Berita Kampus

Oknum Tenaga Pendidik dan Tindakan Asusila

Tenaga pendidik yang terlibat dalam kasus pencabulan di sekolah.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber foto: merdeka.com

SKETSA – Beberapa minggu terakhir, beberapa media nasional maupun lokal tengah membicarakan kasus guru yang melakukan tindakan cabul di Kalimantan Timur, tepatnya di kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Seorang guru agama SD dibekuk polisi karena diduga mencabuli 12 muridnya di dalam kelas saat mengajar. Mirisnya, hal ini telah dilakukannya sejak 2018 lalu. Perbuatan tak terpuji oleh guru tersebut dilakukan sambil menonton video porno di ponselnya. Selain 3 saksi korban yang baru melapor secara resmi, dari penyelidikan polisi diduga ada 9 murid perempuan lainnya yang mendapatkan perlakuan serupa dari oknum guru tersebut.

Kejadian serupa terjadi pula di Penajam Paser Utara. Beberapa media daring telah memberitakan bahwa terdapat oknum guru yang kedapatan mencabuli murid di bangku SD. Berdasarkan perkembangan penyelidikan kepolisian, diketahui pelaku sebelum memulai melancarkan aksi mengiming-imingi korban untuk menonton film kartun. Penangkapan tersangka ini dilakukan setelah menerima laporan dari orang tua korban. Sekitar 9 anak yang menjadi korban dan tak menutup kemungkinan akan bertambah.

Melihat fenomena tersebut, salah satu dosen FKIP M. Bazar memberikan tanggapannya. Menurutnya saat ini guru tidak memiliki peran dalam lembaga, dikarenakan kerasnya kritik yang diberikan kepada guru apabila mereka bertindak cukup berlebihan.

“Kenapa itu terjadi? Pertama tadi kasus pelecehan seksual itu karena penyakit pribadinya, itu oknumnya bukan gurunya, karena tahap penyeleksian guru itu tidak dilihat latar belakangnya. Yang kedua, sekarang karena masalah pergaulan. Kita lihat siswa itu buka internet semaunya karena pengaruh globalisasi. Harusnya ada aturan yang mengatur semuanya, sehingga sinergis," ujarnya saat di temui Sketsa pada Selasa (12/3).

Dirinya merasa perlu ada regulasi yang kuat untuk melindungi guru dan siswa. “Sekarang kan ada UU perlindungan guru juga. Jangan langsung memberatkan guru, mutlak langsung di penjara, kan begitu yang salah. Jadi itu yang harus kita ubah paradigmanya. Ini negara besar, harus membuat satu regulasi yang kuat untuk masa depan anak kita," jelasnya.

Sementara itu, ditemui di ruangannya pada Senin (11/3) lalu, dosen Psikologi Hairani Lubis memberikan agrumennya. Menurutnya, perilaku seksual seperti kasus ini dapat menimpa semua orang, tidak hanya oknum pendidik. "Cuma karena kita melihat dia dari sisi profesinya adalah orang yang harusnya melindungi, memberikan pengarahan pendidikan, justru jadi orang yang menyakiti. Buat orang lain tidak nyaman seperti itu," paparnya.

Jika dikaji dari kacamata psikolog, sat oknum guru tersebut melakukan tindakan asusila tersebut sembari menonton video porno, maka hal tersebut dapat memicu kebutuhan seksnya yang mendesak. Sehingga dilampiaskan kepada murid yang ada di dekatnya.

”Ketika orang sudah sudah kecanduan video porno, itu akan merusak sistem sarafnya di otak. Sehingga pengambilan keputusannya menjadi tidak rasional, perilakunya pun menjadi tidak rasional. Makanya dia bisa saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan hasrat seksualnya itu."

Menurutnya untuk masalah seperti ini diperlukan penanganan yang tepat untuk korban. Tidak hanya dari satu pihak saja melainkan harus semua pihak, mulai dari pemerintah, psikolog, pun keluarganya. Sebab keluarga harus memberikan dukungan penuh terhadap sang korban.

"Bagaimana caranya menciptakan suasana kondusif bagi korban dalam kondisi trauma? Kita harus siap mendampingi agar ia dapat merasa nyaman, merasa aman, merasa terlindungi. Itu membantu dia untuk pulih lagi secara mental," tutupnya. (fir/mrf/ffs/fqh)



Kolom Komentar

Share this article