Berita Kampus

Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam Penggunaan Istilah Hukum

Belum lama ini, penerjemah bahasa isyarat digunakan dalam sebuah rilis kasus yang dilakukan oleh kepolisian.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

SKETSA – Belum lama ini, penerjemah bahasa isyarat digunakan dalam sebuah rilis kasus yang dilakukan oleh kepolisian dengan maksud agar mudah dipahami oleh penyandang tuli. Selain dirasa perlu, ini juga dapat memudahkan penyandang tuli untuk memahami apa yang disampaikan dalam kegiatan jumpa pers. Terutama karena penggunaan masker selama pandemi.

Dilansir dari kumparan.com, Wakil Kepala Polresta Solo AKBP Deny Heriyanto mengatakan bahwa penerjemahan rilis dalam bahasa isyarat ini baru pertama kali diadakan dalam kegiatan jumpa pers kepolisian. Sempat terkendala, petugas penerjemah meminta waktu untuk mempelajari pernyataan polisi terlebih dahulu sebab banyak kosakata dalam hukum yang jarang dipelajari di sekolah. Lantas, seperti apa pandangan civitas akademica dalam merespons hal ini?

Dosen Bahasa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unmul, Ian Wahyuni mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kemajuan agar para penyandang disabilitas rungu dan wicara bisa memperoleh informasi yang sama dengan orang-orang pada umumnya. Sudah sepatutnya, para penderita disabilitas mendapatkan kesempatan untuk mengetahui informasi dalam segala hal. Termasuk informasi hukum. 

Ian juga menyebut, bahwa persoalan ini berkenaan dengan Pasal 143 UU.8/2016. Dalam pasal  tersebut, jelas terpapar bahwa setiap orang dilarang menghalang-halangi dan melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan haknya. Yakni publik, kesehatan, berkomunikasi dan memperoleh informasi.

“Sistem bahasa isyarat itu berdasarkan leksikal dan pola kalimat bahasa Indonesia. Ada yang disebut SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia), sebagai representasi bahasa Indonesia lisan dalam bentuk isyarat. Bahkan, mulai dari unit terkecil. Misalnya, bunyi itu sudah dibedakan, makanya ada sekolah khusus SLB (Sekolah Luar Biasa),” jelasnya kepada awak Sketsa, Senin (22/2).

Ian memaparkan bahwa tak hanya bahasa tutur saja yang memiliki variasi. Pengguna bahasa isyarat memiliki variabel tertentu berdasarkan komunitas tutur tempat mereka berada.

“Bahkan penyandang disabilitas punya variasi bahasa juga berdasarkan regionalnya atau antar komunitas. Ini yang disebut Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia). Di luar itu, kalau memang dia tidak belajar atau mengetahui sama saja dengan orang normal yang buta huruf,” tambahnya.

Menurutnya, penyandang disabilitas perlu mempelajari istilah-istilah dalam hukum dan kepolisian ketika di bangku sekolah. Hal ini harus menjadi kesetaraan yang sama seperti orang pada umumnya. Proses pembelajaran nantinya menjadi tantangan bagi pengajar dan teman-teman penyandang disabilitas dalam memahami istilah-istilah hukum serta kepolisian, jika memang belum ada konsep leksikalnya.

Terakhir, dosen linguistik ini mengungkapkan bahwa SIBI adalah salah satu fasilitas bagi para pengajar untuk memberikan pendidikan kepada penyandang tuli secara linguistik. Sehingga, para penerjemah tidak akan kesulitan dalam menyosialisasikan. Seperti pengenalan istilah-istilah yang tidak awam secara fonologi, huruf dan bunyi.

“Semoga hak kaum disabilitas semakin terpenuhi di Indonesia, agar masyarakat juga tidak awam lagi dengan keberadaan mereka. Dan mereka juga bisa bergaul secara normal dengan seluruh masyarakat tanpa ada diskriminasi. Haknya semakin terpenuhi,” tutupnya. (ans/jhr/sar/khn/fzn) 



Kolom Komentar

Share this article