Berita Kampus

Mahasiswa Pekerja Sambilan, Cari Pengalaman hingga Terbebani Biaya Kuliah

Kehidupan mahasiswa pekerja sambilan

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Army/Sketsa

SKETSA - Haniva Yudita Putri terlihat terburu-buru. Siang itu kuliah baru saja usai, tetapi ia melangkah cepat seperti sedang dikejar sesuatu.

“Setengah jam lagi aku sudah harus masuk kerja,” ucap mahasiswi FISIP Unmul yang biasa disapa Noy tersebut. Selain menjalani aktivitas kuliah, dirinya merupakan seorang barista paruh waktu di sebuah kafe yang berlokasi di kelurahan Bugis.

Ketika ditanya alasan bekerja sambil kuliah, Haniva menjelaskan ia ingin mencari pengalaman. Biaya kuliahnya telah ditanggung orang tuanya, tetapi ia juga tidak ingin menjadi pribadi yang boros. Baginya, menjadi barista adalah alternatif ideal. Selain melatih kemampuan, ia juga mendapatkan uang tambahan.

Cerita yang agak sedikit berbeda turut diperoleh awak Sketsa dari Clara (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi Unmul yang juga bekerja sambilan menjadi wartawan. Tak cuma cari pengalaman, ia terkendala biaya kuliah. Karena beberapa alasan, orang tuanya sudah tidak lagi bekerja. Membiayai kuliahnya sendiri pun menjadi satu-satunya jalan agar tetap dapat melanjutkan pendidikan.

Clara mengungkapkan, kuliah sambil bekerja tidak selamanya menyenangkan. Ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk waktu bercengkerama bersama teman sekelasnya. Suatu waktu, ia bahkan terpaksa keluar dari salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) karena bertabrakan dengan waktu kerjanya. Momen itu membuatnya sempat mendapatkan teguran hingga sindiran dari teman-temannya.

“Mau bagaimana, aku kan butuh uang,” ucapnya sambil tertawa meringis.

Sejak badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di kala pandemi, Unmul memang memberikan fasilitas penyesuaian uang kuliah tunggal (UKT). Kebijakan itu tertuang dalam surat keputusan (SK) Rektor Universitas Mulawarman No. 4013/UN17/IIK.02.03/2022. 

Mereka yang merasa besaran UKT-nya tidak sesuai, dapat mengajukan penurunan. Sayang, fakta di lapangan tidak berjalan sesuai harapan.

Survei mengenai UKT yang dilakukan oleh BEM KM Unmul membuktikan hal itu. Dari 590 responden, hanya 53 mahasiswa yang merasa mampu membayar UKT. Artiya, ada sekitar 542 mahasiswa yang merasa besaran UKT-nya tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

Fenomena ini dinilai akan diperparah dengan adanya rencana Rektor Unmul Abdunnur untuk mengubah status kampus yang dipimpinnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berpendapat, kebijakan ini berisiko menaikkan biaya UKT. Pasalnya, berdasarkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN-BH akan diminta untuk mengelola dana secara mandiri dan pemberian anggaran negara akan dikurangi. Kenaikan UKT menjadi cara paling mudah untuk menutupi kebutuhan anggaran.

Salah satu perwakilan KIKA Kaltim, Nasrullah mencontohkan apa yang terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Setelah perubahan status menjadi PTN-BH, UKT di UNY mengalami kenaikan. Kasus Nur Riska Fitri Aningsih adalah salah satu yang mencuat ke permukaan. Akibat tidak mampu membayar UKT, ia terpaksa cuti kuliah sambil meminjam sana-sini. Ia akhirnya wafat pada awal tahun 2023 di tengah cuti kuliahnya.

“Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, status PTN-BH hanya akan memperkaya yang sudah kaya,” tandas dosen FIB Unmul yang sedang mengambil S-3 di Malaysia tersebut.

Sebelumnya, sejak awal Februari Sketsa telah menghubungi Haviluddin sebagai ketua panitia PTN-BH mengenai dampak yang terjadi di Unmul jika terjadi perubahan status menjadi PTN-BH. Namun, hingga berita ini terbit, pesan kami tidak kunjung direspons. (gie/ems)



Kolom Komentar

Share this article