Berita Kampus

Melihat UU Cipta Kerja dari Sudut Pandang Hukum

Omnibus Law dalam kacamata Hukum.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Twitter

SKETSA – Gelombang penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja masih terus memanas. Tak hanya mahasiswa dan masyarakat umum, para akademisi juga turut mengkritisi adanya UU ini. Dihubungi Sketsa pada Jumat (9/10) lalu, Herdiansyah Hamzah selaku akademisi sekaligus pengamat hukum memberikan pandangannya. 

Pertama, ia memaparkan bahwa metode Omnibus Law tidak dikenal dalam khazanah perundang-undangan Indonesia alias belum diadopsi dalam sistem hukum yang ada. Diperkuat oleh UU No. 12 Tahun 2011 juncto UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang belum mengatur metode Omnibus Law secara jelas.

Herdi menyebut, Omnibus Law dalam penyusunan RUU Cipta Kerja tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Kemudian, adanya cacat dalam prosedur pembentukan secara formal karena tidak melibatkan partisipasi publik.

“Termasuk juga UU tersebut dibuat secara sembunyi-sembunyi. Sampai sekarang pun, draft akhir atau final belum kita dapatkan. Ada kemungkinan draft itu masih bisa berubah,” ujarnya.

Ia menjelaskan, setelah UU Cipta Kerja disetujui bersama antara DPR RI dan pemerintah pada Senin (5/10), jika presiden belum menandatanganinya sampai 30 hari mendatang maka UU ini otomatis akan berlaku dan sah secara hukum. Selain itu, akses masyarakat terhadap informasi terhadap UU Cipta Kerja ini sulit ditemui karena tak adanya transparansi bagi publik.

Substansi UU Cipta Kerja

Tak tanggung-tanggung, Herdi mengatakan jika beberapa pasal yang diatur dalam UU ini memang bermasalah. Contohnya pada klaster tenaga kerja, di mana terdapat perdebatan soal pesangon. Meski pembahasan mengenai pesangon masih ada, namun tak dapat dimungkiri ada kejanggalan jika diperhatikan secara detail.

Terdapat perubahan frasa yang dulunya ada pada UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, di mana pengaturan mengenai pesangon menggunakan pendekatan paling minimal. Ini berarti, pesangon tidak dibatasi dan masih bisa bertambah. Namun, dalam UU Cipta Kerja merevisi Pasal 156 ayat (2) hanya membatasi jumlah tertentu tanpa bertambah lagi.

“Artinya ketika (seorang) pekerja di-PHK dan ia bekerja lebih dari 10 tahun, yang harusnya mendapat berapa kali upah bisa jadi hanya mendapat pesangon 1 kali gaji,” terang Herdi.

Seperti yang diketahui, yang berhak untuk mendapatkan pesangon adalah pekerja tetap. Pada UU Cipta Kerja, ini dapat menjadi masalah di kemudian hari untuk pekerja dengan status kontrak. Pada Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, status pekerja kontrak maksimal 3 tahun atau dua kali perpanjangan atau pembaruan kontrak. Berdasarkan pasal tersebut, jelas bahwa tindakan di luar ini tidak diperbolehkan.

Tetapi, dalam UU Cipta Kerja perpanjangan atau pembaruan kontrak maksimal ini berubah dan didasarkan atas jangka waktu atau selesainya sebuah pekerjaan tertentu dalam kontrak. Artinya, seorang pekerja dapat menyandang status pekerja kontrak seumur hidupnya.

“Kalau pekerja kontrak, otomatis gak dapat pesangon. Ini analisa kami soal pesangon yang merugikan buruh. Kendati pun itu tetap ada aturannya, esensinya merugikan dan berdampak ke teman pekerja,” tukasnya.

Ini belum termasuk permasalahan mengenai pekerja outsourcing. Menurut Pasal 65 ayat (2) C dan Penjelasan Pasal 66 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, tidak semua rangkaian dan jenis pekerjaan dari suatu perusahaan pemberi pekerjaan dapat diserahkan kepada vendor atau service provider (perusahaan outsourcing). Akan tetapi hanya kegiatan penunjang perusahaan (supporting) secara keseluruhan dari rangkaian proses produksi, dan/atau hanya kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Adapun pada UU Cipta Kerja, Pasal 65 ayat (2) yang berperan sebagai batasan pekerja outsourcing dihapuskan. Menurut Herdi, dengan ditiadakannya pasal tersebut artinya sistem kerja outsourcing dapat dilakukan di mana saja. Termasuk di inti kegiatan utama perusahaan.

Outsourcing bisa dipraktikan di mana saja dan jelas merugikan teman pekerja. Atau tidak ada lagi jaminan kepastian kerja, istilahnya job security.

Pengaturan terkait ketentuan upah juga turut menjadi kontroversi. Diatur pada Pasal 88B UU Cipta Kerja, upah ditetapkan berdasarkan waktu satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Sementara, upah satuan hasil merupakan upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

Ini memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (dalam sistem upah per satuan). Lalu, dalam UU Ketenagakerjaan upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi, kabupaten/kotamadya, dan sektoral diatur lewat Pasal 89. Di mana sistem ini diarahkan untuk pencapaian kelayakan hidup pekerja.

Dalam pasal tersebut, upah minimum provinsi akan ditetapkan oleh gubernur melalui pertimbangan atas rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau bupati/walikota. Kemudian, penghitungan pada komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan keputusan menteri.

Tetapi, UU Cipta Kerja menghapus pasal ini dengan menggantinya menjadi Pasal 88C. Di dalam pasal pengganti, upah sektoral dihapuskan dan penetapan upah minimum provinsi diatur dan ditetapkan gubernur berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan syarat tertentu.

“UMSK, implikasinya bagi teman yang bekerja di tambang. Masa kita mau samakan dengan sektor retail. Bukan mau membedakan, tetap sama. Buruh tidak terpisahkan dari jenis kelamin dan pekerjaan. Tapi ada nilai tambah yang berbeda,” tegas Herdi.

“Seorang buruh yang bekerja di Freeport misalnya, tidak mungkin kita samakan dengan mereka yang bekerja di retail. Karena itu adalah nilai tambah yang berbeda. Kalau UMSK dihapus, otomatis ada ketidakadilan,” lanjutnya.

Pada Pasal 88C UU Cipta Kerja, terdapat kalimat pernyataan di mana Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Bagi Herdi, kata ‘dapat’ dalam pernyataan tersebut memiliki arti bahwa pemerintah dapat mendorong upah minimum, atau tidak. Ini disebabkan karena secara hukum frasa tersebut bisa digunakan atau tidak.

Ia menilai, selama ini upah minimum kabupaten/kota bersifat asimetris. Seperti Bontang, Balikpapan, dan Samarinda. Dengan tingkat kebutuhan yang tinggi, otomatis upah minimum seharusnya sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing.

“Nah, kata dapat tadi menghilangkan ketentuan upah minimum kabupaten atau kota. Padahal, dengan kondisi kabupaten atau kota masing-masing itu mestinya dihitung berdasarkan tingkat kebutuhan masing-masing,” tutupnya. (len/rst/wuu/wil)

Catatan Redaksi: 

Artikel ini ditulis berdasarkan wawancara tertanggal 9 Oktober 2020 dengan keterangan pasal yang tertera pada draft UU Cipta Kerja tertanggal 5 Oktober 2020 (905 halaman) yang beredar di publik. Hari ini, Selasa (13/10), telah beredar draft final UU Cipta Kerja (1.035 halaman) dengan perubahan pada sejumlah pasal dari versi terakhir yang beredar sebelum sidang pengesahan.



Kolom Komentar

Share this article