Berita Kampus

Mahasiswa SMMPTN Bantah Dibilang Terbelakang

Di Unmul, mahasiswa jebolan SMMPTN mendapat besaran UKT lebih tinggi. Suka tidak suka mereka mesti pasrah berada di golongan empat dan lima. (Sumber foto: test-online1)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Menikmati bangku perkuliahan, bukan perkara mudah. Siswa-siswi SMA, SMK, ataupun MA yang telah dinyatakan lulus, harus mengikuti seleksi yang ketat menuju bangku kuliah. Ada tiga jalur memasukinya, yakni Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Seleksi Mandiri Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMMPTN).

Di Unmul, mahasiswa jebolan SMMPTN mendapat besaran UKT lebih tinggi. Suka tidak suka mereka mesti pasrah berada di golongan empat dan lima. Tak hanya itu, mereka yang lulus melalui jalur mandiri pun tak jarang dipandang sebelah mata.

Muhammad Noor, Dekan FISIP Unmul bahkan pernah berkata mahasiswa SMMPTN cenderung lambat lulus dan agak terbelakang dalam mengikuti perkuliahan sehari-hari. Itu diungkapkannya saat audiensi UKT yang digelar BEM KM Unmul beberapa waktu lalu.

Adalah Agnia Nabilah Martani, salah satu siswa berprestasi saat SMA yang harus menerima kenyataan gagal masuk Unmul lewat SNMPTN dan SBMPTN. 2016 lalu ketika akhirnya dinyatakan lolos SMMPTN, dia sempat ingin mengajukan penurunan, namun niat itu buru-buru dia urungkan. Bersama orangtuanya Agni mengaku tak keberatan atas besaran yang harus dia tanggung.

“Saya dapat UKT Rp4 juta. Waktu itu sempat mau minta turunin juga bareng temen. Tapi kata bapak, kalau ribet mending enggak usah saja,” ucapnya saat ditemui pada Kamis, (9/2) lalu.

Meski lolos jalur SMMPTN, Agni nyatanya mampu mematahkan argumentasi Noor. Buktinya, mahasiswi Hubungan Internasional FISIP Unmul itu mampu meraih indeks prestasi (IP) gemilang, yakni 3.44 pada semester ganjil lalu.

Berikutnya ada Wa Sandora, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Berbeda dengan Agni yang lapang dada, Wandora mengaku keberatan dengan besaran biaya kuliah yang harus dia bayarkan tiap enam bulannya.

Lolos di jalur SMMPTN membawanya pada kategori lima, yakni Rp4 juta. Kenyataan itu agaknya tidak adil bagi Wandora. Pasalnya, penghasilan kedua orangtuanya sebagai petani sempat jadi penghalang. Namun beruntung, dia masih bisa berkuliah melalui jalan lain.

“Orangtua sih awalnya keberatan. Tapi, karena dapat dukungan dari kakak-kakak saya, alhamdulillah akhirnya mereka setuju," tuturnya.

Pernyataan Noor tentang terbelakangnya lulusan SMMPTN dalam mengikuti perkuliahan sehari-hari, lagi-lagi terbantahkan. Wandora berhasil menorehkan angka 3.78 dalam portal akademiknya semester lalu.

“Kesulitan itu karena banyaknya tugas yang menumpuk. Dan mungkin karena belum terbiasa aja sama suasana di kampus,” tukasnya.

Kisah lainnya datang dari mahasiswa semester akhir Fakultas Komputer dan Teknologi Informasi (FKTI). Dialah Reza Nur Muhammad, satu dari sekian mahasiswa SMMPTN yang sudah menyelesaikan seminar proposalnya. Dari diri Reza, persepsi mahasiswa SMMPTN lambat lulus kiranya terbantahkan pula.

“Sekarang lagi mengerjakan bab empat dan lima. Insya Allah akhir Maret atau awal April maju seminar hasil,” ujar mahasiswa angkatan 2013 itu.

Ditemui Sketsa di Teras Perpustakaan Unmul, Reza mengatakan bahwa mampu tidaknya mahasiswa dalam mengikuti kegiatan akademis bergantung pada diri sendiri, sama sekali bukan dari jalur masuk. Pun untuk lulus cepat atau tepat waktu, strategi yang digunakan harus tepat. (bru/aml)



Kolom Komentar

Share this article