadi bentuk pembungkaman suara pers ketika melakoni peran kontrol sosial. Merespons kasus tersebut, Nurliah selaku dosen Ilmu Komunikasi Unmul menyayangkan sikap tersebut.

“Apapun profesi harus dilindungi secara hukum, harus fair (adil),” ucap Nurliah kepada Sketsa melalui WhatsApp, Sabtu (17/4).

Dosen yang mengajar mata kuliah Jurnalistik tersebut menegaskan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menjadi landasan hukum pers di Indonesia. Hal itu dirasa cukup memberikan arahan dalam penegakkan hukum agar tidak terjadi tindak persekusi seperti kasus Nurhadi.

“Seharusnya hukum menghormati Undang-Undang. Sudah disosialisasikan juga oleh AJI dan berbagai lembaga pers lainnya,” sebutnya menanggapi.

Menyatakan dukungannya kepada aksi yang menimpa Nurhadi, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) wilayah Samarinda menggelar aksi solidaritas, Kamis (8/4) lalu. Berbagai agenda berlangsung dengan penampilan orasi, pembacaan puisi, hingga gelaran teatrikal yang mengusung tema “Ancaman Otoritarianisme Terhadap Kebebasan Pers (Solidaritas Terhadap Penganiyaan Wartawan Tempo)".

Ketua AJI Samarinda, Nofiyatul Chalimah menyatakan jika pihaknya mengutuk keras segala tindakan represif kepada sesama jurnalis. Tak hanya Nurhadi, kasus senada turut menimpa lima jurnalis Samarinda ketika sedang meliput aksi demo Omnibus Law pada Oktober 2020 silam, yang hingga saat ini kasus tersebut belum menemukan titik terang.

“AJI Samarinda mendesak Kapolda Kaltim, Irjen Herry Rudolf Nahak untuk mengusut pelaku penganiyaan baik secara pidana maupun etik,” papar Nofi kepada Sketsa, Senin (19/4).

Nofi setuju apabila kasus Nurhadi menjadi contoh terkekangnya pers Indonesia hingga kini. Ia mengimbau kepada semua pihak agar menghormati Undang-Undang Pers yang berlaku. AJI Samarinda turut bergerak menyosialisasikan kebebasan pers kepada publik guna mengawal kasus kekerasan hingga tuntas dan menegakkan keadilan bagi pers.

“Pasal 18 UU Pers, menyebut ancaman hukuman bagi yang menghalangi atau menghambat ada ancaman pidana penjara 2 tahun dengan denda 500 Juta,” tutup Nofi. (wuu/ lyn/vyn/ahn/syl/rst)



Kolom Komentar

Share this article