Berita Kampus

Mengenal Empat Kebijakan Pendidikan Tinggi Terbaru

Menelisik empat kebijakan baru perguruan tinggi

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dok. Pribadi

SKETSA - Pada Jumat (24/1) lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan empat kebijakan baru untuk pendidikan tinggi. Adapun kebijakan tersebut menyebutkan tentang otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru. Kedua, program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat.

Ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi. Terakhir, memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS).

Beredarnya berita ini tentu menuai beragam respon. Ainur Basyirah Mulya, mahasiswa Kedokteran 2016 berkesempatan untuk mengikuti forum diskusi empat kebijakan baru pendidikan tinggi di Jakarta. Bersama dengan Presiden BEM KM Unmul 2019, Febri Abdul Haminudin juga rektor, Ainur membagikan kisahnya saat mengikuti forum kepada awak Sketsa.

Ia menyebutkan, bahwa terdapat dua agenda yang dilaksanakan, yakni ulasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan disertai dengan diskusi pada setiap sesinya.

Sesi tersebut dibagi perkebijakan. Setiap kelompok terdiri atas rektor, dosen dan mahasiswa berbeda almamater, agar saat diskusi terlihat background permasalahan yang ditilik dari berbagai sisi.

Dari diskusi tersebut, tiap kelompok mempresentasikan pandangannya tentang kurang, lebih, tantangan serta solusi dari kebijakan yang diulas.

"Banyak pertanyaan yang muncul setelah forum itu. Mungkin itu juga tujuan adanya forum. Agar setelah forum selesai, mahasiswa bisa buka ruang diskusi terkait empat kebijakan tadi,” terang mahasiswa berprestasi Unmul ini.

Selanjutnya, Ainur juga menjelaskan kebijakan pertama nantinya akan memudahkan universitas dalam membuka program studi baru. Otonomi ini diberikan jika PTN dan PTS tersebut memiliki akreditasi A dan B, juga melakukan kerja sama dengan organisasi atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Terkecuali untuk Program Studi Pendidikan dan Kesehatan.

Terkait kebijakan kedua, ia menuturkan tidak ada pengulangan. Akreditasi pun ketika pihak universitas meminta. Kecuali terdapat dua hal, yakni aduan dari masyarakat yang buktinya konkrit, dan lulusan universitas terkait ditinjau dari persentase lulusan yang mengganggur. Secara terpaksa, Kemendikbud yang langsung mengakreditasinya.

Kebijakan ini muncul dengan harapan semakin banyak stakeholder yang terlibat. Masyarakat sudah jelas menjadi elemen yang cukup untuk mempengaruhi, karena ikut menilai kualitas pendidikan tinggi di lingkupnya.

Kebijakan ketiga diakui Ainur banyak membuat bingung mahasiswa, karena berkaitan dengan birokrasi kampus.

"Menurut beberapa perwakilan mahasiswa yang lain, itu akan riskan karena bisa saja dipermainkan pihak universitas. Kebijakan 50 persen dari SN, dan kuota lainnya, itu bisa dipermainkan,” paparnya.

Menelusur Kebijakan Keempat

Tentu saat kebijakan diluncurkan, mahasiswa menjadi elemen yang nantinya akan terdampak. Dijelaskan Ainur, beberapa media konvensional melebihkan hal tersebut dengan menyatakan mahasiswa hanya wajib belajar selama 5 semester.

Padahal, kebijakan keempat memberi kewajiban untuk pihak kampus memfasilitasi adanya lintas prodi sesuai kehendak mahasiswa. Dan mahasiswa berhak menggunakan kesempatan untuk lintas prodi atau tidak.

"Semisal mahasiswa teknik, mau mengambil prodi yang berkaitan dengan manajemen, itu bisa. Jika tidak ingin mengambil prodi apapun, perkuliahan tetap berjalan seperti biasa. Dan pengecualian tetap pada prodi pendidikan dan kesehatan,” tegasnya.

Untuk urusan penilaian, penyetaraan, dan pemaksimalan teori-teori yang akan didapat mahasiswa nantinya memang masih menjadi tanda tanya. Sejauh ini, tujuan dari forum tersebut bagi Ainur adalah menyatukan pandangan dan value dari kebijakan yang telah dikeluarkan. Ia mengakui bahwa forum tersebut belum sampai pada pembahasan teknis atau praktiknya.

Sempat membuat diskusi online di Instagram, Ainur membagikan hasil diskusi kelompoknya dan menanyakan terkait pro dan kontra mahasiswa. Hasilnya, banyak yang kurang setuju karena kebijakan keempat dinilai sulit. Adapun pendapat untuk memperbaiki pola pendidikan lama yang sudah dijalankan muncul ke permukaan.

Mengutip perkataan Nadiem Makarim selaku Mendikbud, “kalian pilih mana, aturan yang tersusun tapi hasil nihil, dibanding satu hal yang kelihatannya amburadul, tapi bisa melahirkan orang yang bertahan di dunia kerja?” Secara pribadi, ia setuju terhadap kebijakan keempat terlepas dari semua kesukaran yang nanti akan menjadi kendala pada praktiknya.

Tiga semester yang nantinya akan menjadi hak prerogatif mahasiswa bisa dimanfaatkan dengan exchange, magang di perusahaan, berwirausaha, atau mengambil lintas jurusan lainnya. Namun hasil dari itu semua tetap akan dilaporkan agar tak sia-sia.

Saat ditanya mengenai apa dampak bagi UKM ketika kebijakan itu terlaksana, Ainur berpendapat bahwa UKM akan berjalan seperti biasanya. Tetap menjadi wadah bagi minat serta bakat mahasiswa. Ia berharap itu dapat sejalan dengan kebijakan baru.

Menurutnya, mahasiswa yang berorganisasi tidak akan merasa terkucilkan, sebab takut nilai akademisnya tidak berjalan sebanding dengan aktif berorganisasi. Ia menyampaikan harapan Nadiem agar mahasiswa dapat bertindak based on problem untuk ke depan.

"Secara konsep seperti itu. Namun tetap ada prosedur juga praktiknya. Nanti pasti akan ada kendala, karena rombakannya besar,” sebut Ainur.

"Juga perlu waktu yang cukup lama untuk membuktikan. Mungkin nanti akan ada kampus percontohan dulu atau bagaimana, kita belum tahu,” tutupnya. (rst/len)



Kolom Komentar

Share this article