Berita Kampus

Masih dalam Bayang-Bayang Kekerasan Seksual, LEM Sylva Serukan Aksi

Seruan aksi oleh LEM Sylva Mulawarman atas kasus pelecehan seksual dan pungli oleh dosen.

Sumber Gambar: Nindiani/Sketsa

SKETSA - Lembaga Eksekutif Mahasiswa Sylva Mulawarman (LEM Sylva) melakukan konsolidasi pada Rabu malam, 27 April kemarin. Puncaknya mereka menggelar aksi di depan rektorat pukul 09.00 WITA, Kamis (28/4). Massa aksi dari berbagai angkatan di Fahutan memadati rektorat, dengan harapan rektor turun tangan mengawal kasus yang disuarakan. Sejumlah dosen Fahutan diketahui juga turun membersamai aksi. 

Ini didasari sebab salah satu dosen menjadi pelaku pelecehan seksual dan pungutan liar (pungli) kepada mahasiswa angkatan 2019 yang diajarnya dengan dalih kunjungan ke Museum Tenggarong, pada 30 Oktober 2019 silam. LEM Sylva meyakini fakultas telah menyediakan alokasi dana praktikum yang diambil dari Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Tak sampai di situ, dosen terkait menyalahgunakan wewenang saat bimbingan skripsi. Dalam rilis yang dimuat oleh LEM Sylva, korban mengalami pelecehan seksual sejak 12 Juni 2021. Lalu kembali mengalami pelecehan dengan pelaku yang sama, 7 April 2022. Dari dua jam bimbingan skripsi kala itu, korban diperlakukan tak etis oleh pelaku, seperti suruhan untuk memijat dan memasangkan kaus kaki.

LEM Sylva sebelumnya telah berdialog dan melakukan mediasi bersama civitas academica Fahutan, namun langkah konkret sanksi untuk pelaku belum dicapai. Hingga seruan aksi dilakukan, dengan lima poin tuntutan, di antaranya: Pertama, pemecatan dan proses secara hukum kepada oknum yang melakukan pelecehan seksual dan pemerasan. Kedua, disediakan fasilitas pemulihan korban. Ketiga, percepat pembentukan Satgas PPKS Unmul. Keempat, menuntut rektorat untuk menindak oknum yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kelima, percepat implementasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan jangan biarkan proses calon panitia seleksi berlarut-larut. 

“Karena tuntutan kami adalah sebisa mungkin oknum dosen ini dibebas tugaskan dari jabatannya, yaitu sebagai dosen pembimbing dan penguji. Sampai saat ini belum ada tindakan dari fakultas. Ketika kami bertemu lagi dengan fakultas terkait pembebastugasan ini malah dari fakultas bilang pelaku hanya bisa dijatuhi sanksi permintaan maaf secara terbuka,” ungkap Khusnul Khairul, Humas Aksi, Kamis (28/4).

Tak dimungkiri hingga kini Unmul masih berkutat pada proses pembentukan panitia seleksi Satgas PPKS. Hal ini akhirnya membuat LEM Sylva membuat tim untuk menyelidiki lebih lanjut kasus pelecehan seksual itu. Rencana pemulihan psikis untuk korban yang trauma juga sedang diupayakan. “Kami mengarahkan massa aksi agar sekiranya Unmul ini memberikan ruang pemulihan untuk korban pelecehan seksual," sebut lelaki yang akrab disapa Heru itu.

Ini juga jadi pukulan bagi mandeknya inisiasi yang hendak ditempuh LEM Sylva untuk Fahutan yang lebih aman. Diakui salah satu massa aksi, Sania Larasati yang juga tergabung menjadi anggota biro LEM Sylva, gerakan seperti membuat Satgas perlindungan dan pemberdayaan untuk korban kekerasan seksual sempat jadi wacana.

“Kayak belum terlaksana, karena banyak terhalang segala macem lah, ya. Terus, ke depannya mungkin dijalankan. Kalau bisa secepatnya, mungkin akan dibentuk dan diresmikan langsung dari dekan kita dan rektorat juga,” sebut Sania, Kamis (28/4).

Oknum dosen itu, bagi Sania adalah penyakit lama bagi Fahutan. Kejadian itu berulang, tetapi enggan mendapat perhatian. Baik bungkamnya korban, hingga lemahnya komitmen kampus terhadap ruang aman di pendidikan tinggi. Besar harapan Sania, pembentukan komunitas atau kelompok khusus yang menyoroti isu ini segera dirampungkan, baik yang bernaung di bawah LEM Sylva maupun pihak dekan. 

“Habis ini benar-benar langsung dijalankan, langsung dibentuk, dan minta persetujuan dari yang di atas (jajaran dekan). Kita diskusikan kembali apakah mereka ingin meresmikan secara cepat. Dan ini kan berdasarkan asas keterbukaan, ya. Jadi, semua mahasiswa-mahasiswi yang ada di fakultas kehutanan tahu adanya kita membuat (semacam) Satgas untuk pemberdayaan dan perlindungan perempuan di kampus,” pungkas Sania. (zas/nkh/rst)



Kolom Komentar

Share this article